Memaknai Ijazah (Asli)

Home » Artikel » Memaknai Ijazah (Asli)

Dilihat

Dilihat : 31 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 72
  • 115
  • 62,201
Pic 1 Kasus ijazah

Oleh: Gifari Andika Ferisqo 方诸德

 

Ijazah hanyalah kemungkinan adanya kecakapan.” (Tan Malaka)

 

Seringkali, gelar akademik dianggap sebagai pintu masuk ke dunia kerja atau untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Namun demikian, legalitas ijazah semakin mendapat perhatian. Apakah keabsahan ijazah benar-benar mempengaruhi kinerja seorang pekerja atau hanya formalitas?

Ijazah biasanya dianggap sebagai bukti bahwa seseorang telah menyelesaikan sejumlah tugas dan ujian selama bertahun-tahun di sebuah lembaga pendidikan. Bagi sebagian orang, ijazah merupakan bukti keberhasilan seseorang dalam menempuh pendidikan formal. Namun, apakah lembaran kertas tersebut dapat dengan tepat mencerminkan semua bakat dan potensi seseorang? Sejauh mana keabsahan ijazah dapat mempengaruhi seseorang dan apakah itu sangat penting untuk menentukan kinerja. Dengan memiliki ijazah yang sah, pihak lain percaya bahwa seseorang memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.

Perlu diingat bahwa ijazah tidak selalu dapat digunakan untuk mengukur kecerdasan dan ketrampilan seseorang. Seseorang mungkin pintar dalam sesuatu yang tidak terkait dengan akademik, seperti seni, olahraga, atau bahkan menjadi pemimpin. Hasil ujian tertulis atau nilai akademik mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan bakat seseorang. Pada dasarnya, ijazah membuka pintu ke dunia profesional, tetapi seberapa jauh seseorang bisa pergi setelah memperoleh ijazah tergantung pada sejauh mana seseorang dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilannya di dunia nyata. Oleh karena itu, meskipun ijazah dapat membuka pintu, itu tidak berarti bahwa pintu itu tidak akan terbuka tanpa keterampilan praktis dan dedikasi.

 

Penghinaan Terhadap Pendidikan

Lembaga pendidikan bertanggung jawab menyediakan sumber daya manusia untuk pembangunan, dan proses pembangunan harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Perubahan zaman selalu menimbulkan masalah baru yang terkadang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kehidupan adalah siklus berulang. Karena tujuan dari pendidikan adalah memahami permulaan kehidupan dari ketiadaan, berkembang menjadi sesuatu, dan kembali ke ketiadaan. Pendidikan sangat penting untuk memahami proses tersebut, karena tanpa pendidikan membuat manusia sulit memahami rahasia alam dan melakukan proses pematangan kualitas diri. Tanpa pendidikan, manusia juga sulit mengembangkan diri, mengembangkan karier, dan masa depan, serta memahami benar dan salah, baik dan buruk, dan sebagainya. Orang-orang dididik untuk memahami bahwa hidup tidak hanya tentang makan, minum, mencari pekerjaan, dan membangun rumah tangga.

Pendidikan di Indonesia masih banyak yang memaknai sebagai sebuah ‘gelar kebagsawanan’ yang harus dicapai. Ini merupakan transformasi dari pemikiran feodalisme juga merasuki kelompok terdidik yang memaksakan metodologi pemikirannya dalam riset, dan ini tidak sekedar feodal tapi sekaligus hegemoni. Jika seseorang memiliki banyak gelar akademik, seolah-olah orang tersebut tidak sepadan dengan orang yang lebih rendah, apalagi mengakui ide-idenya. Ironisnya lagi,  kebanggaan yang luar biasa tersebut berefek cara melihat dunia dengan kaca mata. Konsep pendidikan di Indonesia menempatkan peserta didik sebagai subyek dan bukan obyek sehingga terjadi ‘teacher centered’ atau pengajar yang seolah-olah paling tahu segala-galanya. Ini bermula dari pepatah Jawa yang berkembang yaitu ‘guru (digugu lan ditiru)’, yang mana ini menjelaskan bahwa sifat feodalistik masih kental dalam dunia pendidikan, guru dan murid terpisahkan oleh hierarki dan tidak memiliki posisi tawar yang sama. Dalam pandangan umum kebanyakkan orang Jawa, hubungan yang terjadi antara guru dan murid adalah hubungan subyek-obyek. Guru sebagai subyek aktif pusat dari segalanya, sedangkan murid sebatas obyek pasif yang siap menerima perintah dan dikte dari guru. Pandangan ini seolah menempatkan peserta didik sebagai obyek investasi dan sumber deposito potensial, sedangkan investornya adalah guru, sementara depositonya adalah ilmu pengetahuan.

Akibatnya ketika seseorang menempuh pendidikan yang dituju adalah pencapaian nilai dan hasil akhir tanpa mempedulikan prosesnya. Dengan kata lain, menempuh pendidikan memungkinkan seseorang menjadi terpandang di masyarakat karena dianggap setara dengan gelar kebangsawanan karena berpotensi lebih dekat dengan penguasa dan lebih mudah bergabung dengan orang-orang ‘penting’.

 

Akibat Budaya Ngebet Menjadi ‘Bangsawan’

Akumulasi dari kondisi tersebut dapat menyebabkan munculnya berbagai masalah pendidikan yang jika tidak ditangani dengan benar, akan sangat memengaruhi upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, atau bahkan memunculkan pemikiran ‘jalan pintas’ yaitu pembuatan ijazah palsu.

Fungsi ijazah sebenarnya adalah menunjukkan bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan tertentu, lulus dari semua mata ujian, dan memenuhi persyaratan. Dengan demikian, pemegang ijazah bukan sembarangan, melainkan orang yang dianggap cerdas sesuai jenjangnya.

Umumnya akumulasi ini terjadi karena budaya di mayoritas masyarakat Jawa masih sangat kuat untuk memberi penghargaan kepada orang yang memiliki gelar dan ijazah. Memiliki gelar dan ijazah dianggap sebagai kebanggaan. Sebagian besar orang sudah menyadari kualitas hasil dari ‘pendidikan’ yang tidak biasa ini. ‘Jalan pintas’ tersebut ternyata juga diperlukan oleh para pejabat yang ingin promosi atau kenaikan pangkat, termasuk yang paling sederhana, yaitu untuk memasukkan gelar akademik ke kartu nama mereka. Sementara orang menjadi lebih percaya diri jika ada gelar akademik di depan atau di belakang nama mereka karena seolah akan merasa seperti bangsawan.

Lembaga perguruan tinggi yang melihat ‘potensi’ keuntungan ini berusaha memanfaatkan kebutuhan ijazah tersebut. Ada yang meluluskan peserta didik dengan mudah; ada yang memberi ijazah tanpa perlu mengikuti kuliah; dan ada yang secara langsung menjual ijazah. Orang-orang yang terlibat secara langsung bertanggung jawab atas tindakan tidak etis tersebut dikarenakan  ketamakan, atau keserakahan yang dipengaruhi oleh materialisme. Budaya ini menganggap ijazah, gelar kesarjanaan, dan jabatan sebagai ukuran keberhasilan dalam hidup.

Selain itu, ijazah palsu bermasalah secara moral, ini menunjukkan perilaku tidak baik terhadap diri sendiri dan orang lain, dan ada pembohongan terhadap diri sendirim serta ketidakjujuran intelektual. Sebagai manusia yang bermartabat, bahkan diri sendiri tidak dihargai.

 

Konklusi

Pendidikan bukan hanya tentang menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan etika yang kuat. Dalam Konfusianisme (儒家) percaya bahwa pendidikan adalah kunci mencapai integritas atau xìn (信) dan membangun masyarakat yang selaras dan terdidik. Serta memastikan bahwa pendidikan tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk individu yang memiliki sikap dan perilaku baik sehingga tidak terpikir untuk menempuh ‘jalan pintas’ melalui ijazah palsu.

Dengan demikian, pendidikan bukan lagi sekadar alat untuk ‘memanjat sosial’, tetapi menjadi instrumen pembebasan yang memungkinkan setiap orang bertumbuh dan berkembang secara natural. Bagi Guru Agung Konfusius (孔子), tujuan dari pendidikan adalah untuk membina generasi baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau disebut xiū jǐ yǐ ān (修己以安). Menurut salah satu murid dari Guru Agung Konfusius (孔子), Zi Lù (季路), salah satu tujuan belajar adalah untuk menyeleksi kredibilitas dan kapabilitas seseorang untuk menjadi seorang pejabat yang bermartabat atau xué ér yōu zé shì (学而优则仕). Pandangan ini  dipengaruhi oleh pemikiran Guru Agung Konfusius (孔子) terhadap bidang politik yang menganut prinsip fù lǐ (复礼), yaitu kembali seperti pada jaman dinasti Xī Zhōu (西周). Karena itu, Zi Lù (季路) kemudian mengajukan prinsip dasar untuk hanya mengangkat orang-orang yang berbudi luhur atau jǔ xián cái (举贤才) yang diprioritaskan untuk menjadi pejabat negara dan menjadi salah satu tujuan utama dari pendidikan yang dijalankannya. Sehingga janganlah berharap praktik ijazah palsu akan dimaklumi terlebih diloloskan untuk menjadi pejabat karena sudah melanggar satu dari lima prinsip Konfusianisme (儒家), yaitu integritas atau xìn (信). Penggunaan ijazah palsu untuk tujuan praktis dalam kiprah politik akan menjadi catatan sejarah kelam yang mencoreng jati diri suatu negara dan menjadi gambaran besar bagaimana kualitas dari masyarakat yang dipimpinnya secara umum.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka

  • Feng, W.Q., & Jiao, Y.R. 2010. Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng Yǔ Wǒguó Xiàndài Jiàoyù Sīxiǎng De Yīzhì Yǔ Chōngtú.

Nèiménggǔ Shīfàn Dàxué Xuébào (Jiàoyù Kēxué Bǎn) , 23(8), 1-4.

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?