Oleh: Jo Priastana
“Anda tidak perlu angkat senjata ke medan perang seperti jaman dulu, Anda cukup jangan korupsi saja itu sudah cukup” (Basuki Tjahaja Purnama/Ahok)
Bila korupsi sudah terjadi begitu sistematis merajut ke segala kalangan bahkan di kalangan orang terpelajar dengan status akademik tertinggi. Bila pembunuhan sadis sudah dilakukan oleh orang berjabatan tinggi bersenjata dan bahkan mengawasi pemakaian orang-orang bersenjata, bila perkosaan juga sudah terjadi di kalangan orang terdidik bahkan dikalangan orang beragama, pertanda apakah ini?
Akan jadi apakah negara ini, bila kejahatan korupsi telah begitu akut, bahkan terjadi dikalangan orang terdidik, oleh mereka yang memiliki kehormatan dalam pencapaian akademis tertinggi. Diberitakan Rektor Universitas Lampung yang bergelar profesor dan doktor beserta koleganya, para orang terpelajar ditangkap komisi pemberantasan korupsi di Lembang, Jawa Barat, pada Sabtu 20/8/2022, berkenaan dengan penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di Unila. (Kompas 22/8/22).
Penangkapan itu berlanjut pada penggeledahan oleh penyidik KPK di Gedung Rektorat Universitas Lampung pada hari pertama kuliah di Universitas Lampung, Senin (22/8/22), dan pada saat yang sama, puluhan mahasiswa berunjuk rasa di depan gedung rektorat menyampaikan kekecewaan pada kasus yang menimpa pimpinan Unila. (Kompas, 24/8/22). Moralitas rasa malu melakukan kejahatan orang terdidik tampaknya telah dikalahkan oleh hasrat nafsu duniawi dimana hati nurani telah tertimbun debu keserakahan dan kebodohan.
Korupsi Sang Terpelajar
Tindakan korupsi sebagai pelanggaran moralitas tercermin dalam sila ke dua dari Pancasila Buddhis yaitu tentang pencurian (adinadana) yang berkenaan dengan perolehan barang atau uang dan benda-benda ekonomis lainnya yang tidak dibenarkan, seperti mengambil barang yang tidak diberikan, suatu pencurian, menerima barang atau uang yang tidak sah, maupun perolehan sesuatu yang tidak diperkenankan secara hukum karena jabatannya.
Kata korupsi yang berasal dari bahasa Latin Corruptio, corrumpere mengandung makna tentang nilai diri manusia yang rendah, yakni kebusukan, keburukan, kebejatan, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, dan lain-lain sifat yang bermakna negatif. Korupsi dimaknai juga sebagai perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang tertentu dengan penyalahgunaan wewenang.
Undang-Undang No.31/1999 dan yang kemudian diperbarui oleh Undang-Undang No. 20/2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengartikan korupsi sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian korupsi diperluas juga sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.
Menurut Undang-Undang tersebut, ada 30 jenis tindak pidana korupsi dikelompokkan dalam tujuh klasifikasi korupsi, yaitu kerugian uang negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, dan gratifikasi (hadiah). Pemberantasannya harus dilakukan secara menyeluruh, yaitu melibatkan mereka yang melakukan, mereka yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan, mereka yang memberikan bantuan pada waktu kejahatan korupsi dilakukan, dan mereka yang dengan sengaja memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Perilaku korupsi, sebagaimana dikatakan Mahatma Gandhi (1869-1948), adalah menyangkut masalah melemahnya kontrol dan lumpuhnya pengekangan diri atau masalah everyman’s greed. Dalam bahasa Buddhis, manusia yang berkarakter lobha atau serakah, rakus. Meluasnya praktik korupsi adalah identik dengan absennya moralitas rasa takut dan hilangnya rasa malu melakukan kejahatan. Disamping hukum harus sungguh-sungguh ditegakkan, penting pula untuk menumbuhkan etika dan moralitas seperti ditekankan oleh Konfusius.
Etika dan Moralitas Konfusius
Konfusius sangat menekankan pada pendidikan dan menghormati orang yang terpelajar. Bagi Guru etik, moralitas ini pendidikan dan orang terpelajar identik dengan etika, moralitas dan kehalusan budi pekerti. Bagi Konfusius, orang terdidik dan terpelajar yang sebelumnya menempuh pendidikannya dalam rangka menumbuhkan etika dan moralitas, sudah seharusnya ketika dalam menjalani kehidupan dan profesinya bersendikan pada etika dan moralitas.
Konfusianisme mengajarkan tentang etika yakni ajaran yang menyangkut budidaya kebajikan pribadi seperti kebajikan, kebenaran, kepatutan ritual, kebijaksanaan dan kepercayaan. Ajaran etika dan moralitasnya tampaknya dapat menjadi penangkal pengejaran keuntungan dan kekayaan tanpa henti, egoisme dan kerakusan (lobha).
Dalam tradisi ajaran konfusius ini, orang Tionghoa sering didesak untuk memiliki rasa kebajikan publik (gong de xin). Salah satu konteksnya adalah dalam administrasi publik, dimana pejabat diingatkan untuk melayani rakyat, bukan diri mereka sendiri, dimana para orang terdidik dan terpelajar itu membaktikan dan mengandikan diri pada negara demi kepentingan publik dan kesejahteraan bangsa.
Hukum sangat penting untuk menangkal korupsi dan menjerakan koruptor dan bahkan menghukum mati sebagaimana diberlakukan pemerintahan Cina saat ini. Namun, ajaran Konfusius lebih berkenaan dengan etika ketimbang hukum. Mendidik rakyat dengan etika moral budi pekerti dengan sopan santun, rakyat tidak akan hanya sekedar menaati hukum, tapi dapat merasa malu berbuat jahat. (Chong, Kim-Chong. 2007, “Konfusianisme, Korupsi dan Etos Publik,” Encyclopedia.com).
Katanya, “pandu mereka dengan dekrit, pertahankan agar sejalan dengan hukuman, dan rakyat jelata akan terhindar dari masalah tetapi tidak akan memiliki rasa malu. Bimbing mereka dengan kebajikan, pertahankan mereka sejalan dengan ritus, dan mereka akan, selain memiliki rasa malu, mereformasi diri mereka sendiri.” (Analects 2.4. trans Lau, 1979).
Pokok ajaran filsuf Cina Konfusius (abad 6 SM) ini adalah untuk menyelamatkan dunia melalui pelajaran moral-etika terhadap manusianya. Mereka diarahkan agar berusaha menyempurnakan serta menyucikan hati dan pikirannya menuju keseimbangan yang harmonis (zhong-yong) dan tidak boleh berat sebelah. (Wikipedia).
Konfusius dan Pendidikan
Filsuf Konfusius sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi manusia, karena baginya pendidikan dapat mengubah serta menghapuskan kebodohan yang terdapat dalam masyarakat. Pendidikan baginya adalah jalan yang akan mengantarkan suatu negeri mencapai kemakmuran. (Wikipedia).
Pendidikan bersentuhan pada filsafat, dan bahkan bersendikan pada filsafat. Dr. Antonius Subianto. OSC. L.phil, dalam Kompasiana, 26 Oktober 2009, menjelaskan suatu kesatuan dari unsur-usnur orang belajar filsafat, yaitu logos (intelektualitas), eros (mencintai, kreativitas), pathos (solidaritas dengan perasaan dan keprihatian) dan ethos (moralitas dan kerohanian). Empat unsur itu dihubungkan sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO (United States of Educational Scientical dan Cultural Organization), yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Pendidikan sebagai unsur penting tidak dapat dikesampingkan peranannya terutama dalam pembentukan etika dan moralitas siswa, dan sehubungan dengan pendidikan ini kita bisa bercermin pada Konfusius (551-479). Dr. Antonius mengungkapkan jauh sebelum empat pilar itu dicanangkan oleh Unesco, PBB, pada abad 6 SM, filosofi Konfusius telah menyiratkan hal itu, bagaimana pentingnya pendidikan yang mencakup empat unsur itu.
Kongzi (singkatan untuk Konfusius), menekankan pentingnya pendidikan bagi kemanusiaan dan lebih jauh lagi, Kongzi menyajikan unsur-unsur kemanusiaan yang penting seperti etika dan moralitas dalam kehidupan untuk dikembangkan lewat pendidikan. Kongzi dikenal juga sebagai guru pertama di Tiongkok yang memperjuangkan tersedianya pendidikan bagi semua orang dan menekankan bahwa pendidikan bukan hanya sebagai suatu kewajiban semata-mata, melainkan suatu cara untuk menjalani kehidupan.
Ia mempercayai bahwa semua orang dapat menarik manfaat dari hasil pengolahan diri dalam belajar. Kongzi mengabadikan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar dengan tujuan meningkatkan dan mengubah kehidupan sosial saat itu. Di kebanyakan Negara Asia Timur, kelahiran Kongzi diperingati pada tanggal 28 September dan di Taiwan pada hari tersebut diberlakukan sebagai hari libur nasional atau ‘Hari Guru’.
Konfusius dan Moralitas Orang Terdidik
Dalam pandangan Konfusius, moralitas itu bisa dipelajari, dan tekad juga bisa ditumbuhkan. Moralitas itulah yang menjadikan manusia pantas disebut terdidik atau terpelajar. Orang terpelajar sangat didambakan Konfusius, dan karenanya Konfusius sangat dikenal sekali sebagai seorang Guru, seorang pendidik yang melegenda dengan sebutan Guru Kung, seorang yang sangat menghargai pendidikan orang terpelajar yang bertetika dan bermoralitas.
Ujar Konfusius: “Orang-orang terpelajar dan orang-orang yang memiliki moralitas tidak akan hidup dengan merusak moralitasnya. Mereka akan mengorbankan dirinya untuk menjaga keutuhan moralitasnya.” (Lun Yu XV/8).
Moralitas pula yang akan menjadi daya tahan setiap orang di dalam menghadapi segala keadaan. “Mereka yang tidak memiliki moralitas, tidaklah akan hidup lama, baik dalam kondisi kemiskinan dan kesukaran, maupun dalam kondisi kesenangan. Orang yang bermoral, hidup dengan tenang dalam moralitas; orang yang bijaksana menekankan moralitas.” (Lun Yu IV/12). “
Itu sebabnya, bila orang-orang terpelajar yang seharusnya mencerminkan moralitas tapi ternyata tidak, maka masyarakat itu pun akan akan kacau dan jauh dari sejahtera. Moralitas (jen) itulah yang menjaga kesejahteraan dan ketertiban masyarakat, dan benteng moralitas itu ada terpelihara dalam dunia pendidikan terlebih pendidikan perguruan tinggi.
“Orang yang memiliki moralitas, pada waktu ingin menegakkan dirinya juga berusaha untuk menegakkan orang lain. “Pada waktu ingin memajukan dirinya juga berusaha untuk memajukan orang lain, maka dapat dipanggil moralitas yang sempurna.” (Lun Yu/VI/28).
“Orang bijaksana tidak pernah bingung; orang yang memiliki moralitas tidak pernah ragu-ragu, dan orang yang berani tidak pernah takut.” (Lun Yu IX/28).
Benteng Moral Bangsa
Menjadi manusia yang sempurna, adalah dapat hidup di masyarakat dengan mewujudkan sifat-sifat mulia kemanusiaannya, seperti memiliki etika, moralitas dan dapat bersikap bijaksana ditengah segala arus dan corak kehidupan masyarakat. Orang-orang terdidik dan terpelajar yang memiliki rasa malu bila melakukan kejahatan dan melanggar moralitas.
Lalu, bagaimana bila di tengah kehidupan masa kini, justru pelanggaran moralitas itu dilakukan oleh orang-orang terpelajar, orang yang memiliki status tertinggi dalam bidang akademis, dan orang-orang yang sepantasnya mendidik orang-orang lainnya untuk terdidik, terpelajar dan bermoral, dan bukan sebaliknya memberi pelajaran korupsi justru ketika akan memasuki pendidikan. Sudah runtuhkah benteng moralitas itu?
Kemerosotan moral dalam tindak korupsi mencerminkan krisis karakter bangsa. Krisis karakter bangsa dari para penyelenggara negara, pejabat publik dan masyarakat luas yang tidak lagi menyandarkan pada hukum, etika, norma kehidupan dan moralitas luhur. Dunia pendidikan seperti perguruan tinggi merupakan institusi benteng moral bangsa dan pengembang peradaban umat manusia.
Sepantasnya benteng moral ini dijaga karena jika dunia pendidikan dan dunia akademis tercermar, itulah tanda kehancuran sebuah bangsa. Dunia akademis yang mengedepankan integritas, menghomati nilai-nilai luhur dan benteng terakhir ketahanan bangsa adalah mata air yang menyediakan energi bagi masyarakat untuk merawat kebudayaan dan peradaban manusia, menjaga karakter bangsa dan memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara! (JP).
- REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
- REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH).
- SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor).
https://mileniostadium.com/temas-de-capa/cash-for-education-papa-has-dough/