Oleh: Latifah (Dosen STAB Kertarajasa)
Pada 29 Januari 2025, sebuah diskusi daring yang menarik bertajuk Filsafat Konfusianisme dan Refleksinya di Era Modern diadakan dengan pemateri Prof. Drs. M. Mukhtasar Syamsuddin, Mu.Hum., Ph.D. of Arts, yang merupakan seorang guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM). Acara ini mempertemukan para peserta untuk menggali lebih dalam tentang relevansi ajaran Konfusianisme, khususnya yang berkembang di Korea, serta bagaimana ajaran tersebut dapat diterapkan untuk menghadapi tantangan kehidupan modern yang terdisrupsi oleh teknologi.
Prof. Mukhtasar membuka presentasinya dengan menjelaskan pentingnya filsafat Timur dalam konteks pemikiran global. Filsafat Timur, yang sering kali dianggap sebagai pemikiran yang lebih mengutamakan kolektivisme, nilai-nilai sosial, dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, memiliki relevansi yang sangat penting, terutama dalam menghadapi masalah sosial yang kompleks di era modern. Dalam pandangannya, Konfusianisme adalah salah satu cabang filsafat Timur yang memberikan pencerahan mengenai bagaimana seharusnya kita menjalani hidup di tengah perubahan zaman. Menurut Prof. Mukhtasar, ajaran Konfusianisme mengajarkan pentingnya nilai-nilai moral seperti kesopanan, kebijaksanaan, kesetiaan, dan empati, yang dapat membantu individu menjaga keseimbangan dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Salah satu fokus utama dalam presentasi ini adalah Konfusianisme Korea, atau yang lebih dikenal dengan istilah Neokonfusianisme. Prof. Mukhtasar mengungkapkan bahwa meskipun Konfusianisme berasal dari Tiongkok, ajaran ini diadaptasi dan berkembang dengan cara yang sangat khas di Korea, yang mencerminkan nilai-nilai budaya lokal mereka. Konfusianisme Korea menekankan pentingnya hubungan antara individu dengan keluarga, masyarakat, dan negara. Dalam masyarakat Korea, nilai-nilai seperti kesetiaan kepada orang tua, penghormatan terhadap guru, dan kedudukan tinggi bagi orang yang lebih senior menjadi bagian integral dari struktur sosial mereka. Dalam ajaran ini, pengakuan terhadap otoritas, terutama dalam konteks keluarga dan pendidikan, sangat dijunjung tinggi.
Namun, Prof. Mukhtasar juga mengakui bahwa dunia modern yang semakin didominasi oleh teknologi dan globalisasi menghadirkan tantangan baru terhadap nilai-nilai tradisional, termasuk yang terdapat dalam Konfusianisme. Era disrupsi teknologi, yang mengubah cara kita bekerja, berinteraksi, dan bahkan merayakan tradisi, telah menciptakan perubahan besar dalam struktur sosial dan budaya. Salah satu contoh konkret yang diberikan adalah perubahan cara merayakan Idul Fitri di Indonesia. Dulu, perayaan tersebut melibatkan pertemuan keluarga besar, saling kunjung mengunjungi, serta berbagi momen kebersamaan secara langsung. Namun, dengan hadirnya teknologi dan media sosial, banyak orang kini lebih memilih untuk mengucapkan selamat lewat pesan WhatsApp, mengurangi interaksi tatap muka. Perubahan ini menggambarkan bagaimana teknologi telah merubah struktur sosial dan cara kita berinteraksi satu sama lain.
Dalam presentasinya, Prof. Mukhtasar menyoroti pentingnya untuk tidak hanya mengkritisi perubahan tersebut, tetapi juga untuk memahami bagaimana kita dapat menghadapi dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Ajaran Konfusianisme Korea, meskipun berakar pada tradisi lama, memberikan wawasan berharga tentang bagaimana nilai-nilai keluarga dan sosial bisa tetap bertahan meski dalam dunia yang serba cepat ini. Salah satu aspek yang menonjol dalam Konfusianisme Korea adalah pentingnya ketahanan emosional (emotional resilience). Ajaran ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara perasaan pribadi dan kewajiban sosial. Dengan demikian, meskipun teknologi dan globalisasi mengubah banyak hal, nilai-nilai dasar seperti kasih sayang, kesetiaan, dan tanggung jawab sosial tetap dapat berfungsi sebagai panduan dalam menghadapi tantangan hidup.
Selain itu, Prof. Mukhtasar juga memaparkan tentang dualisme dalam pemikiran Konfusianisme Korea yang melibatkan perdebatan antara dua tokoh besar, Yi I (I-yulgok) dan Jeong Do-jeon (Iwang). Mereka memperdebatkan pentingnya Four Beginnings (compassion, propriety, wisdom, trust) dibandingkan dengan Seven Emotions (joy, anger, sorrow, fear, love, dislike, desire). Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara prinsip-prinsip moral yang abstrak dengan emosi manusia yang lebih konkret dan sering kali terpengaruh oleh faktor eksternal. Prof. Mukhtasar menjelaskan bahwa meskipun kedua pandangan ini berbeda, keduanya memiliki kontribusi penting dalam mengajarkan kita bagaimana cara berperilaku dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Prof. Mukhtasar juga menekankan bahwa ajaran Konfusianisme Korea tetap relevan di tengah perkembangan teknologi yang cepat. Meskipun banyak orang kini merasa terisolasi akibat pengaruh teknologi, ajaran ini mengajarkan pentingnya membangun hubungan sosial yang kuat. Konfusianisme menekankan pada nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan empati, yang sangat diperlukan untuk mengatasi perasaan kesepian dan terasing yang sering muncul dalam kehidupan modern. Salah satu solusi yang ditawarkan dalam ajaran ini adalah pentingnya membangun komunitas yang mendukung dan memberikan rasa aman bagi anggotanya.
Diskusi ini juga menyentuh tentang bagaimana Pancasila, sebagai filsafat hidup Indonesia, memiliki kesamaan dengan ajaran Konfusianisme dalam beberapa hal. Pancasila mengajarkan keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta antara tradisi dan kemajuan. Prof. Mukhtasar mengungkapkan bahwa Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, dapat menjadi panduan bagi masyarakat dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks. Salah satu nilai yang paling relevan adalah gotong royong, yang sejalan dengan prinsip kebersamaan dalam Konfusianisme.
Pada akhir sesi, Prof. Mukhtasar mengajak para peserta untuk melakukan refleksi kritis mengenai bagaimana nilai-nilai tradisional, baik dari Konfusianisme maupun Pancasila, dapat diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah perubahan sosial dan teknologi yang semakin pesat. Dalam dunia yang semakin terdisrupsi oleh teknologi, penting bagi kita untuk tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan, keharmonisan sosial, dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat. Dengan mengaplikasikan ajaran Konfusianisme Korea dan Pancasila, kita dapat menemukan keseimbangan antara kehidupan modern yang penuh tekanan dan nilai-nilai tradisional yang tetap relevan.
Secara keseluruhan, diskusi ini memberikan wawasan yang sangat berguna bagi para peserta tentang bagaimana kita dapat menghadapi tantangan kehidupan di era digital dengan bijaksana. Prof. Mukhtasar mengingatkan kita bahwa meskipun teknologi terus berkembang, nilai-nilai sosial dan keluarga tetap menjadi landasan penting dalam membangun kehidupan yang bermakna dan penuh rasa empati.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).