Oleh: Majaputera Karniwan, M.Pd. dan Arya Whisnu Karniawan, M.Pd.
(Dibuat dalam rangka pemenuhan tugas kuliah Filsafat Ilmu [Epistemologi] Program S3 Ilmu Agama dan Budaya UNHI-Bali)
(Kasus 1) Seorang ibu tua mengambil pisang dari tanah tuannya berulang kali. Di tengah usia yang sudah tidak muda lagi, bertahun-tahun kerja dengan tuannya dan sebentar lagi masuk masa pensiun, ia masih tergerak untuk mencuri. Semua membawa ke pengadilan dan bosnya mendakwa dengan pidana pencurian. Hakim pun terpaksa mengabulkan gugatan tersebut karena kepatuhannya pada hukum positif meski ia tahu tersangka terpaksa mencuri atas perintah perut (karena kehidupan prasejahtera dan ia digaji tidak layak). Bos adalah orang yang terkenal religius. Ia pun tetap membawa kasus ini ke pengadilan dengan dalil “edukasi moral” agar orang lain tidak lagi mencuri seperti yang ia lakukan. Tetapi bisa kita duga dari sini bos adalah orang yang selfish, hanya memikirkan dirinya sendiri dan keluarganya. Moral dan religi yang dipertontonkannya hanya omong-omong belaka. Dalam arti sebagai alat untuk melanggengkan kapitalisme dalam usahanya. Bila diamati lebih lanjut, bos ini hanya berusaha agar ia tidak harus membayar pensiun dengan membuat satu kondisi kekurangan dan menyandungkan ibu tua tersebut dengan masalah moral. Moral yang seharusnya dipakai untuk mengatur manusia agar tidak menyakiti sesamanya, di bawah tangan manusia-manusia selfish berubah menjadi alat represif untuk menutupi kehausannya akan hasrat keuntungan dan berkuasanya sendiri.
(Kasus 2) Di sisi lain pernah ada kasus seorang nenek tua berbelanja alat-alat sembahyang di satu toko kebutuhan religi. Kala itu pemilik toko setelah mentotalkan jumlah belanjaan nenek ini, menerima pembayaran yang kurang Rp.1000 dari nenek ini. Alih-alih mengikhlaskan ia tetap ngotot agar sang nenek membayar kekurangan atau mengurangi belanjaan dia. “Ncim pas pas aja yah, jangan kurang kurang, saya ribet nyatetinnya“. Menarik untuk mencari tahu, saya relakan waktu saya untuk berdiam diri di toko itu, tanpa menolong nenek tersebut. Akhirnya nenek itu berlalu setelah membayar Rp.1000,- setelah dia merogoh kocek mencari uang-uang sisa. Penjual toko mengerti maksud saya, tanpa basa basi ia menjelaskan bahwasanya nenek tua itu sudah biasa mengkomodifikasikan rasa belas kasihan untuk keuntungannya sendiri. “Dulu keluarganya punya hutang sekitar 20 bungkus hio sama saya, dia sering diminta ambil hio ke saya dan dia juga dagang bareng sama keluarganya itu. Lalu saat keluarganya meninggal terjadilah hutang almarhumah yang harusnya dilunasi, ia memilih mangkir dan beralasan itu urusan almarhumah bukan urusan dia“. Karena perbuatan itulah pedagang tersebut memilih tegas sama dia. Pedagang itu cerita “Dia itu dagang keliling ke daerah Serpong. Dari saya 1 bungkus sudah saya kasih harga diskon Rp13.500,- dan biasa dia jual Rp25.000,- per bungkus. Belanja sekitar 7 hari sekali. Setiap belanja sekitar 20 bungkus. Artinya ada keuntungan Rp250.000 minimal, itu pun kadang banyak yang tidak tega dan melebihkan uang kepada dia (dengan maksud amal), beberapa kali dia mengaku ongkos pulang dibayarin orang-orang yang kasihan sama dia. Memang dia masih ada tanggungan anak. Tetapi kalau orang kaya gitu mah ko, kaga berkah. Abis aja duitnya. Tiap hari mengeluh kurang.“
(Kasus 3) Di sisi lain, kita bisa melihat bahwasanya ada banyak lembaga-lembaga amal (crowdfunding) yang mempertontonkan kesedihan orang-orang tua termarjinalkan kepada kita. Lalu kita disuguhkan ajakan untuk bertindak. “Ayo orang-orang baik! Salurkan kepedulian terbaik anda melalui rekening bank kami“. Tetapi rupanya sempat ada beberapa lembaga crowdfunding yang terlibat skandal korupsi dan kini para petinggi yang terlibat penyelewengan dana harus mempertanggungjawabkan di bawah hukum yang berlaku.
Lalu masih adakah wajah tuhan saat ini? Kemana tuhan-tuhan agama di tengah kekacauan dunia ini? Saat ini benar/salah, hitam/putih seperti tanpa batas sehingga sulit untuk mengetahui siapa yang benar. Mengapa tuhan membiarkan kekacauan ini? Mengapa tuhan tidak hadir ke dunia menegakkan kebenaran?
Manusia kini berusaha melipat dunia, bahkan melampaui dunia dan tuhan dengan berbagai nafsunya. Ada 3 jalur menjelajahi dunia: Idealisme, realisme, dan materialisme. Manusia berlomba-lomba memilih jalur materialisme. Semua mengejar kepemilikan benda dan penguasaan materi. Karenanya setelah menguasai materi apakah ia berusaha melengkapi 2 sisi lainnya? Mayoritas Tidak! Mereka sibuk mencari lebih banyak materi lewat merkantilisme dan komodifikasi sejak masa lalu. Alih-alih dengan harta dan kekuasaan menjadikan manusia bijaksana, malah membuat manusia terjerat hasrat nafsu tak berkesudahan.
Ada benarnya kata lagu Ebiet G Ade: “Mungkin tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”. Tuhan sudah malas dengan manusia, ia memilih memalingkan wajahnya dari dunia (yang berupa nilai-nilai ketuhanan dan keluhuran/Adi Luhur dari berbagai agama, dalam berbagai nilai ketuhanan dan keluhuran yang dideskripsikan agama-kepercayaan di dunia) ketimbang harus mengurusi manusia yang mulai berlari ke sana sini. Ada 3 dewa baru menurut Piliang (2004: xii-xxviii) yang menggantikan tuhan, yakni: Kapitalisme global, Pos modernisme, dan Cyberspace. Meski begitu tiga dewa ini bukanlah tuhan yang sebenarnya, meski manusia menganggap mereka tuhan, tetapi mereka adalah tuhan pseudo (palsu) yang imanen, yang tercipta karena adanya dinamika perkembangan teknologi dan hasrat manusia sendiri.
Masyarakat jadul di era teologi agama-agama berkembang (era Teosofi) bisa menemukan wajah tuhan di mana-mana, dengan berbagai tatanan moral dan nilai luhur yang ia ciptakan dan distribusikan lewat aneka agama-agama. Bersama dengan merebaknya teknologi dan revolusi industri (era teknosofi), masyarakat kini bergerak semakin cepat dan mulai menguasai berbagai hal, hidup semakin mudah tapi nilai-nilai moral dan keluhuran berkembang lebih lambat ketimbang hasrat manusia, tuhan mulai kehilangan wajahnya. Kini manusia hidup di dalam laju kecepatan (velositas), dalam 1 waktu manusia bisa mengkonsumsi dan memproduksi banyak hal. Saking cepatnya segala sesuatu terasa dangkal (banal), dan saat ini moralitas tetap ada namun hanya sebagai pajangan (di-Abjeksikan), manusia bisa tampil agamis di pagi hari lalu erotis di malam hari. Inilah era libidosofi. Era di mana hasrat menjadi komoditas yang cepat diproduksi dan konsumsi (ibid, 347-363). Era inilah di mana ketiga dewa (Kapitalisme global, pos modernisme, dan cyberspace) memerintah menggeser eksistensi wajah tuhan.
(Gambaran kasus 1) Kapitalisme global membuat manusia mengejar ekstasi hasrat, yang memang sengaja diproduksi agar manusia tidak dapat lepas dari pengaruh elit kapitalis global, sembari mereka sendiri berusaha membesarkan diri sebagai “Kapitalis-kapitalis kecil”. Manusia mengkonsumsi barang bukan karena nilai kegunaannya melainkan karena nilai tanda dan makna sosial yang didapatkannya. Di dalam kapitalisme ini, pengabdian orang tulus hanya dianggap sebagai alat/barang saja, manusia sebagai instrumen kerja, bukan humanoid, yang hanya dihargai saat ada gunanya saja. Saat sudah dianggap tidak berguna mereka akan dibuang. Maka apa yang bisa dilakukan adalah menjadi kapitalis kecil atau menyerah dalam kemiskinan. Inilah yang terjadi pada nasib nenek pekerja yang dituntut hukum pada kasus pertama di atas.
(Gambaran kasus 2) Pos modernisme hadir sebagai kritik manusia akan modernitas, ia mengkritik manusia modern yang anti dengan nilai-nilai tradisional, namun pada sisi lain ia tidak menyumbangkan pemikiran apapun melainkan ia sendiri sering menimbulkan paradoks moral. Misalnya menentang diskriminasi dengan gagasan emansipasi wanita, tapi di sisi lain diam saja bahkan menikmati ketika masyarakat berlomba-lomba mempromosikan keseksian dan erotisme, menganggapnya wajar dan tidak tabu. Kasus kedua nenek yang berjualan hio adalah bukti bahwa moral terabjeksikan dan menjadi banal. Ia tahu alasan orang beribadah untuk mendekatkan diri pada tuhan dan ajaran moralnya, ia sendiri menyalurkan alat-alat ibadah, namun ia juga menjadi pelaku komodifikasi moral dengan menjual rasa kasihan untuk kepentingannya sendiri. Bentuk-bentuk paradoks seperti ini banyak terjadi di mana-mana karena masyarakat kita saat posmodern bergerak atas dasar logika hasrat.
(Gambaran kasus 3) Cyberspace menawarkan kemudahan bagi kita, lewat telekonferensi zoom, whatsapp, bahkan AI kini menggantikan manusia berpikir. Kalau Rene Descartez bilang “Aku berpikir maka aku ada“, AI mengajak kita menjadi “AI berpikir maka aku ada“. Akibatnya manusia menjadi tidak suka berpikir, manusia suka menilai. Karena memang lebih mudah menilai daripada berpikir bukan? Tetapi di balik semua kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan, manusia semakin cepat dalam melipat ruang dan waktu. Banyak pekerjaan bisa dikerjakan dalam 1 waktu, untuk bertemu muka dari berbagai dunia cukup video call. Hasilnya adalah manusia menjadi panik, karena tidak ada ruang untuk berhenti sejenak. Kontemplasi perenungan agama diganti dengan motivasi afirmasi toksik-positif untuk jualan dan menghasilkan uang. Kita bisa dihubungi kapan saja bahkan saat kita terlelap dalam jam istirahat sehingga nyaris tidak ada sekat antara ranah pribadi, profesional, dan sosial. Semua dianggap sebatas untuk menghasilkan lewat tontonan-tontonan semu belaka. Kasus ketiga berupa penyelewengan dana lewat crowdfunding virtual menunjukkan pada kita kriminalitas apapun bisa terjadi di era cyberspace. Karena manusia sibuk kerja dan semuanya serba cepat, transparan (telanjang), dan pragmatis, maka bisa dipastikan manusia semakin miskin pengetahuan, semakin dangkal (banal), bahkan sudah tidak mau berpikir sehingga sangat mudah perilakunya untuk direkayasa lewat rekayasa sosial (social engineering) seperti dengan kalimat ajakan imperatif “Ayo bergerak orang baik”.
Ketiga dewa (Kapitalisme global, pos modernisme, dan cyberspace) bekerja sama mencegah siapapun lari dari jeratannya. Seperti raksasa kala dalam penggambaran roda samsara mencegah siapapun kabur dari jeratan nafsu, kecepatan, dan kedangkalannya. Bila kita lihat fenomena ke belakang ini, orang-orang barat ramai belajar agama dan kebijaksanaan timur, itu semua karena mereka sudah sadar gagasan ketiga dewa ini akan menuntun mereka pada fatalisme dan catastrophe (kehancuran) belaka, bukan kepada tuhan yang asali.
Orang-orang berlari mencari wajah tuhan dalam ajaran timur: Sumber penderitaan adalah nafsu (Tanha/Trshna/Tan 貪) baik dalam filsafat Hindu Dharma, Buddha Dharma, maupun Taodharma. Aku memelihara nafsu maka aku menderita. Begitu pikir mereka yang berpikir realistis di era libidosofi (cinta akan hasrat nafsu) sehingga mereka berusaha memadamkan nafsu lewat ajaran-ajaran moral timur.
Ajaran timur tidak sekedar mengajarkan bahaya nafsu melainkan mengajarkan bagaimana caranya manusia bisa mengendalikan nafsu (Saṃvara) lewat serangkaian ajaran asketisme moral dan diskursus nilai-nilai luhur seperti contoh: Brahmavihara (Buddhis, lihat Sangha Theravada Indonesia, 2005: 30), Catur-Purusa Artha (Hindu , lihat Tim Mimbar Hindu, 2021), Thay Hak 大学 (Konfusianisme lihat Si Shu 四书 dalam Adegunawan, 2018) dan Wu Wei 无为 (Taoisme, lihat Dao De Jing 道德经 dalam Ctext, 2006). Ajaran Timur yang kaya dengan perenungan-perenungan kontemplasi nampaknya masih menjadi cara yang cukup menjanjikan bagi kita untuk menemukan wajah tuhan yang sejati di dalam era kekuasaan tiga dewa. Jadi, tuhan itu masih ada wajahnya. Hanya kita perlu banyak kembali melihat wajahnya lewat remoralisasi dan respiritualisasi setiap dimensi-dimensi luhur dalam aspek-aspek kehidupan kita, seperti dalam media massa, ekonomi, politik, pendidikan, seksual, bahkan agama itu sendiri (Piliang, 2011: 140-143).
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka:
Adegunawan, S. (2018). Kompilasi Si Shu Empat Kitab Klasik. USA.
Ctext. (2006). Daoism 道家. https://ctext.org/daoism
Piliang, Y. A. (2004). Dunia Yang Berlari Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital. PT. GRASINDO.
Piliang, Y. A. (2011). Dunia Yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. MATAHARI.
Sangha Theravada Indonesia. (2005). Paritta Suci. 26.
Tim Mimbar Hindu. (2021). Catur Purusa Artha, Tangga Menuju Kebebasan. Kementrian Agama RI. https://kemenag.go.id/hindu/catur-purusa-artha-tangga-menuju-kebebasan-uft2xh
Gambar: https://www.freepik.com/free-ai-image/digital-art-with-man-planet-earth_94939432.htm#fromView=keyword&page=1&position=39&uuid=71f0b3b9-fb62-41b1-a464-ff84e33d845a. Diakes 11 Desember 2024.