Negara Sejahtera dan Manusia Bahagia

Home » Artikel » Negara Sejahtera dan Manusia Bahagia

Dilihat

Dilihat : 73 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 74
  • 115
  • 62,203
Pic 5 Negara Sejahtera

Oleh: Jo Priastana

 

“Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela

ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan,

cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku

oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?”

(Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945)

 

Aktivitas ekonomi sebagai aktivitas sosial manusia, yang mencerminkan etika sosial manusia juga tidak lepas dari nilai kehidupan manusia itu sendiri dalam meraih kebahagiaan yang sesungguhnya. Karenanya pemikiran tentang pembangunan ekonomi juga hendaknya dapat melihat prinsip teleologis kebahagiaan manusia ini (sukha) dan tidak semata berpaku pada kesejahteraan duniawi dan kenikmatan inderawi (kamasukha) yang masih termasuk dukha.

Selama ini teori-teori ekonomi pembangunan memandang keberhasilan pencapaian pembangunan ekonomi selalu diukur dalam kacamata pertumbuhan ekonomi. Akibatnya berlangsung perburuan terhadap sumber daya alam sebagai pemenuhan atas keyakinan terhadap kemampuan untuk mencapai kenikmatan inderawi dan kesejahteraan duniawi, atau dalam perspektif Buddhis termasuk dalam pemenuhan kamasukha.

Problem poverty atau kemiskinan dalam pandangan ekonomi juga kerap pula ditafsirkan dalam konteks dan makna pemenuhan kamasukha ini. Kemiskinan berarti minimnya kesenangan yang tersedia. Pada umumnya, pemenuhan ini dicapai melalui pertumbuhan ekonomi yang mendatangkan penambahan penghasilan dan kesejahteraan duniawi namun berujung pada menipisnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. 

 

Buddhadharma dan Ekonomi

Dalam Buddhadharma tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah mewujudkan kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu: nibbanasukha. Kebahagiaan ini mengatasi pemenuhan kenikmatan inderawi (kamasukha). Nibbanasukha yang merupakan kondisi psikologis yang tumbuh berdasarkan nilai-nilai spiritualitas brahma-vihara yaitu: cinta kasih (metta), belas kasihan (karuna), keseimbangan batin (upekkha), empati dan simpati (mudita).

Mungkin timbul pendapat bahwa meski pemahaman mengenai prinsip kebahagiaan nibbanasukha ini menarik dan bagus, namun dipandang hanya untuk pencapaian secara individual, karenanya tidak realistis dalam kacamata pembangunan ekonomi pada umumnya, yakni pembangunan ekonomi yang sebatas mewujudkan kesejahteraan dan kenikmatan duniawi kamasukha.

Namun begitu, pencapaian sukha (kebahagiaan yang sesungguhnya ini) setidaknya juga dapat dan patut menjadi bahan permenungan mengenai tujuan yang sebenarnya dari makna kesejahteraan itu sendiri dan tidak bertentangan di dalam mengatasi kemiskinan yang masih melanda kehidupan masyarakat secara luas.

Setidaknya kesejahteraan dan kebahagiaan yang sesungguhnya (sukha) tersebut dapat menjadi inspirasi atau prinsip teleologis dari kebijakan ekonomi dan tujuan pembangunan yang lebih arif dalam memandang dunia dan kehidupan secara positif sebagai kesempatan transformasi nilai-nilai luhur kemanusiaan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Tujuan ekonomi sejahtera ini dapat pula diberlakukan dalam suatu pemerintahan atau kebijakan suatu negara untuk kesejahteraan dan kebahagiaan warganya.

 

Bhutan dan Indeks Negara Bahagia

Satu contoh negara yang menekankan pencapaian kebahagiaan penduduknya ketimbang pencapaian kesejahteraan duniawi adalah Bhutan. Negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ini mengukur tingkat kebahagiaan penduduk dan negaranya dengan ukuran kebahagiaan Gross National Happiness (GNH), dan bukan dengan ukuran kebahagiaan ekonomi Gross Domestic Product (GDP).

Bhutan disebut Negara dengan GNH tertinggi di dunia. Negara yang disebut “Shangrila di kaki gunung Himalaya” ini memiliki tingkat kepuasan penduduknya berada dalam 10 persen tertinggi di dunia berdasarkan Happy Planet Index. 97 persen penduduknya merasa bahagia, yakni kebahagiaan yang bukan berasal dari pemuasan nafsu (kamasukha) dunia fana, melainkan berasal dari spiritualitas dan konsep “tahu cukup”.

Pengalaman kebahagiaan Bhutan berasal dari Jigme Singye Wangchuck IV, raja yang tidak mendahulukan perkembangan ekonomi melainkan mendirikan sebuah negara yang bahagia. Ia menjadikan jabatannya sebagai amanah membahagiakan rakyatnya dengan konsep kesetaraan, kepedulian, dan konsep ekologi.

Pada 2005, Bhutan menjadi fokus berbagai media besar seantero dunia. “Model Bhutan” dengan teori Gross National Happiness (GNH) memperoleh perhatian masyarakat internasional dan digandrungi para pakar penelitian sebagian negara seperti AS, Jepang, dan lain-lain, dimana Bhutan sendiri telah menjalankan konsep GNH-nya selama hampir 30 tahun.

Yang disebut model Bhutan dengan GNH-nya ini ialah mementingkan perkembangan yang seimbang antara materi dan spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan proteksi terhadap kebudayaan nasional. Konsep itu diletakkan jauh di atas perkembangan ekonomi.

Orang Bhutan beranggapan, “Kehidupan yang benar-benar bernilai, bukannya hidup di tempat dimana dapat menikmati materi tingkat tinggi, melainkan memiliki taraf spiritual dan kebudayaan yang kaya”.

Nyatanya negeri Bhutan sendiri sudah menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada kebahagiaan manusia dan bukan semata ekonomi lahiriah berupa kesejahteraan material ditambah ramah terhadap alam-lingkungan dan ekologis. Dengan begitu, Bhutan dapat menjadi contoh dari cerminan berlakunya prinsip-prinsip ajaran Buddha dalam menata dan merekonstruksi pembangunan ekonomi suatu negara, berdasarkan prinsip jalan tengah demi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya.

Tajuk Rencana Harian Kompas mengungkap negeri Bhutan perihal ukuran bahagia yang makin berkembang. Bhutan adalah contoh negara yang membuat ukuran-ukuran kebahagiaan tersendiri. Mereka menjaga luasan hutan agar tetap sekitar 70 persen. Juga membatasi wisatawan yang datang. Bhutan tergolong negara negatif karbon. Mereka malah membantu negara lain untuk menyerap karbondioksida. Bhutan memilih memakai indikator kebahagiaan nasional bruto dibandingkan menggunakan ukuran makro yang lazim digunakan untuk pengukuran pertumbuhan sebuah negara (Kompas 21/3/23). (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQuh0t6Yz7WuvJr3ZEYWLJyBktjdnFNzFVbf7P0iBNQN94QtU7dS1JO20c&s=10

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?