Menenun Kesadaran Bersama Sang Guru

Home » Artikel » Menenun Kesadaran Bersama Sang Guru

Dilihat

Dilihat : 38 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 32
  • 62
  • 38,741
Sadhaka

Oleh: Jo Priastana

 

“Guru is truly a miracle! Age-old habits vanish

with just one rememberence of Him”

(Srimad Rajchandra Mission, SadguruWhispers)

 

Ketika tanggal 25 November tiba mengingatkan kita akan guru-guru kita. Guru yang telah memberikan pelajaran, baik pelajaran di sekolah yang bersifat akademik, mengajarkan kita untuk memiliki keterampilan dalam menjalani kehidupan. Selain guru di sekolah, banyak juga para guru yang telah memberikan bimbingan moral dan pelatihan spiritual dalam kehidupan kita sehingga kita memperoleh petunjuk dan menjalani kehidupan secara benar, baik dan tercerahkan.

Di dalam proses pelatihan spiritual, Sang Guru menempati kedudukan yang sangat penting dan istimewa. Begitulah Sang Guru spiritual seperti dimata para praktisi Buddhadharma Tantra. Praktisi Tantra yang disebut sadhaka menempatkan dirinya sebagai seorang pembelajar atau seorang siswa yang berbakti dan mengabdi dengan sepenuh hati kepada sang guru yang memang sungguh telah tercerahkan.

Tantrayana merupakan aliran dalam agama Buddha (Mahayana) yang dikatakan bersifat esoteris (rahasia) dan mistis. Dikatakan bersifat esoterik-mistis, karena dalam aliran ini mengutamakan praktik-praktik keagamaan dan pelatihan spiritual yang bersifat mistik dan langsung menyelam ke dasar batin terdalam dimana seorang Guru sangat berperan dan bearti bagi kebangkitan spiritual sadhaka.

 

Menenun Kesadaran

Dalam menyelam ke dasar batin terdalam itu, Sadhaka memperoleh pendampingan Sang Guru. Menyempurnakan penggunaan sarana-sarana lahiriah, seperti: mudra, dharani, mantra serta mandala. Pendampingan Sang Guru membawa sadhaka menjalani proses pencapaian spiritual secara mendalam dengan menyelami kesadaran.

Kata Tantra sendiri sering diartikan sebagai “menenun” atau “alat tenun”. Istilah yang bersifat teknis ini dipergunakan untuk mengacu kepada praktik-praktik esoteris yang bertujuan membangkitkan sifat kebuddhaan dalam diri seseorang, dasar batin terdalam. Layaknya sedang merajut jalinan benang untuk menghasilkan kain tenun yang indah, kata Tantra bermakna sebagai tenunan spiritualitas mewujudkan kehidupan batin yang indah.

Proses menenun batin itu meliputi beberapa praktik spiritual. Dalam aspek lahiriah, praktik Tantra tidak bisa dilepaskan dari pembacaan mantra. Mantra merupakan pengulangan beberapa suku kata tertentu yang dianggap suci. Mantra didasarkan kepada keyakinan akan efektifitas suara (sabda, nada) sebagai suatu sumber kekuatan atau sebagai kekuatan itu sendiri. Pembacaan mantra memiliki pengaruh kuat, baik terhadap organisme manusia maupun alam semesta.

Awalnya mantra berasal dari ringkasan sutra panjang menjadi beberapa bait kalimat atau Hrdya (ikhtisar) kemudian menjadi Dharani yang terdiri dari satu atau dua baris kalimat dan selanjutnya menjadi bentuk mantra yang hanya terdiri dari beberapa suku-kata. Dan akhirnya mantra tersebut diringkas menjadi bija-mantra (benih-mantra) yang hanya terdiri atas satu suku kata tunggal.

Pembacaan mantra menunjukkan adanya kepercayaan terhadap hubungan serius antara suara dan evolusi kosmis. Suara diidentikkan dengan kekuatan dibelakang kosmos, dan manusia sebagai mikrokosmos dipandang sebagai miniatur alam semesta atau makrokosmos. Manusia dan alam suatu kesatuan, membacakan mantra mendengarkan sabda alam.

Mantra dianggap mewakili energi agung kosmis untuk membangkitkan energi potensial manusia yakni kesadaran yang tak terbatas melalui pembacaannya yang melibatkan integrasi psiko-fisik atau meditasi yang mendalam. Kekuatan kesadaran seseorang, kekuatan kosmis dan kekuatan mantra adalah identik.  

Mantra merupakan sarana pembudayaan diri, pengembangan mental (bhavana), transformasi kesadaran, untuk merealisasi pribadi agung (adhyatma), membantu seseorang terbebas dari jerat-jerat duniawi, mencapai penyatuan dengan obyek pemujaan.

Praktik pembacaan mantra juga terjadi didalam pelaksanaan upacara keagamaan yang bersifat esoteris-mistik. Praktik spiritual itu berfungsi untuk merealisasi hubungan sempurna kebuddhaan seperti yang dirumuskan dengan istilah Buddha-dalam-diriku, aku-dalam-Buddha.

Praktik esoterik-mistis Tantra juga mempergunakan sarana spiritual lainnya, seperti: Mudra (jari – berjalin dalam sikap-sikap tubuh tertentu), Dharani (syair mistik),   Dharana (konsentrasi Yoga), dan mandala, yaitu sebuah lingkaran diagram psiko-kosmos yang menampilkan aksara-aksara suci dan simbol-simbol visual.

 

Kesadaran dan Dialektika

Sarana-sarana lahiriah dalam praktik spiritual Tantra itu dimaksudkan untuk memperoleh yang hakiki, yaitu membangkitkan kesadaran manusia yang tak terbatas atau Buddha-nature dalam diri manusia. Proses tumbuh dan kembangnya Tantra membangkitkan kesadaran ultimate dalam buddha-nature itu tak bisa dilepaskan dari ajaran yang melatar-belakanginya, seperti aliran kesadaran atau idealisme Yogacara dan dialektika-sunyata Madhyamika.

Secara teoritis, Tantra tumbuh berdasarkan atas konsep sunyata dan pengetahuan yang tak membedakan yang terdapat dalam sistem Madhyamika. Serta ajaran yang terdapat dalam Yogacara yang bersifat idealisme mengenai pentingnya kesadaran sebagai landasan bagi pengalaman pencerahan.

Berdasarkan latar belakang pengaruh ajaran Madhyamika dan Yogacara itu tumbuhlah Tantrikisme. Sebagaimana tentang keterbatasan rasio yang dikemukakan Madhyamika, maka dalam Tantra pemikiran rasional pun tidak bisa dipercaya akan membawa pencerahan. Untuk itu, dalam praktik spiritualnya memerlukan sarana spiritual dan menekankan intuisi bagi tumbuhnya Prajna yang memiliki sifat tak dapat hancur laksana berlian (vajra).

Sedangkan pengalaman kesadaran, khususnya pencapaian kesadaran murni, Tantra memperoleh pengaruh dari Yogacara. Aliran yang menekankan kesadaran ini meletakkan landasan filsofis bagi praktik-praktik esoteris mistik Tantra yang memungkinkan terjadinya transformasi kesadaran.

Sarana-sarana spiritual yang bersifat lahiriah seperti dharani, mantra, mudra maupun mandala dipergunakan dan diperlakukan secara dialektika, bersifat fungsional dan tidak melekat untuk menumbuhkan Buddha-nature. Masing-masing melengkapi satu sama lain sebagai sebuah totalitas keseluruhan, kesatuan diri dan alam dalam proses praktik Tantra.

Sarana-sarana yang melibatkan suara, visual, dan tubuh merupakan alat untuk menyelam kedalam kekosongan, sunyata dengan tidak melekat kepadanya namun melaluinya, menembus kesunyataan yang melibatkan tak terpisahkannya bentuk dan isi, memecah garis batas dualisme. Suatu kesatuan bentuk dan isi layaknya kesatuan manusia dan alam, relasi guru terhadap muridnya dalam tumbuhnya kesadaran kosmis.

 

Kesadaran Kosmis

Dengan tumbuhnya kesadaran kosmis dalam praktik Tantra, maka akan terbebaskannya pengetahuan yang bersifat dualisme. Segala sesuatu yang tampak berbeda diselami secara mendalam dan terlihat sebagai suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.

Kesadaran kosmis yang terjelma melalui upacara mistik Tantra menyatakan bahwa alam semesta seluruhnya terdiri atas dua elemen atau konstitusi yang saling melengkapi, yaitu: suatu unsur rahim bersifat mental dan pasif (garbha-dhatu), dan suatu unsur berlian yang bersifat materi dan aktif (vajra-dhatu).

Dua unsur ini merupakan prinsip dari Prajna dan Karuna atau upaya. Merupakan suatu kombinasi yang tak terbatas dari tubuh kosmis Mahavairocana (dharmakaya) yang bersifat transenden dan mencerminkan energi agung semesta yang tunggal.

Prajna dan Karuna atau Upaya merupakan juga unsur-unsur yang tak terpisahkan dari energi pria dan wanita; dinamis dan statis, transenden dan imanen, aspek-aspek realitas yang tak terpisahkan dalam mencapai pencerahan. Kesatuan yang mengatasi perbedaan-perbedaan.

Prajna dan Karuna atau Upaya dalam diri manusia direfleksikan sebagai lalana dan rasana, sisi kiri dan kanan, dipersatukan dalam praktik yoga yang disebut avadhuti. Proses penyatuan energi psikofisik, energi yang saling berlawanan, namun saling melengkapi ini merupakan refleksi Prajnopaya atau prajna dan upaya.

Tantra melibatkan proses pelatihan diri yang amat dalam didalam menembus sunyata dan refleksi prajnopaya. Proses latihan ini bisa terjadi mulai dari tahapan mental hingga kesadaran tertinggi menggapai pencerahan. Proses pelatihan tampak begitu kompleks, sehingga bagi seorang pemula atau praktisi diperlukan guru pembimbing.

 

Bersama Sang Guru

Dalam perkembangannya, praktisi akan sungguh-sungguh menjadi seorang sadhaka, yaitu seorang pembelajar dan siswa yang berbakti dan mengabdi dengan sepenuh hati kepada guru yang memang sungguh telah tercerahkan. Guru merupakan representasi kebenaran ajaran Buddha, karenanya siswa belajar dan tinggal bersama Sang Guru dalam menenun spiritualitas.

Hubungan Guru dan Siswa merupakan hubungan manusia yang sangat istimewa bersifat spiritual. Tak ada hubungan manusia yang sangat penting dan istimewa selain hubungan siswa dan gurunya. Ajaran Buddha berlanjut, hidup dan tumbuh dalam diri Sang Guru yang tercerahkan, turun-temurun dalam garis silsilah yang terus menerus, bersambungan.

Sang Guru merepresentasikan kebenaran ajaran Buddha yang mengatasi konsep. Meski kata-kata dan tulisan merupakan tanda-tanda yang sangat baik dalam mencerminkan ajaran dan membantu dalam menapaki sang jalan, namun hubungan siswa dan Sang Guru jauh lebih bermakna. Dalam keseharian siswa belajar dan mengenali kebenaran yang hidup dalam sikap, hidup Sang Guru yang merupakan representasi dari kebenaran, sang jalan itu sendiri.

Tantra melanjutkan tradisi upanisad yaitu tradisi pendidikan spiritual dalam filsafat India. Upanisad yang berarti duduk dekat kaki sang guru menerima ajaran bersifat esoteris. Sadhaka tinggal bersama Sang Guru, menerima ajaran dari Sang Guru melalui bakti atau devosi, mengintensifkan dirinya sebagai devotee melebihi sebatas student dan disciple.

Pengabdian atau devosi ini sebagai proses pelenyapan keakuan, dimana sadhaka meniti jalan kesunyataan, jalan kekosongan diri bersama Sang Guru. Melalui cara itu, Sang Guru berperan membangkitkan master kebuddhaan atau buddha-nature dalam diri Sadhaka. Peran guru spiritual sangat penting dalam tradisi Tantra dalam mengenali dan memberi bantuan bagi siswanya yang sedang berada di jalan spiritual dalam menenun dirinya sebagai proses penemuan kebuddhaannya.

Melalui guru spiritual itu, siswa atau sang sadhaka diajak menemukan esensi yang sejati yang terkandung dalam dirinya, potensi kebuddhaannya. Esensi kebuddhaan sebagai diri sejati, (bodhicitta) kesadaran Buddha yang selama ini tersembunyi di balik eksistensi kehidupannya di dunia maya yang selalu membingungkan dan kerap menipunya.

Guru membangkitkan kebuddhaan dalam diri siswa yang selama ini tersembunyi dan terpendam secara laten agar sang siswa dapat hidup dalam kesejatian dirinya, dalam kesadaran Buddha sepenuhnya. Dalam tradisi Tantra, jalan kesunyataan itu tak lepas dari seorang Guru, dan dari situlah silsilah pencerahan, perkembangan aliran selalu terjaga dan terawat! (JP).***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Bacaan:

Jo Priastana. 2017. “Filsafat Mahayana.” Jakarta: Yasodhara Putri.

  1. Adam Beck. 2021. “Sejarah Filsafat Timur.” Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi.

Heinrich Zimmer. 2003. “Sejarah Filsafat India.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Radhakrishnan, S. 1958. “Indian Philosophy Volume 1-2.” London: George Allen & Unwin Ltd.

Sangharakshita. 1980. “A Survey of Buddhism.” Boulder-Colorado and London: Shambhala Publications.

Shashi Bhushan Dasgupta. 1974. “An Introduction to Tantric Buddhism.” Boulder and London: Shambhala Publications.

Herbert V. Guenther and Chogyam Trungpa. 1975 “The Dawn of Tantra.” Australia: Penguin Books 

sumber gambar: https://charanpahari.org/2016/10/07/sadhaka-tattva/

***

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?