Nasionalisme-Kemerdekaan Semu dalam Pandangan Filsafat Taoisme (道家) dan Filsuf Karl Marx

Home » Artikel » Nasionalisme-Kemerdekaan Semu dalam Pandangan Filsafat Taoisme (道家) dan Filsuf Karl Marx

Dilihat

Dilihat : 82 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 21
  • 124
  • 15,136

Oleh: Gifari Andika Ferisqo

Sadarkah kita bahwa Indonesia adalah wilayah bekas koloni Belanda? Bukan budaya, etnik, cara hidup bahkan bukan juga keyakinan hidup. Penduduk yang hidup di ujung Sumatra dengan yang penduduk yang hidup di ujung Papua memiliki budaya, etnik, cara hidup dan keyakinan yang sangat berbeda. Persamaannya hanyalah satu, yaitu sama-sama masuk wilayah yang pernah dikuasai Belanda.

Hal yang mempersatukan terbentuknya negara yang bernama Indonesia pada mulanya adalah ancaman dari luar, bukan kesamaan dari dalam, dan itu pun dengan sangat tertatih-tatih dan penuh intrik karena tidak semua wilayah yang saat ini masuk dalam Indonesia tidak benar-benar mau ‘bersatu’ karena setiap daerah memiliki kepentingan masing-masing.

 

Definisi Kemerdekaan

Kata ‘Merdeka’ berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ‘Maharddhika (महर्द्धिक)’ yang berarti kekayaan atau keagungan. Kemerdekaan merupakan salah satu bentuk dari hak untuk menentukan nasib sendiri. Menurut Charles G. Fenwick, kemerdekaan dapat diartikan dalam dua pengertian, yaitu kemerdekaan ke dalam dan ke luar. Kemerdekaan ke dalam meliputi dua aspek, yaitu kemerdekaan yang berkaitan dengan kebebasan dari negara untuk mengurus masalah-masalah dalam negerinya dan masalah-masalah lainnya mengenai kebebasan yang dilakukan negara-negara lain. Ada pun kemerdekaan ke luar, yaitu berkaitan dengan kekuasaan terbesar dari negara untuk menentukan hubungan yang dikehendaki dengan negara lain tanpa campur tangan dari negara ketiga. Sedangkan dalam pemahaman secara luas di masyarakat saat ini kemerdekaan adalah kebebasan.

 

Definisi Nasionalisme

Nasionalime merupakan gejala psikologis dalam bentuk rasa persamaan sekelompok manusia, yang memunculkan kesadaran sebagai bangsa. Persamaan itu bisa hadir dari pengalaman sejarah sehingga membentuk persatuan dan cita-cita bersama yang ingin diterapkan pada negara yang berbentuk negara.

Umumnya, nasionalisme di banyak negara memiliki dua tujuan, yaitu:

  1. Menjamin kesanggupan dan kekuatan mempertahankan masyarakat dalam melawan musuh dari luar. Hal ini akan memunculkan sikap rela berkorban untuk negara.
  2. Menjauhkan dari ekstrimisme yang menuntut berlebihan dari warga negara baik individu atau kelompok.

 

Filsafat Bualan Kemerdekaan

Menurut Karl Marx, dalam kemerdekaan yang ia maksud adalah menjelaskan fenomena yang terjadi pada masa tersebut yaitu revolusi dilaksanakan melalui aksi kelas. Dalam aksi kelas tersebut dipimpin oleh suatu kelas revolusioner; entah itu borjuis (pemodal) atau proletar (pekerja/buruh). Jika yang memimpin adalah kelas proletar, maka yang terjadi adalah revolusi proletar, begitu juga sebaliknya.

Setelah revolusi dimenangkan oleh kelas tertentu (kaum proletar misalnya), akan terjadi perubahan sistem ekonomi/cara produksi, ideologi, dan arah politik baru. Ditambah kelompok yang menang (merdeka) akan melakukan hegemoni; atau semacam dominasi (baik politik atau ekonomi) dari kelas yang memenangkan revolusi.

Marx juga menyebut, setelah terjadi revolusi proletar; akan lahir (dibentuk) semacam diktaktor proletar. tugas dari diktaktor proletar adalah mewujudkan masyarakat komunis. Gambaran Marx mengenai masyarakat komunis adalah semua manusia mempunyai hak yang sama terhadap alam, lalu tidak ada lagi kelas. Begitulah gambaran revolusi Marx dan konsepnya mengenai masyarakat dan kemerdekaannya.

Begitu pun dengan Taoisme (道家), pada mulanya merupakan satu jawaban terhadap kondisi kemerosotan sosial pada zaman tersebut. Lao Tzu (老子) menilai bahwa kemiskinan dan kelaparan disebabkan oleh para pemimpin yang buruk, keserakahan dan ketamakan menyebabkan berbagai perang dan pembunuhan, dan gila harta, kekuasaan dan kemuliaan membawa   kehancuran   pada   masyarakat, tentu pada kondisi tersebut masyarakat tidak merasakan adanya kemerdekaan atau mungkin yang ada di benak mereka, ‘apa itu merdeka?’. Mengapa Lao Tzu (老子) berkesimpulan demikian?

Menurut Lao Tzu (老子), berbagai kemerosotan sosial tersebut hanya bisa diatasi jika manusia mengikuti dan selaras dengan jalan alam, atau Tao (道). Bagi Lao Tzu (老子), kodrat alam harus menjadi ukuran dan sumber segala sesuatu termasuk berbagai tindakan manusia. Dengan demikian maka menurut Tao (道) manusia bisa menggapai hidup yang ideal. Hidup yang ideal itu adalah hidup sederhana dan harmonis. Ia melukiskan hidup sederhana sebagai sebuah hidup yang biasa, yang dalamnya orang tidak mencari keuntungan, mengabaikan kepintaran, memperkecil rasa ingat diri, dan mengurangkan hawa nafsu.  Oleh sebab  itu, dalam   pandangan Lao Tzu (老子), kejahatan dan kekurangan yang mencengkeram masyarakat pertama-tama disebabkan Ketika pemerintah dan sesamanya manusia tidak menjadikan kodrat alam sebagai dasar pijak berbagai kebijakan dan tindakan. Pemerintah dan sesama lebih mengutamakan kesempurnaan dan kebahagiaan hidup sendiri ketimbang mengindahkan kehadiran alam demi memberi satu kepuasan maksimum dari hasrat setiap orang.

Perenungan filsafat Taoisme (道家) ini tidak hanya berada pada tataran pengetahuan, melainkan pada tataran praktis yaitu mengenai politik dan negara. Konsep-konsep dan klaim-klaim yang digelontorkan negara kepada masyarakatnya tidak bisa dipandang sebagai suatu kebenaran dan pengetahuan mutlak. Mengapa? Sebab kebenaran dan pengetahuan tersebut berangkat dari pemikiran penguasa yang mana pemikiran tersebut independent; bergantung pada penguasa yang mempersepsikannya. Misalnya, kebenaran atau kebaikan bersama yang dicanangkan pemerintah bukanlah konsep dan pengetahuan mutlak sebab pemahaman mengenai apa itu kebenaran atau kebaikan bersama tergantung pada persepsi penguasa. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa persepsi itu tidak luput dari berbagai kepentingan terselubung yang diusung oleh penguasa.

Karl Marx dan Lao Tzu (老子) sama-sama mengusung paham kemerdekaan melalui pelepasan kehendak   dan maksud manusia untuk merengkuh dan menikmati kesempurnaan, seperti; kekayaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Marx, misalnya melihat kapitalis dengan sokongan modal, ilmu pengetahuan, dan teknologi justru membuat manusia teralienasi dari kerjanya yang sejati dan mengeksploitasi alam.  Demikianlah halnya dengan Lao Tzu (老子), usaha individu untuk memuaskan hasrat-hasrat hatinya adalah sebab dari persaingan dan konflik. Oleh sebab itu, gagasan kesederhanaan sebagai bentuk dari keselarasan hidup manusia dengan alam yang digagas Lao Tzu (老子) menjadi solusi yang layak demi terciptanya kehidupan manusia yang damai dan bersahabat.

 

Toxic Nationalism

Kurang dari satu bulan lagi negara kita akan merayakan hari kemerdekaannya yang ke-77, dan seperti biasa kita akan mulai disuguhkan oleh berbagai macam ‘nasionalisme dadakan’. Sadar atau tidak, nasionalisme Indonesia tampaknya menjadi ajang ritualisme dan memaksakan satu narasi perihal definisi kebangsaan – semua deviasi dari definisi ini dianggap ‘pengkhianatan’. Saat ini bukanlah tahun 1945 dan nasionalisme bukan sesuatu yang perlu ditonjolkan, mau berapa proyek nasionalisme lagi dikeluarkan, sedangkan program kesejahteraan seperti di negara-negara maju tidak pernah diterapkan. Tanpa sadar juga hal-hal demikian justru seolah menunjukan seperti ‘tell me you’re a fascist without saying you’re a fascist’. Di zaman yang mana masyarakat dunia sudah global dan seolah antar negara hampir tidak ada jarak, konsep nasionalisme adalah ideologi yang sudah tidak relevan. Dewasa ini, banyak sekali analis yang berpendapat bahwa nasionalisme kini adalah ‘something in the past’, sudah basi dan tidak relevan lagi.

 

Tak dapat dipungkiri, nasionalisme pada abad-20 sangatlah berfungsi bagi negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia II. Demikianlah yang terjadi di beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia yang mendeklarasikan pemerintahan baru atas Belanda melalui revolusi kemerdekaan pada tahun 1945, kemudian rakyat Burma (Myanmar) di bawah pimpinan U Aung San (ဗိုလ်ချုပ် အောင်ဆန်) merdeka atas Inggris pada tahun 1949. Lalu rakyat Malaya (Malaysia) melalui berbagai diplomasi dengan Inggris dan merdeka pada tahun 1959. Nasionalisme saat menjadi alat pemersatu rakyat yang tertindas oleh asing, pengobar semangat untuk menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, dan terlepas dari pengaruh asing.

Namun ketika kini sudah ‘merdeka’, kesejahteraan dan kemakmuran seperti jalan di tempat. Percuma saja dengan sumber daya alam yang melimpah jika rakyat tidak makmur, untuk apa? Orang yang kelaparan tidak akan pernah terbesit untuk memikirkan nasionalisme, apakah nasionalisme dapat membeli rumah, makanan, mobil dan lain-lain? Apakah nasionalisme dapat memuluskan birokrasi? 

Tidak heran, banyak WNI yang akhirnya pindah kewarnegaraan untuk mencari peruntungan yang lebih baik di negeri lain. Contoh ada Anggun C. Sasmi, yang memutuskan menjadi warga negara Prancis karena mengalami rumitnya sistem birokrasi negara ini sewaktu ia ingin Go-Internasional dan membawa nama Indonesia di Eropa. Kemudian ada Fuad Nurhadi atau Tong Xin Fu (湯仙虎), Pelatih Pencetak generasi emas atlet bulu tangkis era 90-an. Pria kelahiran Lampung tersebut akhirnya memutuskan jadi warga negara Tiongkok karena meskipun lahir dan besar di Indonesia. Karena rumitnya birokrasi, beliau tidak diakui sebagai WNI, permohonan SBKRI pun ditolak oleh pemerintah dengan alasan semata-mata karena beliau adalah keturunan Tionghoa. Di Tiongkok, beliau meneruskan karir kepelatihannya dan mencetak atlet generasi emas di negara tersebut, salah satunya ialah Lin Dan (林丹).

Indonesia sulit untuk mengembangkan nasionalisme yang sehat sebab banyak yang tidak ingin mengakui kelemahan internal, tetapi malah menyalahkan ‘musuh bersama’ untuk membangun sebuah persatuan semu yang jatuhnya malah seperti xenophobia (ketakutan terhadap pihak asing). Pemerintah sering menyuarakan ‘toleransi dan persatuan’ tetapi realita di tingkat lapisan masyarakat, secara ‘bibit-bibit akar rumput’ masih menyimpan rasa intoleransi dan kekerasan, secara diam-diam dan akan meluapkannya jika ‘ada yang menganggu kita maka, selama tidak mengganggu kami, kami tidak akan menganggu anda’.

Kalau kita mau fair, kita dapat menyamakan nasionalisme dengan brand loyalty. Mengapa begitu? Karena jika ingin dicocoklogikan, nasionalisme dan brand loyalty itu memiliki kemiripan, yaitu sama-sama cinta dan setia pada satu entitas. Perbedaannya hanyalah pada, timbulnya rasa nasionalisme dalam diri seseorang itu karena sudah dicekoki dogma dan ideologi secara halus mau pun paksaan. Sedangkan timbulnya rasa setia pada sebuah brand dalam diri seseorang, itu karena kualitas produk dan after sales service yang bagus.

 

Daftar Pustaka

  • Fung Yu-Lan, 1952, A History of Chinese Philosophy, Vol. I, Trans. By Derk Bodde, Princeton University Press, Princeton.
  • To Thi Anh, 1984, Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni?. Terj. John Yap Pariera, PT. Gramedia, Jakarta.
  • Rejai, M. 1991, Political Ideologist. A Comparative Approch. M.E. Sharpe, Inc. Armonk, London, New York.
  • Carr, E.H. 1995, Nasionalism and After, Mac millian and co.M.Ltd, London.
  • Rosenau, P. M. (1992). Post-Modernism and The Social Science; Insights, Inroad dan Intrusions. Princeton: Princeton University Press.
Butuh bantuan?