Menjadi Pembelajar Sejati Filsafat Buddhadharma

Home » Artikel » Menjadi Pembelajar Sejati Filsafat Buddhadharma

Dilihat

Dilihat : 16 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 34
  • 46
  • 40,180
Pic 1 Nov 24

Oleh: Jo Priastana

 

“Tujuan Hidup adalah untuk hidup dengan Bijaksana dan Merenung”
(Plato, 427-347 SM, Filsuf Yunani)

 

Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah, dan menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan agama. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilai. Bidang filsafat sangat luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai persoalan.
Berbagai persoalan filsafat seperti: asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Dalam menjawab persoalan-persoalan itu, filsafat bisa menggunakan bahan-bahan deskriptif yang disajikan bidang-bidang studi khusus, namun melampauinya dengan menyelidiki atau menanyakan sifat dasarnya, nilai-nilainya dan kemungkinannya. Tujuannya adalah pemahaman (understanding) dan kebijaksanaan (wisdom), sebagaimana asal kata filsafat, philosophia atau suka-kebenaran.
Filsafat menjawab segala persoalan yang menjadi pertanyaan-pertanyaan manusia mengenai dirinya dan kedudukannya di alam semesta. Dalam studi akademis filsafat, setidaknya dikenal tiga persoalan dasar dalam filsafat. Ada tiga besar persoalan filsafat, yaitu Persoalan Keberadaan: Being/Eksistensi, Persoalan Pengetahuan atau Epistemologi dan Persoalan Nilai yang berkenaan dengan Etika dan Estetika. (Tim Dosen Filsafat UGM, “Filsafat dan Ilmu Pengetahuan,” Yogyakarta: Liberty, Hal 16-19).

 

Persoalan Keberadaan
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Persoalan keberadaan atau eksistensi bersangkutan dengan cabang filsafat metafisika. Metafisika bersasal dari kata Yunani meta ta physika yang dapat diartikan sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda-benda fisik.
Aristoteles sendiri tidak memakai istilah metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik seperti bergerak, berubah, hidup, mati. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.
Persoalan Metafisis dibedakan menjadi tiga, yaitu persoalan ontologi, persoalan kosmologi, dan persoalan manusia atau antropologi. Persoalan-persoalan ontologis diantaranya adalah: Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu? Bagaimana penggolongan dari ada, keberadaan atau eksistensi? Apa sifat dasarnya (nature) kenyataan atau keberadaan?
Persoalan-persoalan kosmologis (alam). Persoalan kosmologis bertalian dengan asal mula, perkembangan, dan struktur atau susunan alam. Jenis keteraturan apa yang ada dalam alam? Dalam arti mesin atau tujuan? Apa hakikat hubungan sebab-akibat? Apakah ruang dan waktu?
Persoalan Antropologi (Manusia): Bagaimana terjadi hubungan badan dan jiwa? Apa yang dimaksud dengan kesadaran? Manusia sebagai makhluk bebas atau tidak bebas?
Berbagai aliran filsafat memberikan jawaban terhadap masalah-masalah keberadaan ini. Ada Aliran-aliran yang menjawab persoalan keberadaan yang berkenaan dari segi kuantitas seperti: Monisme, Dualisme, Pluralisme. Begitu pula ada aliran-aliran yang menjawab persoalan keberadaan dari segi kualitas, seperti: Spiritualisme, Materialisme. Proses: kejadian, perubahan, Mekanisme, Teleologi, Vitalisme, Organisisme.

 

Persoalan Pengetahuan
Persoalan pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth). Pengetahuan ditinjau dari segi isinya bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi. Sedangkan kebenaran ditinjau dari segi bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat logika.
Epistemologi. Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”, sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh? Bagaimana validitas pengetahuan itu dapat dinilai? Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan prapengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).
Sumber pengetahuan misalya aliran: Rasionalisme, Empirisme, Realisme, Kritisisme. Sedangkan hakikat pengetahuan sepert aliran: Idealisme, Empirisme, Positivisme, Pragmatisme.
Persoalan Pengetahuan. Logika. Logika sebagai cabang filsafat bersangkutan dengan kegiatan berpikir. Secara etimologi, berasal dari kata Yunani Logos, yang berarti, nalar, teori, atau uraian. Logika dapat didefinisikan sebagai ilmu, kecakapan atau alat untuk berpikir secara lurus. Dengan demikian yang menjadi objek material logika adalah pemikiran, sedangkan objek formalnya adalah kelurusan berpikir.
Persoalan-persoalan logika adalah: Apa yang dimaksud dengan pengertian (concept)? Apa yang dimaksud dengan putusan (proposition)? Apa yang dimaksud dengan penyimpulan (inferensi)? Apa aturan-aturan untuk dapat menyimpulkan secara lurus? Apa macam-macam silogisme? Apa macam-macam sesat pikir (fallacy)?

 

Persoalan Nilai
Persoalan nilai-nilai (values). Nilai-nilai dibedakan menjadi dua, nilai-nilai kebaikan tingkah laku dan nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai kebaikan tingkah laku bersangkutan dengan cabang filsafat etika. Nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat estetika.
Etika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat moral (moral philosophy). Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani ethos = watak. Sedangkan moral berasal dari kata Latin mos, bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak mores = kebiasaan. Istilah etika atau moral dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas tidak dapat dikenai pernilaian bermoral atau tidak bermoral.
Persoalan-persoalan dengan etika diantaranya adalah: Apa yang dimaksud “baik” atau “buruk” secara moral? Apa syarat-syarat sesuatu perbuatan dikatakan baik secara moral? Bagaimanakah hubungan antara kebebasan kehendak dengan perbuatan-perbuatan susila? Apa yang dimaksud dengan kesadaran moral? Bagaimanakah peranan hati nurani (conscience) dalam setiap perbuatan manusia?
Bagaimanakah pertimbangan moral berbeda dari dan bergantung pada suatu pertimbangan yang bukan moral? Jawaban-jawaban masalah itu muncul dalam aliran-aliran filsafat etika misalnya: Idealisme Etis, Deontologisme Etis, Etika Teleologis, Hedonisme, Utilitarianisme.
Estetika. Etika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat keindahan (philosophy of beauty). Secara etimologi, estetika berasal dari kata Yunani aisthetika: hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau aesthesis = cerapan indera.
Kalau etika digambarkan sebagai teori tentang baik dan jahat, maka estetika digambarkan sebagai kajian filsafat tentang keindahan dan kejelekan. Baik etika maupun estetika keduanya bertalian dengan nilai-nilai. Etika bertalian dengan nilai-nilai moral sedangkan estetika bertalian dengan nilai bukan moral yang berkenaan dengan keindahan.
Persoalan-persoalan estetis diantaranya sebagai berikut: Apa keindahan itu? Keindahan bersifat objektif atau subjektif? Apa yang merupakan ukuran keindahan? Apa peranan keindahan dalam kehidupan manusia? Bagaimanakah hubungan keindahan dengan kebenaran?
Dari pembahasan masalah-masalah tersebut, maka secara keseluruhan studi filsafat atau kajian filsafat secara komprehensif akan memunculkan kajian dalam cabang-cabang seperti: filsafat metafisika, filsafat ontologi, filsafat pengetahuan atau epistemologi, logika, filsafat etika dan filsafat estetika. Cabang-cabang filsafat tersebut tercermin dalam kurikulum sebagai mata kuliah.

 

Buddhadharma dan Kajian Filsafat
Dengan demikian, dalam perspektif kajian filsafat, maka studi filsafat Buddhadharma atau Buddhadharma dalam kajian filsafat menjangkau segenap pembahasan yang menjadi persoalan-persoalan filsafat. Bagaimana pandangan Buddhadharma terhadap persoalan keberadaan, terhadap persoalan pengetahuan, serta terhadap persoalan nilai.
Dalam persoalan keberadaan, maka akan kita temukan studi Buddhadharma mengenai keberadaan yang mencakup masalah metafisika, ontologi, kosmologi dan antropologi atau filsafat manusia. Kurikulum untuk bidang studi filsafat Buddhadharma pun pastinya akan meliputi: bagaimana persoalan metafisika, ontologi, epistemologi, logika, etika dan estetika dalam Buddhadharma.
Dalam studi Buddhadharma secara filsafat, maka persoalan-persoalan filsafat yang dalam studi filsafat menjelma menjadi cabang-cabang filsafat dilihat dalam kacamata atau paradigma Buddhadharma. Bagaimana Buddhadharma dengan persoalan keberadaan, pengetahuan dan nilai.
Jawaban-jawaban tersebut akan memunculkan mata kuliah filsafat Buddha yang berisikan: metafisika dalam Buddhadharma, Ontologi dalam Buddhadharma, Epistemologi dalam Buddhadharma, termasuk yang berkenaan dengan logika, moralitas dan etika dalam Buddhadharma, Estetika dalam Buddhadharma. Sangat menarik mendekati Buddhadharma secara filsafat. Dengan mendalami persoalan-persoalan filsafat tersebut, persoalan yang tampaknya abadi yang menyangkut keberadaan, pengetahuan dan nilai menuntut menjadi pembelajar sejati filsafat Buddhadharma.

 

Kucing Hitan dalam Ruang Gelap
Dalam memandang keseluruhan persoalan filsafat itu, filsafat tampaknya seperti mencari kucing hitam di dalam ruang gelap. Metafisika seperti berada di dalam ruang gelap yang sedang mencari kucing hitam yang tidak ada. Ada pula Teologi yang dalam kajian filsafat termasuk dalam cabang metafisika. Bila filsafat kerap diperumpamakan seperti berada di dalam ruang yang gelap untuk melihat kucing hitam yang tidak ada, maka teologi berseru “sudah menemukannya.”
Lalu bagaimana dengan sains, ilmu pengetahuan? Filsafat melahirkan segenap pertanyaan dan segenap persoalan yang meliputi, ada, pengetahuan dan nilai yang terwujud dalam masalah keberadaan, epistemologi, etika serta estetika. Filsafat dikenal sebagai ibu dari segala ilmu pengetahuan, “mother of sciences.” Filsafat mengajukan segala pertanyaan dan berusaha menjawabnya, dan ilmu lahir dari munculnya pertanyaan yang menghasilkan suatu jawaban.
Science yang kerap disebut sebagai filsafat alam. Ibaratnya science perpanjangan dan jawaban masalah filsafat, seperti berada dalam ruang gelap untuk menemukan seekor kucing hitam dengan menggunakan senter (flashlight). Akankah cahaya terang ini menemukan kucing hitam dalam ruang gelap? Akankah cahaya terang atau pencerahan Buddhadharma sudah menemukan kucing hitam dalam ruang gelap kebodohan, sehingga Buddhadharma hanya diyakini sebagai teologi dengan layaknya bersikap sudah tahu? Sikap yang tidak mencerminkan pembelajar sejati Buddhadharma.
Pembelajar Sejati Filsafat Buddhadharma. Sebagai pembelajar filsafat sejati Buddhadharma dewasa ini tentunya tidak lepas dari perkembangan sains yang layaknya seperti mencari kucing hitam dalam ruang gelap yang disertai dengan senter science. Menjadi pembelajar filsafat Buddhadharma, sebagaimana dengan pembelajar-pembelajar filsafat pada umumnya juga tidak luput perhatiannya terhadap perkembangan sains.
Menjadi pembelajar sejati filsafat akan mendatangkan sikap yang realistis, kritis, rasional, holistis. Pembelajar sejati yang humanis, peka terhadap nilai dan persoalan kemanusiaan serta terbuka terhadap segenap pandangan, pertanyaan dan jawaban terhadap persoalan seperti tercermin di dalam berbagai aliran filsafat. Pembelajar sejati filsafat Buddhadharma layaknya mencerminkan sikap kritis Siddhartha Muda yang tumbuh dalam semarak pandangan atau ditthi, pemikiran semasanya, dan melakoninya sebagai hipotesa untuk menemukan cahaya kebenaran dalam realitas.
Menjadi pembelajar sejati filsafat Buddhadharma masa kini juga layaknya cerminan filsuf Siddhartha Muda semasanya. Menghadapi segenap persoalan dengan sikap laku layaknya filsuf Siddhartha Muda yang terbuka, kritis, radikal humanis ketika mencari kebenaran yang sesungguhnya dan seutuhnya. Siddhartha Muda sebagai filsuf sejati yang revolusioner, sang pencari kebenaran sejati, pencinta kebijaksanaan, menghalau kegelapan ketidaktahuan, menjalani proses kebuddhaan dalam asketisme spiritual dan intelektual dan penemuan pencerahan! (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?