Membangkitkan Pusat Pendidikan Muaro Jambi (3) – Pusat Pendidikan dan Guru Ternama

Home » Artikel » Membangkitkan Pusat Pendidikan Muaro Jambi (3) – Pusat Pendidikan dan Guru Ternama

Dilihat

Dilihat : 80 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 5
  • 31
  • 25,991

Oleh: Jo Priastana

 

“Jika sejarah menjadi guru kebijaksanaan,

 tokoh sejarahnya yang mengkongkritkan keteladanan”

(Najwa Shihab, Jurnalis)

 

Pusat pendidikan agama Buddha di Muaro Jambi di bawah kerajaan Sriwijaya juga memiliki hubungan dengan Pusat Pendidikan Nalanda di India. Keberadaan Nalanda ini diketahui melalui kesaksikan para peziarah Cina yang mengunjungi India pada ke 5, 6 dan 7. Para peziarah Fa Hien (405-411), Huan Tsang (629-646) dan I-Tsing (671-695), selain keberadaan Nalanda juga melaporkan tentang keberadaan pusat-pusat pendidikan agama Buddha lainnya yang ada di India.

Huan datang dua abad setelah Fa Hien. Fa-Hien sempat mengunjungi dua vihara di Pataliputra yang sudah memiliki bentuk sebagai mahavihara. Fa-Hien menuliskan pendapat pribadinya tentang salah satu vihara Mahayana yang sangat besar dan indah, sedangkan vihara lain di Pataliputra adalah vihara Hinayana.

Sedangkan I-Tsing, pengelana asal Tiongkok juga datang ke Nusantara pada abad 7 M dan melaporkan tentang keberadaan Pusat Pendidikan di Sriwijaya. Dalam Nanhai ji Gui Neifa Zhuan (kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Selatan), Ia menyebut di wilayah kekuasaan Foshi ada pusat pendidikan Buddha, tepatnya di daerah yang oleh orang India Selatan disebut Suvarnadvipa atau kini bernama Sumatera.

 

Pusat Pembelajaran Buddhadharma

Para Bhikkhu datang dari seluruh pelosok daerah dan sebagian dari mereka menulis kitab-kitab. Mereka belajar dan menjadikan vihara atau mahavihara itu sebagai pusat pendidikan dan pengajaran yang keharumannya memancar luas ke berbagai daerah. Reportase perjalanan mereka merupakan kesaksian sejarah yang mengungkapkan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Buddha dalam kurun tiga abad.

Banyak terdapat bukti-bukti yang menunjukkan Buddhadharma tumbuh subur pada semasa kerajaan Sriwijaya maupun semasa Majapahit. Diantaranya adalah sumber-sumber yang berasal dari Tiongkok. Sumber-sumber itu menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara pada masa itu terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni  San-fo-ts’i (Sriwijaya) dan Cho-po (Jawa). Diungkapkan bahwa rakyat di Jawa memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Buddha

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, seperti  budaya Hindu dan agama Buddha. Diperkirakan Agama Buddha telah diperkenalkan di Sriwijaya sejak tahun 425 Masehi, dan terus tumbuh. Hal ini menjadikan Sriwijaya berkembang sebagai pusat terkemuka agama Buddha Mahayana dan Vajrayana.

Para Dharmaduta datang ke Sumatera menimba pelajaran Buddhadharma. Melalui pembelajaran Buddhadharma ini, banyak pelajar yang kemudian tertarik untuk berkunjung ke tempat asal Buddhadharma, di India. Apalagi di India pada masa itu juga terdapat perguruan tinggi terkenal Universitas Nalanda.  Sriwijaya pun kemudian menjadi lintasan dan tempat transit bagi para pelajar sebelum melanjutkan pembelajarannya di India, seperti pada perguruan tinggi Nalanda.

India merupakan tempat asal Buddhadharma dimana pusat pembelajaran Buddhadharma Nalanda juga memiliki hubungan dengan Sriwijaya. Di Universitas Nalanda ini pula terdapat peninggalan Sriwijaya. Sangat dikenal Raja Balaputera dari Sriwijaya yang mendedikasikan sebuah biara dan bangunan asrama bagi mahasiswa-mahasiswa yang belajar di Nalanda India itu.

Kerajaan Sriwijaya yang termasyhur karena kekuatan angkatan perangnya juga dikenal sebagai pusat ilmu dan kebudayaan Buddhis. Di sana terdapat banyak vihara yang dihuni oleh ribuan Bhikkhu sebagai mahasiswa yang mempelajari ajaran Buddha.

Sriwijaya termasyhur karena adanya perguruan Tinggi Agama Buddha. Kampus perguruan tinggi di Sriwijaya yang berada di Muaro Jambi selalu ramai dengan kuliah-kuliah tentang Agama Buddha. Banyak orang datang mengikut kuliah-kuliah tentang agama Buddha, juga mengenai bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi).

Sebagai pusat pembelajaran Buddhadharma, kampus Muaro Jambi di Sriwijaya menjadi rujukan pembelajaran Buddhadharma. Ratusan bahkan ribuan sarjana dan para pelajar, Dharmaduta berdatangan untuk menerima ajaran Buddha. 

 

I Tsing dan Agama Buddha di Sriwijaya

Tentang Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diberitakan oleh Sarjana Agama Buddha dari Tiongkok yang bernama I Tsing. Tahun 672, I Tsing berangkat berziarah ke tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Dalam perjalanan pulang sekitar tahun 685, ia singgah di Kerajaan Sriwijaya.

I Tsing tinggal di Sriwijaya sana selama 10 tahun untuk mempelajari dan menerjemahkan buku-buku suci Agama Buddha dari Bahasa Sansekerta ke dalam Bahasa Cina. Kerajaan Sriwijaya yang didirikan pada ± abad ke-7 dapat bertahan terus hingga tahun 1377.

Kecemerlangan agama Buddha di Sumatera juga terkuak justru setelah kedatangan I-Tsing pada tahun 671 M ini. Ia datang ke Sribhoja, ibukota kerajaan Bhoja dekat Palembang. Sribhoja merupakan pusat terpenting di mana agama Buddha dipelajari.

Pada awalnya di kerajaan Bhoja dan sekitarnya, sebagian besar penganut agama Buddha adalah penganut mazhab Mulasarvastivada. Ada sedikit mazhab Sammitiya yang tergolong mazhab Hinayana. Dalam perkembangannya kemudian, Sriwijaya mengembangkan aliran Mahayana di daerah yang mereka kuasai seperti sampai ke Muangthai Selatan, dan Kamboja.

Diberitakan bahwa di kota ini terdapat 1000 bhikkkhu yang mempelajari dan menelaah Dhamma. I Tsing mencatat bahwa agama Buddha telah masuk ke Indonesia sebelum abad ke VII melalui Melayu, dan menunjukkan perkembangan agama Buddha Mahayana.

Dalam catatan perjalanannya, Bhiksu I-Tsing mengungkapkan bahwa Raja Sriwijaya dan penguasa-penguasa di kepulauan lain adalah penganut agama Buddha. Dilukiskan bahwa di ibukota yang dikelilingi benteng terdapat beribu-ribu biksu yang belajar dan praktik ajaran Buddha seperti halnya di Madhyadesa (India), dan di antaranya banyak pula orang asing.

Biksu I-tsing yang berangkat dari Kanton, Tiongkok, pada tahun 671 singgah di Sriwijaya selama 6 bulan untuk belajar bahasa Sansekerta. Beliau juga singgah di Melayu selama 2 bulan, Melayu yang kemudian menjadi bagian dari Sriwijaya.

Setelah tinggal di India selama 10 tahun, ia kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 untuk menerjemahkan kitab suci selama 4 tahun. Ia pulang ke Kanton mencari pembantu, dan kembali lagi ke Sriwijaya hingga tahun 695. Pada mulanya, di Sriwijaya terdapat mazhab Hinayana, namun perkembangan selanjutnya mazhab Mahayana. Guru yang terkenal antara lain Dharmapala dan Sakyakirti.

 

Atissa dan Para Guru Ternama

Pujangga-pujangga Agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi di Sriwijaya. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercu suar Agama Buddha di Asia Tenggara. Sriwijaya memancarkan cahaya budaya manusia dan cahaya Buddhadharma yang cemerlang.

Banyak pelajar dan sarjana Asing menimba ilmu Buddhadharma di Sriwijaya dan kemudian kembali ke negerinya menyebarluaskan Buddhadharma. Sriwijaya juga menerima kedatangan bhikkhu terkenal dari Tibet yang bernama Atissa. Atissa mengabarkan agama Buddha ke Tibet dan menjadi guru ternama.

Atissa datang ke Sriwijaya untuk belajar agama Buddha. Atissa kemudian membawa Buddhadharma ke Tibet, dan menyebarluaskan serta membangun kebudayaan Buddhis di Tibet. Tokoh terkenal agama Buddha dari Tibet ini datang ke Sumatera dan menetap di Sriwijaya sepanjang tahun 1011-1023.

Di Sriwijaya tokoh Buddhis Tibet ini belajar  di bawah bimbingan Dharmakirti,  seorang Bhiksu terkemuka, cendekiawan Buddhis terbesar pada masanya.  Atissa mencatat bahwa pulau Sumatera  pada saat itu merupakan pusat pembelajaran agama Buddha.

Atissa Dipankara menrupakan salah satu guru besar yang fenomenal yang datang ke Sriwijaya dari India Selatan. Atissa datang pada Abad 11 dan menimba ilmu di Sriwijaya dengan bimbingan Biksu Dharmakirti. Atissa Dipamkara memperoleh undangan Raja Tibet untuk memurnikan agama Buddha disana dengan ajaran Mahayana dari Javadvipa.  Atissa membawa 9 kitab dari Sriwijaya yang sekarang terhimpun dalam Tipitaka Tibet atau Kanjur.

Catatan sejarah dari Tibet menyebutkan bahwa Sriwijaya pada abad ke 11 merupakan pusat kegiatan agama Buddha yang terkemuka. Atissa yang sangat terkenal dalam pembangunan agama Buddha di Tibet pernah datang ke India dan ke Sumatera.

Di Sumatera Atissa berdiam dari tahun 1011 – 1023, dan belajar di bawah bimbingan Dharmakirti seorang Bhikkhu terkemuka di Sumatera. Biografi Atissa yang ditulis di Tibet, menyebutkan bahwa Kerajaan di Sumatera itu memiliki pusat agama Buddha dan menetapnya Dharmakirti seorang sarjana terbesar di zaman itu.

Pusat pendidikan di Muaro Jambi semasa kerajaan Sriwijaya yang sangat fenomenal ini, dikarenakan banyak memiliki guru ternama. Para guru ternama diantaranya: Dharmapala, Sakyakirti, Dharmakirti maupun Atissa Dipankara. Untuk itu, tidak salah bila pusat Pendidikan ini akan dibangkitkan kembali, menjadi sumber inspirasi dan energi bagi peningkatan sumber daya manusia Indonesia kini yang sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman, kemajuan negeri dan arah perjalanan Bangsa.

***

(Sumber: Jo Priastana, “Buddhist Backpacker: Jelajah Jejak Buddha Nusantara”,  Yayasan Yasodhara Puteri, 2019).

Guru Suvarnadvipa

Butuh bantuan?