Monkey Mind dan Psikologi Samsara

Home » Artikel » Monkey Mind dan Psikologi Samsara

Dilihat

Dilihat : 135 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 71
  • 115
  • 62,200
pic Monkey mind

Oleh: Jo Priastana

 

 “If you know that everything comes from the mind,

don’t become attached, you’re unaware.”

(Bodhidharma, Pendiri Zen Buddhism, abad 5)

 

Dalam Dhammapada ayat 1 dan 2, dikatakan, “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berpikir, berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti kaki lembu yang menariknya, atau bagaikan bayang-bayang yang tidak meninggalkan bendanya.”

Begitu dahsyatnya pikiran. Pikiran membentuk kehidupan manusia, menentukan hingga membawa samsara manusia mengembara dalam alam-alam kehidupan. Pikiran manusia dianalogikan dengan monkey-mind, dan yang kerap diberlakukan secara keliru sebagai jalan dari keluar pembebasan. Ibarat kisah Sisyphus dalam mitologi Yunani yang dihukum membawa batu ke puncak gunung namun setiap kali sampai di puncaknya, menggelinding ke bawah turun kembali.

Demikian pula berlaku dengan pikiran seperti dalam metafora monkey-mind. Monyet pikiran   yang terjerat dalam rumah kosong dengan lima jendela yang mencoba keluar namun sia-sia. Pikiran dengan lima inderawi yang mencoba mencapai pembebasan namun sia-sia sekalipun sudah sampai di puncak pikiran meditatif, dan karenanya kembali jatuh ke dasar, dalam arus dukkha, siklus dan mengembara dalam alam samsara.

 

Samsara Monkey-Mind

Pikiran menentukan segala sesuatu. Segala sesuatu diciptakan oleh pikiran. Dan karena itulah, hidup manusia yang hanya didasarkan oleh pikiran akan menjadi sesuatu namun juga mendatangkan kesia-siaan, siklus sebab akibat yang terus berulang di alam samsara, menjadikan manusia selalu mengembara dalam samsara dalam kehidupannya di enam alam kehidupan.

Kisah monkey-mind yang menunjukkan kesia-siaan pikiran dalam mencari jalan keluar dari samsara kehidupan atau mencapai pembebasan dari dukkha terdapat dalam berbagai tulisan Master Chogyam Trungpa, diantaranya dalam buku “Cutting Through Spiritual Materialism,” Shambhala, Boston-London, 2002; 138-151 etc., maupun “The Teacup & the Skullcup: Chogyam Trungpa on Zen & Tantra,” pages 84-85.

Chogyam Trungpa dikenal sebagai crazy wisdom. Beliau menganalogikan pikiran dengan seekor monyet yang berupaya bisa keluar dari kamar kosong dengan lima jenderal inderanya. Pikiran yang terkurung dalam samsara kehidupan dalam alam-alam kehidupan yang terus berupaya bisa lolos, tak putus dalam berjuang namun tetap sia-sia, dan sepertinya pikiran itu memang neurotik pada dirinya sendiri.

Adalah sia-sia dengan pikiran yang sifatnya neurotik itu mencari jalan keluar dari samsara kehidupan, karena pikiran adalah samsara manusia itu sendiri. Metafora monkey-mind, pikiran ibarat monyet yang tiada pernah bisa diam, selalu lari kesana-kemari, loncat sana loncat sini. Pikiran yang seperti itu yang sesungguhnya adalah cermin dari hasrat terdalam manusia berupaya dalam menemukan jalan keluar untuk kebahagiaan, bebas dari penderitaan, meski sia-sia.

Pikiran yang cenderung neurosis adalah penderitaan. Pikiran adalah dukkha dan selalu tidak memuaskan. Terjerat dalam pikiran yang selalu bergerak terus tidak mengenal awal dan akhir. Proses pikiran berlangsung terus. Pikiran masa lalu, pikiran masa depan, dan pikiran masa sekarang. Hal ini menciptakan iritasi atau gangguan. Pikiran bergerak begitu cepat dan identik dengan ketidakpuasan, dukkha, derita. Pikiran yang ditarik kesana kesini dengan menyita banyak energi manusia.

 

Psikologi Alam Kehidupan

Monkey-mind adalah psikologi pikiran yang selalu mengembara dalam enam alam kehidupan samsara. Alam pikiran neraka, alam pikiran setan kelaparan, alam pikiran binatang, alam pikiran manusia, alam pikiran asura, dan alam pikiran dewa. Begitu pula puncak alam pikiran dalam meditasi, alam brahma berbentuk maupun alam brahma tanpa bentuk.

Alam neraka, adalah Monkey mind, pikiran yang bersifat agresi, sangat menyakitkan, pedih dan sibuk untuk dapat keluar dari penjara kehidupan, rumah kosong dengan lima pintu indranya loncat ke sana ke mari, namun tak berhasil, sehingga menjadi frustrasi dan merasa lapar.

Pikiran pun memasuki pikiran kelaparan. Dalam alam Hungry Ghost, adalah psikologi pikiran alam peta kelaparan, alam kehausan yang tak kunjung henti, dan juga merasa sia-sia sehingga akhinya mendatangkan sikap masa bodoh dalam alam binatang.

Alam Binatang atau Animal Realm, dimana pikiran bersifat masa bodoh, benar-benar bodoh bagai binatang. Lihatlah binatang babi yang menyantap apa saja yang ada di hadapan. Kesia-siaan ini membuat langkah memasuki alam pikiran yang mampu membeda-bedakan, melakukan diskriminasi seperti dalam alam manusia yang bersifat intelektual.   

Pada akhirnya kelebihan dan kekuatan pikiran dalam alam manusia, mendatangkan alam pikiran perbandingan atau alam Asura. Pikiran yang melihat yang lainnya dengan kaca mata perbandingan, dan menimbulkan rasa iri hati. Terjadilah sikap hidup berkompetisi, membandingkan seperti dalam dunia kehidupan. Pacu prestasi dalam kompetisi, kekuasaan, keterkenalan, harta dan jabatan.

Namun, semua kerja pikiran manusia yang dualistik ini tetap saja tidak pernah puas dan yang pada akhirnya merindukan kepuasan, kesenangan yang tercermin dalam pikiran alam dewa. Dalam psikologi pikiran alam dewa dimana segala apa saja bisa didapatkan. Indra telinga mendengar bebunyian merdu, mata melihat pemandangan indah, lidah mendapatkan selera makan minum. Hidung mencium keharuman dan kulit menyentuh tekstur yang mengenakkan.

Segenap kepuasan itu berusaha selalu dipertahankan, namun apa sih yang bisa bertahan? Segalanya tetap tidak ada jaminan kelestariannya. Sia-sia kembara pikiran monkey-mind dalam samsara di alam-alam kehidupan. Begitulah kondisi pikiran yang layaknya monyet, selalu dalam kembara, selalu mengakibtkan terlahir di alam samsara.

 

Trapping Monkey Mind

Sia-sia berkelana di enam alam kehidupan yang merupakan kondisi pikiran manusia, namun manusia tak henti berupaya. Oh. Siapakah pembuat rumah pengembaraan di tri buana ini? Lalu bagaimana menjebak pikiran-monyet yang terus berkelana itu? Mengingat hasrat terdalam untuk terbebas dari dukkha tetap menyala tak putus dan sepertinya kebahagiaan, pembebasan dari derita, melalui pikiran itu sudah ada dalam diri manusia itu sendiri.

Sia-sia pikiran kembara. Pada akhirnya dalam upayanya itu, manusia mengenal meditasi, berlabuh dalam alam pikiran meditasi. Melabuhkan pikirannya dan memasiki alam Brahma. Meditasi yang dipandang dapat menjebak pikiran-monyet, memenjarakannya dalam ketenangan, kedamaian.

Namun sekali lagi karena ini yang melatarbelakanginya adalah upaya, hasrat, maka pada ujungnya tetap saja sia-sia. Alam meditasi sebagai alam yang dianggap sebagai jalan keluar mendatangkan kepuasan, kedalamaian.

Alam meditatif yang mampu mengeluarkan monyet-pikiran dari penjara samsara, kehidupan. Mulailah bermeditasi. Di alam meditasi dengan segenap upayanya memperhatikan dan mengendalikan pikiran, mengutamakan ketenangan dan kedamaian setelah mengenali indra-indra dan tingkat-tingkat pencapaiannya.

Tetapi dalam upaya menjebak monkey-mind dalam meditasi ini kerapkali dan nyatanya tetap saja hanya mendatangkan sia-sia. Kerap yang terjadi adalah justru upaya itu tidak lain sebagai bentuk aktivitas perluasan ego. Sekalipun itu dalam alam pikiran di dalam puncak meditasi, seperti pencapaian pikiran meditasi yang tanpa batas, ruang tanpa batas atau kesadaran tanpa batas, kekosongan tanpa batas, serta tidak persepsi dan bukan tidak persepsi.

Pencapaian yang terasa berada di puncak meditasi ini tetap saja insecurity, tetap saja bukan keberhasilan yang sesungguhnya, tetap saja jatuh dalam perluasan ego, dan tetap tidak kenal puas. Sudah di puncak tetap sibuk dan akhirnya kembali jatuh ke dasar kembali, ke alam neraka dan seterusnya. Manusia terperangkap dalam samsara karena monkey mind.

Begitu seterusnya proses samsara monkey mind dan yang juga terjadi di puncak alam meditasi, Layaknya Sisifus yang sudah mampu membawa batu ke puncak namun menggelinding kembali ke dasar. Kembali ke alam neraka, berjuang dalam penjara lima indra, dan seterusnya, seterusnya. Mengembara kembali di dalam samsara, mencari dan berupaya menemukan bentuk-bentuk cara-cara untuk menjerat monkey mind.

 

Ironi dan Absurditas

Tetap terjerat dalam pikiran yang selalu berupaya dan masih berakar dalam dualistis, fiksasi dari pikiran itu sendiri serta halusinasi keakuan. Tetapi alam manusia memiliki kekhususan dan memang hanya di alam manusia yang mampu melihat panorama kesadaran, dan secara psikologi of mind mampu mencerminkan alam-alam kehidupan tersebut. Pembebasan tetap dimungkinkan di dalam manusia, ada cahaya di balik awan kegelapan.

Meski psikologi pikiran manusia bersifat neurotik dan kerap berada dalam fiksasi, serta dualistik, egoistik, namun secara kualitatif dengan begitu pula pikiran manusia juga mampu melihat ironi kehidupan dan absurditas, kemustahilan perjuangan, dan mengenali kesia-siaannya. Sepertinya tetap terada atau bersemayam adanya insight, karunia yang tersimpan dalam diri manusia, buddha-nature manusia.

Menyadari kesia-siaan dan absurditas perjuangan pada akhirnya memunculkan rasa humor karena melihat ironi kehidupan yang dijalaninya. Kelucuan perjuangan yang terus diulang yang hanya mendatangkan kesia-siaan. Muncullah benih kebuddhaan itu dalam tawa, buddha tertawa, the laughing Buddha.  

Seperti menyaksikan kisah Sisifus yang kembali harus mengangkat batu ke puncak dan jatuh kembali ke bawah. Kisah Sisifus yang mencerminkan filsafat absurditas. Begitulah kehidupan dan perjuangan manusia dengan pikirannya, baik di dalam lapangan duniawi juga dalam spiritualitas. Banyak contoh nyata dalam dunia kehidupan yang mencerminkan kesia-siaan kehidupan sekeras apapun perjuangannya.

Sesukses apapun capaiannya tetap harus menjadi suksesi, pergantian turun kembali ke bawah. Menyadari dan menatap kehidupan yang ironi tersebut, yang terasa sebagai tragedi sekalipun komedi akhirnya hanya menghadirkan kelucuan, ironisme dan membangkitkan rasa humor, membuat kita tertawa, mentertawakan diri sendiri, dan tersenyum.

Orang berupaya namun jatuh dalam upayanya itu sendiri. Berupaya maju secara spiritual namun kerap jatuh justru dalam upayanya itu sendiri yang kerap jatuh ke dalam spiritual materialisme. Banyak orang menyikapi spiritual dan berpikir seperti itu, dimana sesungguhnya ego, aku yang licin, pikiran yang halus dan licik itu berada dibalik upaya luhur itu. Itulah sumber dan akar dari penderitaan.

 

Langit Jernih Di balik Awan Berarak

Terjerat dalam pikiran yang beranggapan bahwa tujuan spiritual adalah upaya mengalahkan dan melenyapkan ego. Karenanya mereka berkeliling terus mencoba berbagai cara untuk memperbaiki diri sendiri melalui perjuangan. Hingga suatu saat menyadari bahwa ambisi untuk memperbaiki diri sendiri justru disitulah masalahnya. Pikiran monyet yang ingin dijebak dalam perangkap berbagai macam latihan tertinggi seperti dalam meditasi, justru nyatanya kerap hanya memberikan kamuflase, ilusi dan hipokrisi.

Namun meski sia-sia layaknya Sisifus, sepertinya kesia-sian itu juga menyimpan karunia, suatu cara kenyataan menampakkan diri. Tetap ada seberkas sinar menerobos dalam kegelapan. Pencerahan selalu menanti dan datang hanya ketika kita membiarkan diri kita lepas bebas dalam melihat hakikat pikiran sesungguhnya. Sisifus berhentilah berusaha, monkey-mind melepaskan diri dari pikiran, dalam no-mind, hening sunya dan mulai menyadari bahwa ada kualitas yang selalu waras, sadar dan terjaga dalam diri. Menemukan kebenaran mulia yang ketiga, jalan melenyapkan dukkha dalam kebenaran tujuan yang non-perjuangan.

Hanya dalam diam sepenuhnya, dan itulah jebakan total sempurna bagi monkey-mind. Kita hanya perlu tiada berupaya untuk mengamankan dan memantapkan diri kita sendiri atas kebangkitan yang selalu hadir, to-be-what it is. Dengan melepaskan segala upaya, membiarkan kita menjadi seperti itu, doing-nothing, wu-wei dan apa adanya, begitulah tatatha. (Red: Tathātā adalah istilah Buddhis yang diterjemahkan secara beragam sebagai “kedemikian” atau “kedemikian”, merujuk kepada hakikat realitas yang bebas dari elaborasi konseptual dan perbedaan subjek–objek.)

Tetap ada langit terbentang luas, horison tak bertepi yang senantiasa diam tenang sepenuhnya sejak dulu, saat ini dan nanti, memang begitu dibalik awan berarak. Ada kesadaran murni, sepenuhnya murni dibalik awan pikiran yang bergerak. Ketenangan dengan memahami hakikat pikiran dimana pikiran berhenti, berhenti berupaya, egoless, totalitas effortless, no-mind, berada dalam kesadaran murni sepenuhnya, Dharmakaya Amitabha! (JP).

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: https://www.nytimes.com/2012/09/09/books/review/monkey-mind-by-daniel-smith.html

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?