Megalomania atau Narsisme Spiritual?

Home » Artikel » Megalomania atau Narsisme Spiritual?

Dilihat

Dilihat : 85 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 47
  • 69
  • 44,214
unnamed (1)

Ditulis oleh: Gifari Andika Ferisqo (

 

Dalam ilmu kedokteran jiwa, megalomania adalah salah satu gejala gangguan jiwa yang ditandai dengan fantasi hebat atau perilaku gaya hebat, ingin dipuja, dan si pengidap mengalami gangguan empati. Biasanya ditandai dengan berfantasi bahwa dirinya sudah sukses tanpa bisa melihat batas dan kenyataan, kuat, hebat, pandai luar biasa yang seringkali tanpa sadar menggoblok-goblokkan orang lain secara halus maupun kasar, merasa paling good looking, atau paling ideal. Si pengidap merasa dirinya seseorang yang unik, yang dikagumi orang-orang, dan selalu menginginkan mempunyai level setingkat dengan orang-orang yang sudah sukses.

Namun secara umum megalomania dapat juga diartikan sebagai gangguan konsepsi atau keyakinan diri yang dibesar-besarkan. Misalnya, tentang kepentingan, kekuatan, atau kemampuan dirinya. Keyakinan ini sering ditunjukkan dengan sikap-sikap angkuh dan percaya diri berlebihan, ini juga merupakan bagian dari gangguan kejiwaan. Adapun, gangguan jiwa yang dimaksud adalah delusi keagungan yang kerap dikenal sebagai delusion of grandeur (khayalan tentang keagungan diri yang dianggap nyata). Kondisi seperti ini membuat pengidapnya sangat yakin bahwa dirinya memiliki kekuasaan, kecerdasan, bakat yang luar biasa, hingga kekayaan. Seringkali kata-kata yang diucapkan seorang megalomania mengenai dirinya kerap tidak masuk akal, padahal keyakinan dirinya yang dibesar-besarkan tadi hanyalah delusi saja.

Penyebab gangguan ini belum diketahui secara persis oleh para peneliti. Namun, bisa jadi ini merupakan gejala penyakit mental lain, seperti bipolar atau skizofrenia. Biasanya, para pengidap megalomania meyakini dirinya memiliki segudang pencapaian. Misalnya seperti, sebagai orang yang kaya raya, berteman dengan orang penting atau selebritas papan atas, atau mampu mendengar suara makhluk lain seperti dewa/dewi atau mungkin merasa titisan dari ascended master seperti Bodhisattva. Ini dikarenakan orang tersebut merasa mempunyai hubungan dekat atau menjadi perantara dengan alam semesta.

Orang dengan pengidap penyakit seperti ini bila diajak diskusi, maka diskusi akan dibawa memasuki jalur yang tidak jelas dan rumit atau berputar-putar, karena si pengidap sudah mengalami disorientasi pemikiran. Disorientasi pemikiran sering juga disebut sebagai confusion (kebingungan pemikiran) tidak jelas dimana ujung di mana pangkal, bahkan seringkali tidak menyambung dengan lawan bicara. Logikanya sulit dipahami oleh orang lain karena orang tersebut mempunyai paham yang rasanya benar namun kenyataannya tidak. Maka jangan heran jika orang yang mengidap penyakit ini tidak jarang sering terjadi konflik dengan orang-orang sekitarnya.

Penyakit gangguan jiwa semacam ini bisa muncul sejak kecil yang diakibatkan oleh masalah dalam perkembangan neurologisnya (neurodevelopmental disorder) atau diakibatkan oleh lingkungannya. Atau dapat juga disebabkan saat dewasa oleh lingkungannya yang mengajarkan mengembangkan ideologi secara ekstrim, atau mengembangkan kepercayaan diri secara ekstrim. Misalnya seperti mengikuti program motivasi, mengikuti progam human potential atau extraordinary potential, meningkatkan awarness atau consciousness, yang mana di dalamnya ditanamkan doktrin-doktrin ekstrim atau motivasi secara ekstrim, dan menyebabkan dirinya terbius sehingga rasionalitasnya melemah atau hilang.

Masalah lain yang muncul sebagai dampak ajaran dengan doktrin ekstrim maupun motivasi ekstrim, adalah tak lagi mampu belajar mengenal inti suatu masalah, dan pelajaran dasar kehidupan bersosialisasi. Intuisi bersosiaslisasi menjadi lemah, yang berakibat lebih banyak mengasingkan diri dan berfantasi hebat diluar kewajaran akibat terlalu sering mengikuti pelatihan-pelatihan motivasi yang ekstrim atau bisa dikatakan pelatihan motivasi yang terlalu narsistik.

 

Narsisme Spiritual

Narsis adalah kondisi psikologis yang ditandai dengan kecenderungan untuk memuja diri sendiri. Narsis ditujukan kepada orang-orang yang terlalu ‘high’ atau mabuk kepada dirinya dan cenderung merendahkan orang lain. Belakangan muncul istilah “Narsisme Spiritual”.  Banyak Guru-guru spiritual, para pemuka agama di suatu organisasi juga menjadi narsis. Merasa lebih suci, lebih paham ajaran, dan lebih berpengalaman dari orang lain. Itu semua muncul karena ego yang sudah melekat sampai ke darah-daging si pengidap.

Pernahkah anda melihat atau bertemu dengan orang yang atau mungkin di sekitar kita seperti oknum pandita/rohaniawan yang menyediakan training-training spiritual dengan media dasar meditasi yang tentu mengadopsi dari ajaran Buddhisme dan dikembangkan sendiri oleh oknum pandita narsis tersebut ditambah dengan teori psikologi dan motivasi abal-abal berkembang menjadi suatu bentuk pendekatan tersendiri bagi para pesertanya. Kemudian berkembang menjadi layanan terapi (para) psikolog padahal tidak memiliki sertifikasi sebagai psikolog dari manapun dan hanya bermodalkan kepercayaan diri yang berlebih. Lebih mengejutkannya setelah ditelusuri, metoda meditasinya banyak digunakan oleh terapis-terapis alternatif parapsikologi, yang artinya memang tidak digunakan dalam ilmu psikologi itu sendiri. Fenomena ini bisa dikatakan sebagai “Narsisme Spiritual”, istilah tersebut menunjukkan lahirnya egoisme pribadi dalam jubah ajaran Buddha. Model keberagamaan demikian berakhir dengan jatuh cinta pada diri sendiri secara berlebihan (narsistik). 

Ajaran Buddha seolah hanya berfungsi sebagai sanctuary (tempat pelarian), bukan sumber melatih moralitas dan kebajikan sosial. Dalam situasi seperti ini ajaran Buddha ditumpangi oleh berbagai kepentingan seperti komoditas ekonomi atau politik, dan yang lebih memprihatinkan nalar menjadi tumpul akibat perilaku “Narsisme Spiritual”. tersebut. Sikap “Narsisme Spiritual” berujung pada pemenuhan kebutuhan individual. Seorang narsistik akan menunjukkan perilaku self-centered, semua seolah hanya untuk kepentingan dirinya. Spencer A. Rathus dan Jeffrey S. Nevid dalam bukunya, “Abnormal Psychology (2000)”, menjelaskan bahwa perilaku narsistik memandang dirinya dengan cara yang amat berlebihan. Sedangkan Erich Fromm memperkuat kesimpulan itu dengan menyatakan bahwa perilaku narsistik memberikan kesenangan untuk dirinya dan mengabaikan yang lain. Ketika orang di luar dirinya menjadi sebuah ancaman, maka orang tersebut mesti ‘disingkirkan’, dan yang memilukan, seorang narsistik sebenarnya mengalami gangguan kejiwaan (mental disorder). 

Sikap seperti itu ditunjukkan dengan perasaan lebih spiritual dan lebih tercerahkan yang merupakan bentuk grandiose thoughts, serta perilaku menolong orang lain atas dasar pemikiran superioritas spiritual tersebut. Nuansa keagamaan “Narsisme Spiritual” tersebut hanya menimbulkan kebencian, iri hati, ajang show off, atau hanya untuk menutupi berbagai aib sosialnya. Karena saking narsisnya, biasanya orang yang mengidap penyakit seperti ini meskipun sudah terbukti salah tidak akan pernah mau mengakui kesalahannya, yang ada malah merasa dirinya menjadi victim atau korban dari tudingan orang lain jika sudah terdesak.

 

Konklusi

Dalam filsafat Buddhisme, berpandangan untuk menyangkal keberadaan ego yang melekat. Sejak kita lahir, ego kita mulai berkembang, segala sesuatu dari kita dan segala sesuatu yang kita identifikasi membentuk ego kita. Seperti kebangsaan, suku, marga, etnisitas, keluarga, kelompok, kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya yang membentuk identitas kita. Kemudian kita menggabungkan semua ini dan mengubahnya menjadi “diri” kita, namun ajaran Buddha tidak menyatakan demikian. Menurut Buddhisme, ego adalah konsepsi yang keliru tentang “diri” yang menjadi sikap narsistik tersebut sebagai entitas yang berdiri sendiri (atta/अत्त​). Ini adalah pandangan “diri” yang muncul dari pikiran yang belum memahami konsep kekosongan (anatta/sunyata/अनत्त/सुन्यत​​). 

Seperti yang dinyatakan oleh Shantideva (ष्हन्तिदेव​) dalam kutipan di buku Bodhisattvacharyavatara (बोधिसत्त्वछर्यवतर​) yaitu, “ketika makhluk biasa melihat fenomena, mereka menganggapnya nyata dan bukan khayalan”. Ketika kita melihat diri kita ini statis, tidak berubah-ubah, kita berpegang pada ego kita dan kita menjadi melekat padanya, ego dan kemelekatan berjalan beriringan, dengan begitu mulai timbul bibit sikap megalomania dan narsisme spiritual. Ketika kita mengatakan “seperti inilah saya”, itu menunjukkan seberapa dangkal pemahaman kita tentang perubahan itu sendiri. Tapi, ketika kita membebaskan pikiran dari identitas statis, maka kita terbuka untuk berubah dan mengikis sikap “Narsisme Spiritual” yang mungkin tampak keren jika hanya anda yang melihatnya tetapi tampak konyol di mata orang lain.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka

  • Perdini, T. A., & Hutahaean, E. S. H. 2021. Youth Virtue Self-Esteem and Positive Presentation in Social Media Instagram. BIS-HSS.
  • Husni, M. 2019. Selfie Gangguan Kepribadian Narsistik. 1(1), 105–116.
  • Hardika, J., Noviekayati, I., & Saragih, S. 2019. Hubungan Self-Esteem dan Kesepian dengan Kecenderungan Gangguan Kepribadian Narsistik pada Remaja Pengguna Sosial Media Instagram. Psikosains, 14(1), 1–13.
  • Rathus, Spencer A.  & Jeffrey S. Nevid. 2000. Abnormal Psychology. McGraw-Hill Education.
  • Rubin J. B. (1996) Psychoanalysis and Buddhism. In Psychotherapy and Buddhism. Issues in the practice of psychology. Springer, Boston
error: Content is protected !!
Butuh bantuan?