Oleh: Majaputera Karniawan, M.Pd.
“Tuhan tidak perlu dibela dari penistaan tetapi tuhan perlu dibela dari ancaman kapitalisme kronis.”
Biasanya, kita berbelasungkawa kepada orang yang telah meninggal. Kita memberikan salam perpisahan sekaligus penghormatan tertinggi dengan kalimat RIP (Rest In Peace), atau bahkan bagi masyarakat Tionghoa biasa menggunakan idiom Yi Lu Qu Hao 一路走好 yang bermakna semoga alm/almh mendapatkan jalan yang baik kemudian kelak.
Sebelum ataupun setelah kita mendoakan kedamaian dan ketenangan bagi alm/almh, sudah menjadi satu kewajaran keluarga alm/almh entah itu anak, istri/suami, orang tua yang masih hidup akan memohon agar bila ada kesalahan ataupun dosa-dosa alm/almh semasa hidup agar tidak menjadi ganjalan baginya di alam sana.
Tetapi di masa kini, orang yang sudah mati sekalipun masih bisa menjadi pembicaraan. Meskipun sejak dahulu lazim membicarakan kebajikan almarhum di muka umum dan membicarakan keburukannya di ruang terbatas sebatas untuk bahan evaluasi, kini sudah sering bahkan lazim bergeser menjadi kebutuhan gosip semata. Seakan kita berusaha membuat si mati tidak rela akan kematiannya lalu mengumbar segala keburukannya meski keburukan tersebut tidak termasuk kejahatan fatal seperti genosida. Mengapa hal ini bisa terjadi?
A. Narasi Oligarki Kapitalisme
Di masa kini, sebuah fenomena mengusik dosa dosa si mati hanya 1 dari sekian banyak paradoks abjeksi moral (moral ada, tetapi hanya sebagai “Pajangan” dan tidak digunakan) di era posmodern. Sama halnya dengan narasi-narasi kesetaraan gender di tengah masyarakat kita namun masih banyak mereka yang tanpa paksaan memilih sebagai pekerja hiburan, spa, atau bahkan sales rokok keliling berpakaian mengguncang birahi. Keterbukaan tubuh seorang wanita yang dieksploitasi kini menjadi simbol produk yang bahkan tidak ada hubungannya dengan kecantikan ataupun kewanitaan, seakan tanpa bumbu keseksian, produk seperti mobil, motor, rokok, HP, jam tangan, dan lain-lain menjadi tidak laku. Ini disebut sebagai Libidosophy, ilmu tentang memanfaatkan libido, yang sudah mulai menggeser Philosophy (kecintaan akan ilmu/kebijaksanaan).
Narasi apa yang mengakari ini semua? Akarnya dari Kapitalisme yang sudah mengglobal. Apa itu kapitalisme? Singkatnya seperti ini: Lu punya modal, lu punya kuasa. Lalu orang-orang yang punya modal dan kuasa ini membentuk “kubu-kubu”an. Kubu-kubu ini beraneka kekuatannya ada yang kuat sedang dan tidak terlalu kuat. Mereka sang pemilik kapita mempertahankan eksistensinya lewat oligarki feodal pada lingkungannya masing-masing. Misal di satu organisasi publik menonjol pihak tertentu yang disebut ketua dan kelompoknya. Seakan organisasi hanya milik mereka padahal ini adalah organisasi publik dan mereka yang diberi kepercayaan oleh orang-orang untuk mengelola sistem tersebut. Ini hanya contoh kecil, ada juga yang skala negara bahkan internasional, karena kini materialisme yang mewujud dalam oligarki kapitalisme sudah menjadi semacam ideologi yang bisa menjangkiti siapa saja.
B. Panggung Feodalisme VS Egalitarianisme
Feodalisme adalah cara bagi kaum kapitalis mempertahankan kekuasaannya. Karena mereka punya akses mereka mengangkat diri mereka, ataupun orang yang menjadi kaki tangan sebagai “Pemimpin” yang tidak pernah salah. Sama seperti era dinasti Tionghoa di mana kaisar yang dianggap putra langit tidak pernah salah, Segala bentuk kritik kepada kaisar artinya pemberontakan. Lalu orang-orang modern dan posmodern meninggalkan itu semua, mereka mulai sadar dengan prinsip kesetaraan (Egalitarianisme), mereka kini membuat semacam sistem di mana seseorang di anggap layak untuk menjadi pemimpin karena kemampuan kinerjanya, kapasitas dan kapabilitasnya (Meritokrasi) bukan karena ia adalah anak petinggi atau pihak yang secara garis penguasa (autokrasi). Tetapi bagaimana mungkin penjahat diam saja? Bukankah dunia ini panggung sandiwara dualitas yang saling bertentangan?
Benar sekali. Bahkan sekalipun Karl Marx dalam Das Kapitalism nya menyatakan akan selalu ada perang antara Kaum Borjuis (Baca: Kaum kapitalis dan orang kaya) dengan kaum Proletariat (Kaum lemah, miskin, termarjinalkan), tetapi mungkin Marx akan kaget dengan keadaan kapitalisme global saat ini, di mana kapitalisme berkat dukungan teknologi telah merenggut kebebasan jiwa-jiwa manusia bahkan melipat lipat mereka seperti memaksakan paket-paket muat ke dalam sebuah kontainer. Karl Marx mungkin juga tidak menyangka akan ada pergulatan antara Kapitalisme dan Egalitarianisme dalam Demokrasi!
Dalam demokrasi, rakyat bebas bersuara dan mengkritisi pemimpinnya, suara-suara egaliter nampak digaungkan. Tetapi membawa demokrasi pada rakyat yang mayoritas secara mental masih terjajah autokrasi hanya akan menghasilkan demokrasi semu, sama seperti memberikan driving license hasil bribing (suap) kepada anak berusia 21 tahun. Ketika orang hanya peduli pada serangan fajar, pada citra penampilan, pada logosentrisme, tanpa memperhatikan secara detail karena boro-boro mau memperhatikan detail, diminta membaca saja susah, boro-boro diminta berpikir? Masyarakat yang terjangkit demokrasi semu lebih suka menonton sandiwara-sandiwara lalu membuat penilaian singkat, mudah digiring dan mudah dimanipulasi. Sehingga hal ini memudahkan para kapitalis berkuasa dalam feodalisme bahkan semakin mengakar dan berskala global.
Akhirnya demokrasi hanya kamuflase dari autokrasi. Kita bisa lihat beberapa narasi-narasi “Ini milik negara bukan bisnis keluarga” atau “Ini milik publik bukan milik ormas” tetapi seakan tidak banyak yang peduli. Hanya mereka semakin menggila. Semua kapitalis menonjolkan politik identitas pada dirinya atau orang yang dipilihnya selalu muncul di depan publik. Misal organisasi A identik dengan pimpinan tokoh A sehingga identitas organisasi A hanya milik si A saja, bahkan identitas ini selalu disuarakan untuk hal-hal yang kurang penting seperti ucapan hari A, B, C, atau bahkan sekedar ucapan selamat pagi, siang, malam. Para Feodalis ingin mencitrakan bahwa mereka satu satunya pemimpin untuk mempertahankan oligarki yang sudah ada dengan contoh demikian. Ini ada hampir di semua organisasi modern saat ini. Mereka yang berani mengkritik akan dianggap penghianat, mereka yang berani bersuara akan dilibas, tak jarang dalam proses pelibasan, demi mempertahankan eksistensi akan menggunakan cara-cara kotor termasuk yang kita bahas di awal, mengusik jiwa si mati dengan mengumbar dosa-dosanya.
C. Agama di Tengah Gempuran Kapitalisme
Sampai saat ini, manusia belum menemukan solusi lebih baik agar manusia tidak kebablasan dalam segala hal, termasuk dalam masalah moral selain agama. Bila orang-orang ateis dengan pendapatnya menentang tuhan dan lebih baik hukum positif dan sanksi sosial dalam mengontrol manusia, nyatanya eksistensi keduanya bisa dimanipulasi juga dengan kekuatan kapitalisme global yang semakin menggila.
Meski begitu, agama sebagai salah satu benteng terakhir moral selain hukum positif dan sanksi sosial juga mulai menunjukkan pelemahan. Berapa banyak ajaran agama yang dipaksa tunduk oleh manipulasi kapitalisme? Misalnya tafsir doktrin agama yang dimanipulasi oleh oknum rohaniwan demi memuluskan kepentingan penguasa. Karl Marx sendiri percaya bahwa agama hanya alat untuk meninabobokan dan memberi harapan palsu kepada jiwa-jiwa yang lelah oleh lipatan kaum kapitalis. Seakan akan ada pembalasan yang adil di alam sana padahal mereka sendiri kelaparan di sini dan di saat ini. Pemikiran Karl Marx nampaknya bukan omong kosong belaka, bisa kita lihat berapa banyak oknum tokoh agama yang mengajarkan kesederhanaan tetapi mereka sendiri hidup dalam hedonisme kronis. Dalam hal ini spiritualitas juga digadang-gadang sebagai jalan keluar dari ini semua, tetapi rupanya malah muncul fenomena neospiritualisme, seperti penjajaan jasa santet, pelet, azimat kekayaan, dan sebagainya; Spiritual yang bukan membebaskan jiwa manusia dari keserakahan tetapi malah menjerat manusia pada pengejaran materi secara instan, yaapp materialisme lagi.
Barangkali, kita tidak perlu mencari-cari solusi baru, cukup memperkuat apa yang sudah ada dan memberikan tangan-tangan bersih kekuatan. Seperti menjaga nama baik dewa dari gempuran kapitalisme. Tuhan tidak perlu dibela dari penistaan tetapi tuhan perlu dibela dari ancaman kapitalisme kronis. Pertanyaannya adalah bila tuhan perlu dibela dari kapitalisme, apakah ia tidak mahakuasa? Kita tidak sedang meragukan kemahaesaan ataupun kemahakuasaan tuhan sebagai sumber norma dan kehidupan primordial bagi agama-agama, tetapi kita sedang mencegah kapitalis membungkam nama-nama tuhan dalam suara-suara pergolakan dunia. Bila suara tuhan sudah dibungkam maka norma akan diterabas dan diabjeksikan. Bila norma sudah abjeksi total, manusia akan saling berperang dan mencapai katastrofi jiwa kebinatangan maksimalnya, mungkin inilah narasi kehancuran manusia karena ulahnya sendiri yang terlalu bergerak tanpa arah, tuhan akan melihat kita hancur dari sana.
Nilai-nilai tradisional seperti masyarakat adat, masyarakat religius, masyarakat sosial yang saling gotong royong tidak sepenuhnya buruk meski manusia modern sudah habis-habisan menyatakannya sebagai primitif, nyata-nyatanya manusia modern dengan lanyard kantornya banyak yang tidak bisa tersenyum ikhlas layaknya mereka yang hanya bertopi caping. Dalam nilai-nilai tradisional yang kembali dihidupkan, kita dibawa menjelajah kembali nilai-nilai moral yang membuat para leluhur kita ada. Karena mereka ada kita juga ada. Dari sini muncul rasa bangga pada mereka dan aku juga ingin seperti mereka, bukan seperti manusia berlanyard dengan jiwa kesepian.
Narasi-narasi tradisional membawa nilai-nilai altruis, memikirkan kesejahteraan semua makhluk. Seperti narasi semoga semua makhluk berbahagia (Kp9 Karaniya Mettasutta) bagi pengikut filsafat Buddhis; Di empat penjuru samudera kita semua saudara (Lun Gi XII:5) bagi penganut filsafat Konfusianisme; Silih asah silih asih silih asuh bagi penganut pitutur Sunda, membangun masyarakat yang saling terhubung dan memiliki. Dalam satu kata “gotong royong” saling memikirkan dan saling memiliki. Sebenarnya secara tidak langsung lewat narasi-narasi tradisional seperti ini, kita melangkah menuju persatuan yang sejati. Menuju bangsa yang kuat dan tidak terjajah, karena ketika satu orang terdampak masalah ramai semua membantu. Hanya saja siapkah kita meletakan ego kita untuk menggaungkan narasi-narasi altruis ini? Atau kita memilih status quo, tetap berlari dalam individualis yang mudah dijajah kapitalisme?
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
1. Piliang, Y. A. (2011). Dunia yang dilipat: Tamasya melampaui batas-batas kebudayaan. Matahari.
2. Piliang, Y. A. (2017). Dunia yang berlari: dromologi, implosi, fantasmagoria. Aurora (CV. Cantrik Pustaka).
3. Marx, K. (2018). Das kapital. e-artnow.
4. Sishu, K. (2012). Kitab Suci Agama Khonghucu. Sala: Matakin.
5. Suttacentral. (2018). Khuddakapatha. http://suttacentralnet/kp accesed on Feb 25.
6. Image from Meta AI (Llama 3.2) Created on Feb 25.