Metaverse Salinan Konstruksi Kesadaran

Home » Artikel » Metaverse Salinan Konstruksi Kesadaran

Dilihat

Dilihat : 47 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 39
  • 85
  • 58,003
33 pic metaverse salinan

Oleh: Jo Priastana

 

Just as the whole world, with its mountains, continents, and everything else, exists within infinite space, so too do all phenomena appear within the Buddha-nature.”

 (Dilgo Khyentse Rinpoche).

Metaverse merupakan dunia lain berbasis teknologi visual yang dianggap sebagai masa depan dunia, lahir dari evolusi internet dan menimbulkan pertanyaan mengenai eksistensi manusia. Metaverse adalah semesta virtual, dunia maya yang diciptakan dengan menghadirkan pula secara nyata kehidupan ini, mulai dari belanja, bermain, bersosialisasi, dan bekerja. Meta melampaui, verse semesta. Metaverse diartikan juga sebagai hiperrealitas dan diyakini akan banyak mengubah hidup manusia.

Adakah kehadiran metaverse yang merupakan realitas ciptaan iptek, hasil pikiran manusia ini membawa dampak positif bagi dunia kehidupan? Bagaimanakah pandangan Buddhadharma terhadap dunia metaverse? Bukankah dunia ini saja, realitas kehidupan ini saja kerap dipandang sebagai dunia maya-ilusi, dan tidakkah metaverse sebagai virtual semesta itu merupakan dunia maya-ilusif diatas dunia maya–ilusi ini atau dunia simulakra hiperrealitas.

 Bagaimana menyikapi metaverse, dunia semesta virtual, dunia maya-ilusi yang keberadaannya diatas dunia ini, dunia yang disebut juga dunia maya-ilusi. Metaverse merupakan dunia semesta virtual dunia maya-ilusi yang keberadaannya diatas dunia maya-ilusif. Dunia semesta virtual-ilusif metaverse adalah konstruksi pikiran, produk iptek revolusi digital, hasil dari evolusi internet dimana realitas keberadaannya juga bersandar pada konstruksi kesadaran atau pikiran manusia.

 

Realitas dan Kesadaran

 Filsafat Buddha Yogacara yang bersifat idealistik dan yang memusatkan ajarannya kepada kesadaran. Idealisme menyatakan bahwa tiada obyek-obyek di luar dari pengalaman subyek. Dengan kata lain, segala sesuatu merupakan konstruksi kesadaran, segalanya adalah kesadaran, tak ada sesuatu tanpa kesadaran. Segalanya Adalah Kesadaran atau bentukan pikiran.

 “Just as the whole world, with its mountains, continents, and everything else, exists within infinite space, so too do all phenomena appear within the Buddha-nature.” (Dilgo Khyentse Rinpoche).

Filsuf Nagarjuna mengungkapkan bahwa keinginan untuk memahami realitas adalah cerminan dari naluri manusia dengan kesadarannya. “manusia mengapresiasi berbagai jenis pengalaman ke dalam dirinya, dan menjadikannya bermakna. Hal ini dimungkinkan berkat bekerjanya kesadaran diri manusia yang berada dalam kawasan kognitif dan bersumber pada kecenderungannya yang terdalam yakni kedambaan kepada yang tak terbatas atau realitas yang sesungguhnya.” (K. Venkata Ramanan 1971: 70).

Filsuf Buddhis Nagarjuna juga mengingatkan, seringkali konstruksi pikiran manusia yang ilusif itu dipandang sebagai dunia yang sesungguhnya, dan karenanya manusia jatuh dalam pandangan yang salah (error epistemologi). Manusia jatuh dalam penderitaan tak putusnya, karena realitas atau aku semu yang semula dipandang hanya bersifat fungsional dianggap sebagai realitas atau aku yang sejati-substansial, dimana ciptaan yang semu sementara dan pinjaman itu diakui sebagai substansi, miliknya sendiri. (Jo Priastana, 2005. “ Ada Apa dengan Aku”).

Dunia atau realitas sebagai cermin kesadaran ini juga dibabarkan oleh Shohaku Okumura, dalam kanal youtube yang bertajuk Sono-Mama dalam YOUTUBE Interior Mythos Journey, (18012022). Disitu pandita Zen ini menjelaskan mengenai dua dunia realitas. Ada “The World Like Before Human Beings”, sebagai realitas primordial, serta realitas dunia ini sebagai dunia yang bersifat ilusif, salinan dari dunia primordial atau sejati.

 Bagaimana memahami dan menyikapi dua dunia itu? “Before human being observed reality, and created a copy of reality? And how do we begin to integrate reality as-it-is, with the story we create, while knowing that our story is fiction. Reality Before Humans. Sono-Mama. Reality before Humans. As-it-is. Before human being. Appeared in this world. Human beings appears. Became observers of this happening created some thinking that is a copy of sono-mama, copy of reality.”

Hubungan kedua realitas itu begitu kompleks, sulit, saling terjalin, berkelindan karena sesungguhnya realitas itu satu adanya. Manusia hidup di dalam dunia salinan realitas sejati namun juga rindu akan dunia sejati itu (before humans). Kini di tengah dunia salinan dari dunia sejati timbul metaverse. Dunia salinan diatas salinan, dunia maya diatas dunia maya, dunia virtual-ilusi diatas dunia maya-ilusi, dunia simulakra diatas dunia maya, hiperrealitas.

Dalam pandangan Shohaku Okumura, praktek Zen sebagai meditasi sangat penting untuk bisa  menumbuhkan kesadaran melihat realitas apa adanya, reality before human, as it-is. Praktek meditasi sangat membantu untuk menemukan realitas sejati dan tidak tertipu dalam dunia ilusi, dunia maya ini yang kita anggap real dan tempati ini. Pandangan ini patut diperhatikan apalagi diatas dunia maya-ilusi yang kita anggap real ini akan hadir dunia virtual semesta. Metaverse yang merupakan dunia maya diatas dunia maya-ilusi, dunia simulakra hiperrealitas.

 

Kesadaran Kritis dan Holistis

Ajakan pandita Zen dari Shohaku Okumura ini sangat penting guna menumbuhkan kesadaran kritis, terlebih lagi di tengah akan hadirnya dunia ilusi diatas dunia ilusi-artifisial semesta virtual  metaverse. Fenomena metaverse menunjukkan betapa dunia tak akan begitu saja kembali pada situasi sebelumnya. Bisa jadi kelak akan hadir masyarakat baru, masyarakat metaverse.

Dunia memang selalu berubah, kesadaran masyarakatnya mengalami perubahan juga. Sejarah dunia menunjukkan perubahan berbagai kehidupan masyarakat, dari masyarakat nomaden, berburu, menetap bercocok tanam, masyarakat smart berilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat industri, masyarakat digital dan mungkin sebentar lagi hadir masyakarat avatar metaverse.

 Dunia selalu mengalami perubahan. Ada revolusi pertanian yang menciptakan masyarakat agraris, berkembangnya iptek yang melahirkan masyarakat akademis-teknologis, dan hadirnya revolusi industri yang menciptakan masyarakat industri. Dunia digital-internet dengan masyarakat digitalnya, dan revolusi teknologi dari evolusi internet yang menghadirkan dunia baru metaverse yang mungkin juga menumbuhkan masyarakat metaverse yang dihuni para avatar.

Tampaknya, dunia pasca pandemi Covid-19 dan dengan kehadiran metaverse akan bergerak ke arah yang lain. Kemajuan teknologi tidak bisa ditolak atau tidak perlu ditolak. Yang perlu dilakukan adalah bersikap kritis dan mampu beradaptasi secara bijak. Kita harus mampu membedakan mana yang nyata, mana yang virtual, mana dunia maya, mana dunia ilusi diatas dunia maya. Ternyata dunia maya-ilusi itu berlapis-lapis, kita perlu menyadari berada di lapisan keberapa.

Kejernihan didalam memandang realitas kesadaran yang berlapis inilah yang sangat diperlukan, dan disinilah pentingnya hidup meditatif sebagai bentuk pelatihan kesadaran yang mendalam utuh-holistis. Kita perlu sadar dan berpikir kritis serta bertanya, apakah kita betul-betul perlu dunia metaverse? Mungkin metaverse tidak harus ditolak dan bahkan bisa saja kehadiran  metaverse  menjadi momentum untuk lebih memampukan kita melihat dunia kesadaran dan realitas yang sejati, sehingga tidak sering tertipu atas dunia yang berlapis itu.

Tertipu hanya karena ilusi dari dunia yang berlapis yang kerap dianggap sebagai realitas sesungguhnya. Dunia berlapis seperti yang terjadi di dunia kita yang maya-ilusi ini, dan apalagi kelak di dunia semesta virtual metaverse yang semakin lebih ilusif-artifisial. Meditatif mengajak kita untuk menumbuhkan kesadaran sepenuhnya.

Untuk itu, jangan lepas dan perlu selalu merefleksikan diri dalam sikap meditatif, atau sikap berkesadaran dalam memahami realitas sejati, realitas menyeluruh-holistis yang sesungguhnya. Jangan tinggalkan untuk menyadari dan mengapresiasi kehidupan nyata kita yang sebenarnya, kehidupan yang sungguh alami, otentik tercerap secara inderawi dalam kesadaran tubuh dan bukan dunia semu artifisial.

Kehidupan nyata bersama dengan orang-orang yang nyata, yang dekat di sekitar kita. Dunia yang sungguh hidup alami, air gemericik di sungai, hujan gerimis yang meneduhkan hati, wangi dedaunan pepohonan dan embun sejuk di pagi hari, wangi duren yang terasa di ujung lidah, angin di udara terbuka berhembus mengibarkan rambut sang gadis yang melaju di jalan berdebu dengan motornya, maupun bercinta secara riil dengan subyek yang sungguh hidup, menjerit kala dicubit. Semua pengalaman yang sungguh terjadi alami.

 Buddhadharma mengandung hukum kesunyataan yang mengajak untuk memahami kenyataan yang sesungguhnya itu. Sunyata, kenyataan yang baik yang sesungguhnya agar kita tidak  terjerumus dalam dunia realitas semu yang berlapis-lapis itu. Kesadaran sepenuhnya melihat realitas sebagaimana adanya sehingga terhindar dari kecanduan dari silaunya dunia maya-ilusif seperti jatuh ke dalam semesta virtual metaverse, dunia yang semakin artifisial-ilusif. 

Disinilah pentingnya kesadaran kritis terus ditumbuhkan agar selalu berada dalam realitas yang menyeluruh-holistis dan pengalaman real keseharian. Hanya mereka yang sadarlah yang hidup dan dekat pada kenyataan sesungguhnya atau realitas sejati alami. Mereka yang tidak sadar, konon katanya sudah mati. Akankah kesadaran dan kehidupan kita ini lantas dimatikan oleh kemajuan internet atas kehadiran metaverse, semesta virtual dimana kita hidup semakin artifisial-ilusif? Akankah truck kemajuan teknologi yang berlari kencang itu membawa kita masuk ke jurang kematian kesadaran? (JP).

 

Bacaan:

Andreas Maryoto, “ Saatnya Memasuki Jagat “Metaverse”, Kompas, 7 Januari 2022

Tajuk Rencana, Kompas 17/1/22

Detik News, 21 Jan 2022 10.18 WIB, Danu Damarjati. 

Rangga Almahendera, Yutube Bagi Ilmu, 10/1/22. 

Patricia Donegan. 2010. “Haiku Mind”.  Boston, London: Shambhala.

Wong Kiew Kit, 2004. “The Complete Book of Zen,” Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

 Michael Talbod. 1986, “Beyond the Quantum,” New York; Macmillian.

Alastair Rae. 1986. “Quantum Physics: Illusion of Reality?”. Cambridge University Press.

Jo Priastana 2017. “Filsafat Mahayana.” Jakarta: Yasodhara Puteri.

Jo Priastana 2005. “Ada Apa dengan AKU: Epistemologi Filsafat Nagarjuna.” Jakarta: Yasodhara Puteri.

Jo Priastana 2017. “Cakra Peradaban: Buddhadharma dan IPTEK.” Jakarta: Yasodhara Puteri.

Ramanan. K. Venkata. 1971. “Nagarjuna’s Philosophy as Presented in The Maha-Prajnaparamita-Sastra.”  Delhi-India: Motilal Banarsidass.

Shohaku Okumura, “Sono-Mama,” YOUTUBE Interior Mythos Journey. 18012022.

***

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?