Oleh: Majaputera Karniawan, M. Pd.
“Belajar tanpa berpikir itu sia-sia, berpikir tanpa belajar itu berbahaya!”
(Konfusius dalam Lun Gi II: 15)
Pada awal Januari, 2023 sebelum salah satu E-Commerce Global JD.com menutup operasional, para bos direktur operasional dari berbagai unit usaha JD.com dimarahi habis-habisan oleh pendiri perusahaan, Richard Liu. Amarah Liu tak tertahan karena menurutnya mereka cuma pandai menggunakan slide PowerPoint yang cantik dan mewah, sebagai cara menutupi ketidakbecusan mereka dalam mengelola bisnis dan bekerja.
Memang tidak menampik bahwa dalam bisnis memang menuntut adanya inovasi dan kreasi yang semua itu hanya bisa didapat dari berpikir kritis. Daya kritis ini didapat dari banyak belajar dan membaca. Dewasa ini, banyak sekali kurikulum belajar terbarukan yang membuat peran guru hanya sebagai fasilitator dan membebaskan anak menumbuhkan potensi belajar sesuai minat dan bakatnya. Sebut saja seperti Montessori atau Kurikulum merdeka yang lebih bersifat Student Center Learning (Pembelajaran berorientasi pada siswa). Tetapi ada satu bahaya yang mengintai di balik pembelajaran ini. Apakah itu?
Melemahnya daya juang siswa dalam belajar. Mengapa hal ini terjadi? Kurikulum dengan konsep berorientasi pada siswa cenderung terlalu membuat siswa bebas dan menjadi kurang bertanggung-jawab atas pelajaran dan ilmunya karena biasanya di kurikulum sejenis ini pantang dan haram hukumnya siswa sampai tinggal kelas. Ketika itu terjadi, maka jangan heran kalau kompetensi akademik siswa menjadi menurun. Karena tidak ada yang memaksa mereka. Apalagi sekarang muncul kemudahan AI (Artificial intellegence) seperti ChatGPT, Gemini, Perplexity, GPTZero, dan lain-lain yang membuat daya kreativitas dan inisiatif mahasiswa semakin tumpul.
Saat ini, banyak di antara siswa dan mahasiswa, mereka lebih senang bertanya pada kecerdasan buatan ketimbang membaca dari buku. Atau sekedar memindahkan data dari website ke dalam makalah ataupun tugas mereka. Dosen dan guru pun lama kelamaan berubah peran, bukan lagi memberikan masukan dan ilmu dalam pembelajaran, namun menjadi petugas asesor apakah karya siswa ini copy paste dari tulisan orang lain, atau boleh copas bulat-bulat dari AI?
Perubahan arus global dan modernisasi tidak bisa kita lawan dan bendung. Dampaknya bukan main-main, ketika mereka tidak berpikir dalam belajar, mereka sudah gagal dalam belajar, maka bisa jadi pendapat Ivan Illich akan menjadi benar adanya bahwa peran sekolah maupun kampus hanya akan sekedar menjadi lembaga cetak Ijazah saja, bukan lagi menjadi lembaga belajar. Ijazah akan didapatkan dengan cara “nembak” baik dalam proses maupun pesanan. Ijazah pada akhirnya hanya menjadi tanda orang pernah sekolah, bukan tanda orang tersebut pernah berpikir. Jangan-jangan nanti fungsi gedung sekolah yang luas akan kalah dengan fungsi kios fotokopi di samping sekolah?
Lalu mengapa kita harus mulai Mendekonstruksi Kemerdekaan Belajar? Kita berkenalan dulu dengan apa yang dimaksud Dekonstruksi, ini adalah teori hermeneutik radikal yang dicetuskan oleh Jacques Derrida. Dekonstruksi bisa dijelaskan sebagai suatu proses pembacaan yang meminati yang terpingggirkan (termarjinalkan) alih-alih menyukai sisi hegemonial yang dominan. Melalui cara inilah sebuah teks bisa diinterpretasikan sampai tidak terhingga dan terbuka kemungkinan penemuan kebenaran-kebenaran lain dari sisi yang tidak terduga.
Dalam konteks merdeka belajar, hegemoni yang digaungkan adalah siswa bebas berperan dalam memilih dan menentukan jadi apa mereka. Sementara peran guru berperan sebagai ‘Fasilitator’ yang termarjinalkan bahkan cenderung ‘AFK dan nggak ngapa-ngapain’. Peran guru menjadi lemah di sini. Ketidak-seimbangan peran ini kemudian memerlukan pecut untuk kembali menekan pihak hegemoni dan membantu pihak termarjinalkan kembali mendapatkan keseimbangan peran.
Dalam hal ini, sekolah maupun kampus harus bisa menetapkan kebebasan yang bertanggung-jawab. Pertanyaannya bagaimana tanggung jawab itu bisa muncul? Tentu yang paling mudah lewat proses pendisiplinan dan konsekuensi. Agar guru dan dosen kembali mendapatkan kekuatannya mereka perlu diberi kembali kebebasan untuk ‘Tidak meluluskan’ apabila siswa dianggap tidak kompeten dalam mata pelajaran yang beliau ampu.
Tentunya dekonstruksi ini harus dengan tanggung-jawab kedua belah pihak. Bila ada pihak yang tidak mendukung, guru dan dosen masih bisa mengupayakan dekonstruksi terbatas dengan kembali pada konstruksi belajar awal masa-masa KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang mendorong otonomi dan desentralisasi di mana guru benar-benar berperan mengajak siswa membaca dan sampai mendikte mereka, guru bukan sentral ilmu siswa masih bisa belajar dari siapapun namun guru mengejar siswa agar mereka bisa memiliki kompetensi baik Individual maupun Klasikal. Bahkan kita bisa pakai metode ala-ala universitas Buddhis Nalanda di Bihar India masa lalu, di mana mereka terbiasa duduk di dekat guru mendengarkan ajaran, mengulang ajaran bersama, bila masih kurang jelas bisa pergi ke perpustakaan meneliti sendiri, dan ada mimbar dialektika di mana mereka saling beradu argumen dalam diskusi kritis (hal ini akan membuat seleksi lingkungan sosial, mereka yang malas belajar akan jemu berlama-lama di Nalanda karena malu dianggap tidak berilmu). Lalu kita mungkin bertanya, apakah ini tidak berarti satu kemunduran?
Kemunduran terjadi justru ketika sebuah metode ajar gagal dalam membuat siswa menjadi cerdas. Siswa yang terlalu dimabukkan AI tidak akan bisa berpikir, sedangkan keniscayaan bagi seorang guru/dosen untuk melawan pesatnya AI, maka bila sangat terpaksa, dekonstruksi terbatas ini masih bisa dilakukan semata-mata demi mendisiplinkan siswa agar lebih giat membaca. Manusia memang tidak suka dipaksa, tetapi mereka kadang lebih suka terpaksa oleh keadaan baru mulai belajar, bukan? Jangan sampai para siswa dan mahasiswa kita menjadi seperti sapi tua yang dibilang Ananda Thera (Thag.17.3), hanya daging mereka yang bertambah sementara kebijaksanaan mereka tidak!
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/kurikulum-merdeka. Diakses 16 Oct 2024.
https://lsfdiscourse.org/memahami-teori-dekonstruksi-jacques-derrida-sebagai-hermeneutika-radikal/ Diakses 16 Oct 2024.
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230109072702-37-403807/bos-jdcom-kena-omel-dibilang-ga-becus-cuma-jago-powerpoint/amp. Diakses 16 Oct 2024.
https://suttacentral.net/thag17.3/en/sujato. Diakses 16 Oct 2024.
Karniawan, Majaputera. 2023. Sejarah perkembangan Lembaga Pendidikan Bercorak Keagamaan Buddha. Jakarta. Yayasan Yasodhara Puteri.
MATAKIN. 2012. Si Shu Kitab Yang Empat. Jakarta. MATAKIN.