Menjawab Visi Pendidikan 2050 UNESCO

Home » Artikel » Menjawab Visi Pendidikan 2050 UNESCO

Dilihat

Dilihat : 16 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 3
  • 29
  • 31,189
34 pic Menjawab Visi Pendidikan

Oleh: Jo Priastana

 

“Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang

dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia”

(Nelson Mandela)

 

Sejak dahulu kala, Yunani telah mengenal konsep pendidikan. Orang Yunani menganggap pendidikan merupakan paideia atau pembentukan diri seorang manusia. Pendidikan sebagai pelatihan anak agar menjadi orang yang benar-benar berbudaya dan mampu mengambil bagian dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam arti itu pula, pendidikan adalah mengembangkan kodrat dan kemampuan manusia.

Filsuf Yunani, filsuf Plato (42-347), memandang peran pendidikan sangat penting untuk membentuk manusia utuh. Manusia utuh adalah manusia yang berani menggapai segala keutamaan (virtue) dan moralitas jiwa yang akan mengantarnya kepada ide yang tinggi, yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan. Sementara Aristoteles (384-322 SM) juga menasihatkan agar setiap orang jadi manusia berkeutamaan termasuk di lapangan sosial- politik menjawab tantangan kehidupan sebagai makhluk berpolitik zoon-politicon.

Pendidikan sebagai proses pengembangan kodrat pribadi manusia menumbuhkan keutamaan (virtue) dimana praksis kegiatan pendidikan berada dalam konteks, yaitu bahwa praktik pendidikan adalah menjawab tantangan masa depan. Pendidikan sebagai kata kerja (pembudayaan) mengandaikan pemahaman yang benar tentang psikologi perkembangan, kehidupan sosial dan masa depan. Hal ini sejalan dengan filosofi pendidik mengembangkan peserta didik untuk tumbuh menjawab tantangan masa depan kehidupannya yang selalu berubah.

 

Visi Pendidikan 2050 UNESCO

Kehidupan selalu berubah dan pendidikan mengemban tugas perubahan, yakni transformasi anak didik yang sangat diperlukan dalam menjawab perubahan kehidupan dan tantangan zaman. Dengan modernisasi yang menyertai kemajuan dunia kehidupan sebagai ciri utama zaman ini, maka pendidikan pantas ditujukan untuk mencari kebenaran yang lebih utuh dan ditegakkannya nilai-nilai keutamaan manusia, seperti: kejujuran, bersaing sehat, disiplin dan menumbuhkan modal sosial guna dapat menjawab tantangan global, masa depan yang dihadapi anak didik.

Tujuan pendidikan berhubungan dengan masa depan. UNESCO pernah merumuskan mengenai tujuan umum pendidikan tinggi yang berkenan dengan pengembangan diri manusia secara utuh. Menurut The International Bureau of Education (IBE), UNESCO, pendidikan adalah” the holistic development of the individual through attention to mental, spiritual, ethical, aesthethic, emotional, physical and social growth of the pupil.” Sedangkan tujuan utamanya adalah “preparing students for future employment and to play active roles in their country’s economic and social development, and to prepare students to cope with challenges and rapidly changing, technologically advanced, culturally diverse society.”

Dari tujuan utama itu kemudian dirumuskan tujuan khusus yang khas sesuai dengan kepentingan masing-masing negara. Oleh karena itu kurikulum pendidikan tinggi yang diusulkan oleh “the international commission on education for the 21st” itu terdiri atas 4 kelompok unsur kegiatan yakni: 1. Learning to know, 2. Learning to do, 3. Learning to behave, 4. Learning to live together.  (Sutardjo, 1999:3, “Dasar Esensial Calon Sarjana Pancasila”).

Selain itu, belum lama ini, UNESCO juga mengemukakan tentang Visi Pendidikan 2050. Melalui resolusi 73/25 tahun 2018, dan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Internasional, 24 Januari, tahun ini UNESCO, sebagai badan PBB yang diamanahi pendidikan, menegaskan pentingnya memikirkan kembali pendidikan, menguatkan tekad untuk secara aktif mengukir masa depan, mendiskusikan dan merealisasikan Visi Pendidikan 2050 yang termuat dalam dokumen Futures of Education.

Dokumen yang diluncurkan pada 10 November 2021 itu merupakan dokumen visi pendidikan ketiga yang diterbitkan UNESCO dalam usianya yang ke-75, setelah dokumen Learning to be: The World of Education Today and Tomorrow (1972) dan Learning: The Treasure Within (1996). Dokumen Visi Pendidikan UNESCO 2050 ini mengajak kita semua untuk memikirkan dan secara aktif menciptakan, dalam kapasitas kita masing-masing berbagai bentuk masyarakat yang kita inginkan, dalam menjawab tiga tantangan global pendidikan yaitu: Damai, Adil, dan Berkelanjutan.

 Pendidikan menjawab tiga tantangan global masa depan kehidupan manusia di bumi ini. Damai, walaupun perang besar setelah PD II dapat dihindari, tantangan dunia damai masih sangat besar. Adil, di banyak negara, lebih dari separuh kekayaan dimiliki hanya oleh kurang dari 10 persen penduduknya. Berkelanjutan, akankah pemanasan global akibat eksploitasi Bumi selama ini dapat dikendalikan sehingga ketika penduduk Bumi mencapai 8,7 miliar orang pada tahun 2050, mereka hidup dengan kualitas yang baik atau lebih baik dari kita. (Ismunandar, Kompas 29/1/2022. “Visi Pendidikan 2050 Unesco).

 Sama seperti udara dan air, pendidikan adalah barang umum yang kita miliki bersama dan harus kita wariskan, kembangkan, dan selalu kita revisi sepanjang masa. Dalam melengkapi Visi Pendidikan Unesco 2050 itu, kemudian dihasilkan buku dengan subjudul “Kontrak Sosial Baru untuk Pendidikan”, dan menyarankan lima hal untuk memperbarui pendidikan, yaitu: Pedagogi, Kurikulum, Guru, Sekolah dan Kesempatan.

Pedagogi yang didasarkan pada prinsip-prinsip kerja sama, kolaborasi, dan solidaritas. Kurikulum yang menekankan pada pembelajaran ekologis, antarbudaya, dan interdisipliner. Kurikulum ini mendukung siswa untuk mengakses dan menghasilkan pengetahuan sambil juga mengembangkan kapasitas mereka untuk mengkritik dan menerapkannya. Guru yang lebih profesional, dimana guru diakui sebagai produsen pengetahuan tentang pembelajaran dan tokoh kunci dalam transformasi pendidikan dan sosial. Sekolah yang dikembangkan sebagai wahana pendidikan yang mendukung inklusi, kesetaraan, dan kesejahteraan individu dan masyarakat. Sekolah juga ditata ulang untuk lebih mempromosikan transformasi dunia menuju masa depan yang lebih adil, setara, dan berkelanjutan. Kesempatan pendidikan yang berlangsung sepanjang hidup, seluas dan sedalam ruang budaya dan sosial yang berbeda, termasuk hak akses pada sains, budaya, informasi dan konektivitas. (Ismunandar, Kompas 29/1/2022. “Visi Pendidikan 2050 Unesco).

 

Buddhadharma Sebagai Pendidikan

Bagaimana Buddhadharma menjawab visi pendidikan 2050 Unesco tersebut? Bagaimana sikap masyarakat terpelajar dan cendekia Buddhis di Indonesia untuk turut berpartisipasi mewujudkan berbagai aspek visi, tantangan pendidikan masa depan itu? Bagaimana memaknai Buddhadharma sebagai pendidikan? Bagaimanakah paradigma Buddhadharma yang patut dikembangkan untuk menjangkau masa depan kehidupan dan tantangan globalisasi yang dihadapi anak-anak didik?

Sejumlah pertanyaan yang pantas dijawab oleh komunitas pendidikan Buddhis. Buddhadharma dikenal juga sebagai pendidikan, karena tanpa Sang Buddha mengajar, tiada dharma tersebar hingga saat ini. Ketika Sang Buddha mengajar adalah suatu proses pendidikan. Sang Buddha membangkitkan benih-benih kebuddhaan, kodrat terdalam diri manusia yang memungkinkan para siswa mengalami transformasi atau perubahan, tercerahkan dan mampu menghadapi tantangan kehidupannya dengan baik.

Buddhadharma sebagai pendidikan ini berawal ketika Brahma Sahampati memohon agar Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna untuk mengajarkan Dharma dan bertindak sebagai guru (Vin. I, 4-7). Lalu, Buddha pun mengajar dharma yang ditujukan tidak hanya kepada manusia namun juga didengarkan oleh para dewa.  Buddha pun memperoleh julukan “Satta Deva Manussanam atau Guru para dewa dan manusia.”

Pergerakan Buddha sebagai guru menjadi cermin bahwa Buddhadharma itu mengandung misi pendidikan pembebasan dari penderitaan, membawa manusia tercerahkan, habis gelap terbitlah terang. Dengan begitu, kita pun optimis bahwasanya Buddhadharma dapat berperan menyantuni zaman dan mampu menanggapi berbagai fenomena dan masalah-masalah yang dihadapi manusia, termasuk masalah kontemporer yang berkembang dewasa ini atau sebagaimana yang diformulasi dalam visi pendidikan 2050 Unesco.

Kandungan visi pendidikan 2050 Unesco itu sejalan dengan misi Buddhadharma dalam Dharmacakra atau pemutaran roda dharma dan tercermin dalam aktivitas pendidikan. Dhamma adalah pendidikan dan Pendidikan dalam agama Buddha adalah Dhamma. Dhamma mengandung pendidikan yang mengandung misi mulia untuk pencerahan dan pembebasan, menumbuhkan kodrat terdalam diri manusia, benih-benih kebuddhaan dalam praksis moralitas (sila), samadhi dan tumbuhnya prajna (pandangan terang). Sila, samadhi, dan panna yang dapat menjadi sumber bagi tumbuhnya nilai-nilai keutamaan manusia, seperti: kejujuran, bersaing sehat, disiplin yang diperlukan anak didik dalam menjawab tantangan global, masa depannya..

Sila (moralitas) menjadi standar kehidupan umat Buddha dan pejalan kesucian Bhikkhu, serta menjadi dasar pendidikan dan pelatihan agama Buddha yang bertujuan mencapai pencerahan, pandangan terang, kebijaksanaan (wisdom, prajna). Prajna merupakan hakikat terdalam diri manusia, yang perlu ditumbuhkan dan menjadi tujuan utama pendidikan dalam agama Buddha, modal kecerdasan kebijaksanaan yang sangat penting untuk dapat menyikapi perubahan.

The goal of Buddha’s teaching-the goal of Buddhist education is to attain wisdom. In Sanskrit, the language of ancient India, the Buddhist wisdom was called ―Anuttara-Samyak-Sambhodi, meaning the perfect ultimate wisdom. The Buddha taught us that the main objective of our practice or cultivation was to achieve this ultimate wisdom. The Buddha further taught us that everyone has the potential to realize this state of ultimate wisdom, as it is an intrinsic part of our nature, not something one obtains externally.” (V.K. Maheshwari, Former Principal K.L.D.A.V(P.G) College, Roorkee, India, 2012)

 

 Paradigma Kontekstual

Misi Buddhadharma dalam pendidikan bergerak dalam rodadharma yang berputar (dharmacakra) untuk pembebasan penderitaan. Misi yang telah diletakkan Sang Buddha 2500 tahun lalu, yang terus menyebar kemana saja di permukaan bumi ini karena  mampu merespons perubahan perkembangan dunia dengan melakukan adaptasi. Buddha mengawali misinya itu dengan mengibaratkan roda (cakra, asal kata cakkhu, mata atau vision), pemutaran roda dharma. (Priastana, Jo. 2005. Komunikasi dan Dharmaduta. Jakarta: Yasodhara Puteri). 

Dengan mengibaratkan sebagai roda, maka wujud misi Buddhadharma yang mengarungi dunia dan zaman ini akan mampu merespons permasalahan tantangan zaman. Roda berputar di atas tanah dan menyebar kesegala permukaan bumi, mampu beradaptasi dan merespons segala permasalahan konteksual dan aktual. Untuk itu, diperlukan pemahaman Buddhadharma yang semata tidak bersifat individual-asketis, melainkan yang bersifat liberal-progresif, yaitu suatu pemahaman Buddhadharma kontekstual yang mampu menghadapi tantangan zaman karena mengandung misi dan visi sosial yang kuat. (Priastana, Jo 2000. Buddhadharma Kontekstual. Jakarta: Yasodhara Puteri).

 Roda menyimbolkan kemajuan mencerminkan Buddhadharma yang memiliki visi jauh kedepan sejalan dengan paradigma kontekstual yang cocok untuk merespons tantangan zaman. Buddha telah memprediksi bahwa ajarannya akan sampai di zaman modern global ini dan mampu merespons segala permasalahan sosial kontemporer maupun menjawab tantangan visi pendidikan Unesco 2050.

Paradigma kontekstual yang menyertai pemuataran roda-dharma inilah yang perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan Buddhis guna dapat menjawab tantangan global dan visi pendidikan 2050 Unesco. Ada tiga tantangan global: Damai, Adil, Berkelanjutan dengan lima implementasinya: pedagogi, kurikulum, guru, sekolah dan kesempatan.

Untuk itu, ajakan untuk berpikir dan bertindak bersama dalam membangun masa depan pendidikan sebagaimana yang disuarakan oleh UNESCO sebagai badan kelengkapan PBB di bidang pendidikan ini patut mendapat respons, sambutan dan menjadi perhatian dunia Pendidikan Buddhis. Kerja mengembangkan paradigma Buddhadharma kontekstual dalam pendidikan Buddhadharma kiranya pantas dilakukan agar pengajaran Buddhadharma tidak semata bersifat doktrin dan tekstual, sehingga mampu menjawab tantangan zaman sejalan dengan roda yang berputar.

Dengan begitu pendidikan Buddhis yang kontekstual yang mandiri, progresif dan engaged akan selalu mampu menjawab problematika perkembangan zaman. Pentingnya pemikiran, peran dan partisipasi dari komunitas pendidikan Buddhis sebagai pengemban misi Budhadharma yang pada esensinya bersifat pendidikan. Pendidikan Buddhis untuk transformasi manusia di dalam menjawab tantangan kehidupan zamannya, permasalahan global yang aktual dan kontekstual.

Bahwa perdamaian juga menjadi misi Buddhadharma dan karenanya pantas diwujudkan, diimplementasikan dalam kurikulum. Begitu pula dengan masalah keadilan, dan berkelanjutan bumi yang berkenaan dengan masalah-masalah ekologis dan kelestaraian alam. Disinilah urgensinya perlunya ditumbuhkan paradigma kontekstual dalam dunia pendidikan Buddhis yang terejawantahkan dalam: pedagogi, kurikulum, guru, sekolah, dan kesempatan atau akses dalam berkebudayaan, karena pendidikan tidak lain adalah bagian dari kebudayaan dan proses kebuddhaan itu sendiri. (JP).

***

 

Referensi:

Ismunandar, Kompas 29/1/2022. “Visi Pendidikan 2050 Unesco.”

C.B. Mulyatno. 2012. “Filsafat Perdamaian Menjadi Bijak Bersama Eric Weil.” Yogyakarta: Kanisius.

Harun Hadiwijono. 1985. “Sari Sejarah Filsafat Barat 1”. Yogyakarta: Kanisius.

Jo Priastana. 2018. “Etka: Moralitas Mandiri dan Keterlibatan Sosial.” Jakarta: Yasodhara Puteri.

Jo Priastana. 2000. “Buddhadharma Kontesktual”. Jakarta: Yasodhara Puteri.

Jo Priastana. 2017. “Cakra Peradaban: Buddhadhrma dan IPTEK”. Jakarta: Yasodhara Puteri.

Butt-Indr, Siddhi. 1995. “The Social Philosophy of Buddhism.” Bangkok-Thailand: Mahamakut Buddhist University.

Khrisnanda Wijaya Mukti. 2020. “Wacana Buddha-Dharma”. Jakarta: Karaniya.

***

Butuh bantuan?