Oleh: Jo Priastana
Bila ada sebuah sosok imajiner-kharismatik sekaligus mengandung bobot spiritual yang bersifat religius dan sangat berwibawa di tanah Jawa, maka itu tiada lain adalah Semar. Sosok ini dalam budaya Jawa begitu kental dan menghidupi benak banyak orang.
Semar yang tidak terpisahkan dari filosofi Jawa telah memberikan filosofi kehidupan yang mencerahkan banyak orang Jawa. Tokoh mistis yang sangat meresap dalam sanubari banyak orang Jawa ini memberikan pencerahan tentang makna dan hakikat kehidupan yang sejatinya.
Selain dipandang sebagai simbol dari ke-Esa-an dan sekaligus memberikan pelajaran tentang pentingnya mengatasi hawa nafsu agar dapat menyatu dengan yang Esa, Semar juga dipandang sebagai sosok abdi pelayan dan memiliki kuasa secara spiritual.
Dalam sosok Semar yang begitu dikenal dalam dunia pewayangan ini tercermin bahwa kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Hal ini jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam di tanah Jawa.
Di kalangan spiritual Jawa, tokoh wayang Semar memang tidak dipandang sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan simbolis tentang ke-Esa-an, yaitu suatu lambang dari pengejawantahan ekspresi, persepsi dan pengertian tentang Ilahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual.
Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah religius dan berkeTuhan-an yang Maha Esa. Karena itulah, sosok Semar yang mistis itu sangat mempengaruhi filosofi kehidupan orang Jawa yang pada dasarnya bersifat religius, dan tercermin dalam sikap etis yang tidak mementingkan kebendaan serta menguasai hawa nafsu.
Abdi Pelayan Ilahi
Dikenal dalam dunia pewayangan, tokoh Semar tampil dalam wujud rakyat jelata namun menjadi sumber rujukan dan tuntunan untuk dimintai pendapat dan nasehat bagi para ksatria dan penguasa. Karenanya Semar dipandang sebagai sosok abdi yang bertugas melayani, memberikan pencerahan dan jalan bagi mereka yang berada di dalam kegelapan dan keremangan.
Dalam bahasa atau filosofi Jawa Semar mendapat sebutan Badranaya. Badra berasal dari kata Bebadra yang berarti membangun sarana dari dasar. Naya berasal dari Nayaka yang berarti utusan untuk berdharmaduta menyebarkan ajaran luhur.
Dengan begitu, sosok Semar sebagai Badranaya ini dapat diartikan sebagai sosok yang mengemban sifat membangun dan melaksanakan ajaran luhur demi kesejahteraan manusia. Secara Javanologi, Semar berarti Hasemin samar-samar, dan secara harafiah berarti: Sang Penuntun Makna Kehidupan.
Bila Rambut semar berbentuk “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno), itu maknanya hendak mengatakan: akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar adalah seorang abdi pelayan spiritual yang memberikan pencerahan.
Kuasa Spiritual
Apakah Semar berjenis kelamin lelaki atau perempuan? Tidak diketahui pastinya, dan tampaknya Semar bukanlah sosok lelaki dan juga bukan perempuan. Bila kita melihat gambarnya, maka akan banyak makna yang terungkap dari atribut dan penampilan Semar.
Tangan kanannya ke atas dan tangan kirinya ke belakang. Maknanya: ”sebagai pribadi tokoh Semar hendak mengatakan simbol Sang Maha Tunggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik”.
Semar kerap disebut-sebut berdomilisi di Karang Ampel sebagai lurah (Karang = gersang, dempel = keteguhan jiwa). Sosok sebagai lurah ini menunjukkan bahwa Semar memiliki makna secara spiritual sebagai memiliki kuasa.
Semar berjalan menghadap ke atas maknanya: “dalam perjalanan sebagai wujud anak manusia, Semar memberikan teladan agar selalu memandang ke atas (sang Khaliq) yang Maha pengasih serta penyayang umat”.
Kain Semar disebut Parangkusumorojo yang berarti perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono. Ini berarti setiap orang yang dalam hidupnya berlandaskan pada filosofi Semar akan tidak melepaskan tugasnya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi.
Ciri sosok Semar adalah: Semar berkuncung seperti kanak-kanak namun juga berwajah sangat tua. Semar tertawanya selalu diakhiri nada tangisan. Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa. Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok. Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekuensi atas nasehatnya.
Mengatasi Hawa Nafsu
Dari tokoh Semar wayang ini dapat dikupas, dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh Kebudayaan Jawa. Semar dikenal juga sebagai pralambang ngelmu gaib yang bertujuan kasampurnaning pati dengan jalan mengatasi hawa nafsu.
Semar sering terlukis dalam bentuk gambar bertuliskan aksara Jawa Kuno. Gambar kaligrafi Jawa tersebut bermakna: Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternoda oleh dosa.
Manusia Jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya: “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.
Filosofi Semar dan berbagai kearifan yang tergambar di atas tersebut juga dapat dibaca dalam konteks Buddhadharma. Ke-Esa-an yang mengacu kepada Yang Absolut, Yang Mutlak, atau sebutan lainnya seperti Yang Ilahi, – dimana Semar menjadi simbolisasi mistis – juga dapat kita kenali dalam Buddhadharma.
Konteks Buddhadharma
Dalam Buddhadharma juga dikenal Yang Absolut, Yang Mutlak, Yang Tidak Bersyarat, Yang Tidak Berkondisi sebagaimana tercermin dalam Udana VIII:3. “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan, dan Yang Mutlak.”
Setiap kehidupan manusia akan berlandaskan dan berjalan menuju kepada Yang Mutlak ini, dan karena itulah perjalanan dalam kehidupan suci seperti mengatasi hawa nafsu itu menjadi dimungkinkan. Karena adanya Yang Absolut atau Yang Mutlak ini, maka cita-cita kesempurnaan hidup yang bebas dari kelahiran dan kematian menjadi dimungkinkan.
Hidup tampaknya menjadi suatu perjalanan untuk menaklukkan diri sendiri, egoisme dan mengatasi hawa nafsu atau tanha. Dalam perjalanan kesucian inilah, manusia hendaknya selalu sadar dan eling akan keberadaan Yang Mutlak, Yang Absolut dan sekaligus mampu merendahkan dirinya serendah mungkin sebagai pelayan dimana keakuan dan keegoisan disingkirkan.
Dunia kehidupan yang penuh perubahan seringkali menghadirkan kebingungan, apalagi bila hawa nafsu begitu berkuasa. Namun begitu, manusia senantiasa mencari titik terang di tengah kegelapan, mencari pencerahan di tengah keremangan, mencari kejelasan di tengah kesamaran, dan bahkan seringkali dalam kaca-mata kesadaran, dunia kehidupan yang sesungguhnya terbungkus dalam dunia keremangan yang samar-samar.
Karena itulah, jalan kewaspadaan senantiasa harus terjaga, jalan kesadaran senantiasa harus ditumbuhkan, karena dibalik segala bentuk keanekaragaman, pluralitas maupun dualitas sesungguhnya mencerminkan hakekat yang satu, tunggal dan esa.
Semar yang dikenal sebagai tokoh pewayangan mengajarkan kita akan dunia kehidupan yang serupa bayang-bayang, samar-samar. Dibalik layar yang menghadirkan bayang-bayang dunia kehidupan dengan beragam sifat dan wataknya sebanyak tokoh-tokoh wayang, terdapat sang dalang yang memutar dunia kehidupan ini.
Adakah kita harus berada terus menerus dalam dunia bayang-bayang? Dunia yang penuh kesemuan, maya dan bukan sesungguhnya? Tentu saja tidak, dan tentu saja kita pun tidak bisa melepaskan dan menanggalkan begitu saja, karena sesungguhnya dibalik dunia bayang-bayang itu tersimpan dunia yang sejati, dunia yang sesungguhnya.
Kesejatian seringkali tampil di dalam berbagai kesamarannya yang dapat kita kenali ketika kesadaran tumbuh dan kewaspadaan terjaga. Ibarat roda dharma yang menuntun kita di jalan kesunyataan, Semar mengajak kita untuk menyelami secara mendalam dunia bayang-bayang, dunia yang samar-samar, atau dunia yang relatif, dunia perubahan dan dualitas hingga akhirnya mendapati tiada sesuatu apapun juga disana! (Jo Priastana).
(Sumber: Jo Priastana. 2016., “Buddhadharma dan Jaman Edan”. Jakarta: Yasodhara Puteri: 30-34)