Negarawan Dan Pendidikan Politik

Home » Artikel » Negarawan Dan Pendidikan Politik

Dilihat

Dilihat : 64 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 134
  • 139
  • 60,057
Negarawan dan Pddkn Politik pic

 Oleh: Jo Priastana

 

“A Politician thinks of the next election, A statesman of the next generation”

(James Freeman Clarke (1810-1888), American Theologians, Social Activist, HAM Fighter)

 

Sering dikatakan bahwa kecenderungan umum yang terjadi dalam kehidupan politik adalah menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, termasuk mengabaikan nilai-nilai moral dan agama. Apakah memang harus berlaku demikian? Apakah nilai-nilai agama tidak memiliki validitas untuk dapat mengarahkan kehidupan bersama ke arah kehidupan yang lebih baik? Kehidupan bersama dalam rangka memperluas kebebasan dan aktualisasi kehidupan manusia yang luhur dan bermartabat?

Dalam kacamata Buddhadharma yang melihat bahwa manusia itu adalah makhluk luhur dan bermartabat yang mengandung dimensi transenden (lokuttara), dan politik sebagai penataan kehidupan bersama, seharusnya dapat memberikan ruang kebebasan dan membantu aktualisasi manusia tersebut melalui penataan sumber kekuasaan dan institusi sosialnya yang adil. Jadi politik merupakan sarana untuk dapat menjaga dan mengembangkan keluhuran dan martabat manusia itu.

Berkarier Buddhadharma dalam mewujudkan nilai-nilai Buddhis dalam jalur politik merupakan jalan mulia dalam dharmabakti bagi kehidupan, kemajuaan bangsa dan negara dan kebahagiaan umat manusia. Jalur politik inilah yang pantas dan perlu dimasuki oleh setiap anak muda Buddhis yang berkembang dewasa ini di Indonesia, ketika ruang berpartisipasi dan keterlibatan di jalur politik itu sangat dimungkinkan dimana demokrasi saat ini telah menandai kehidupan bernegara bangsa Indonesia.

 

Politik dan Demokrasi

Pemikiran tentang demokrasi muncul dalam sejarah pemikiran politik. Ada tiga filsuf paling berpengaruh pada Abad Pencerahan (Aufklarung), seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) yang mendasarkan filosofi pemerintahan (government) dan tata kelola pada teori “kontrak sosial”.

Mereka sepakat bahwa jantung kontrak sosial adalah otoritas pemerintahan yang terletak pada persetujuan dari yang diperintah. Pemikiran politik ini menjadi kunci untuk hidup dalam tatanan masyarakat yang beradab (societas civilis). Bagi Locke, setiap individu punya hak alamiah dan tatanan ada untuk melindugi hal alamiah mereka, sedangkan Rousseau, tatanan berperan mencapai kesatuan sambil mempertahankan kebebasan pribadi. (Yanuar Nugroho, Kompas 16/2/2023).

Siddharta memang tidak menjadi Raja, tidak mengambil jalan di jalur politik. Namun begitu, sebagai Buddha di jalur kebenaran, banyak ujar-ujaran Beliau yang ditujukan bagi para siswa-siswanya untuk juga memikirkan dan terlibat dalam urusan pemerintahan, negara dan keterlibatan ini semata demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak.

Pada jalur politik yang dimasuki adalah jalur yang bukan demi penegakan ego semata,   bukan semata demi kekuasaan dan kekayaan, namun demi dimana sinar kebijaksanaan ajaran Buddha sungguh dapat memandu dan menerangi setiap keputusan dan kebijakan yang dihasilkan pemerintah, negara demi kesejahteraan publik dan kebahagiaan warga negara. Demi perwujudan semoga semua makhluk bahagia.

Bukankah Aristoteles mengatakan, “manusia pada dasarnya adalah binatang politik.” Manusia tidak bisa dipisahkan dari politik, dan biarlah manusia yang tidak terpisahkan dari berpolitik itu dicerahkan oleh cahaya kebijaksaaan dari Buddhadharma, sebagaimana umat Buddha, anak-anak muda Buddhis itu yang juga tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara semakin tercerahkan karena berpolitik.

Politik dalam makna luas sebagai politik etis dan kemanusiaan yang juga berlaku di berbagai dimensi dan bidang kehidupan. Buddhadharma banyak mengandung nilai strategis untuk menerangi jalur politik yang juga berlaku untuk berbagai bidang kehidupan.  Buddhadharma dapat menerangi jalur politik dan memberi kerangka nilai dan norma dalam membangun kehidupan bernegara dan pendisiplinan masyarakat yang baik.

 

Politik dan Kemanusiaan

Dalam konteks itulah, Sang Buddha berbicara kepada para pemimpin negara, raja-raja dan mereka yang beraktivitas di jalur politik agar sinar Dharma dapat menerangi dan mewujudkan cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara, komunitas Buddhis pun tidak bisa dipisahkan dari jalur politik dan pantas memasukinya.

Dalam Dharmanya, Buddha menyatakan bahwa adalah sungguh terpuji mereka yang memikirkan dan memperjuangkan kebahagiaan orang lain, ketimbang kepentingannya sendiri. “Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain disamping kepentingan sendiri adalah yang terbaik” (Anguttara Nikaya II, Digha Nikaya III). Ujaran Sang Buddha yang ditujukan bagi setiap orang ini juga berlaku untuk seorang pemimpin, landasan bagi munculnya kepemimpinan negarawan.

Pemimpin yang mendatangkan perubahan besar bagi masyarakat dan dunia ke arah yang baik. Ujaran seperti itulah yang sering dikemukakan oleh negarawan besar bangsa Indonesia, Ir. Soekarno, dengan ungkapannya zamen bundeling van alle krachten van de natie atau tekad bersama untuk mendahulukan kepentingan bersama, masyarakat, bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi, keluarga, serta golongan sendiri. 

Untuk itu, hendaklah dapat dipahami bila peran aktivis, guru, tokoh Buddha di dalam memperjuangkan masyarakat, menegakkan etika sosial masyarakat itu yang akan menyentuh wilayah politik, maka yang dimaksud dengan politik yang tersentuh oleh peran tokoh Buddha ini adalah politik dalam pengertian yang sebenarnya atau dalam arti luas (Frans Magnis Suseno, 1988). Yaitu pengertian politik berdasarkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan dalam arti semata sebagai tanggung jawab kemanusiaan dalam hidup bersama di bumi manusia ini yang mendatangkan perubahan besar.

Ambil contoh tokoh politik negarawan yang tampil di pentas dunia mendatangkan perubahan dan membuat political legacy. Ada Abraham Lincoln (1809-1865) yang menyudahi perbudakan di Amerika Serikat. Winston Churchill (1874-1965) menyetop laju fasisme di Eropa. Nelson Mandela (1918-2013) menyudahi dengan harmoni apartheid, politik diskriminasi atas kulit hitam di Afrika Selatan. Bung Karno (1901-1970) hadir begitu kental menyatukan dan menghidupkan nasionalisme di Indonesia. (Denny JA, “Membangun Legacy,” 2020).

Politisi adalah sebuah karier untuk membuahkan perubahan ke arah yang baik, bermanfaat bagi masyarakat luas. Politisi memperjuangkan idealisme dengan membuahkan kebijakan dan regulasi mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara. Mungkin tidak harus politicial legacy secara luas dan besar, bisa dalam konteks lokal dan bidang kehidupan tertentu, seperti kebijakan tentang prasarana kota untuk kehidupan yang baik, regulasi dalam bidang pendidikan yang sungguh-sungguh membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, dan lainnya.

 

Pendidikan Politik

Politisi negarawan bisa menjadi cermin dan teladan bagi pendidikan politik yang perlu diketengahkan kepada para siswa. Pendidikan politik mengajak siswa untuk berdarma-bakti kepada bagsa dan negara sebagai wujud nilai-nilai moral dan spiritual yang juga sejalan dengan ajaran agamanya; berbakti pada nusa bangsa, leluhur untuk pembebasan penderitaan, kebodohan dan kemajuan negeri, anak-anak bangsa.

Penyebaran Buddhadharma yang bertujuan demi kebahagiaan manusia, bebas dari penderitaan mendatangkan perubahan besar pada dunia juga tidak lepas dari kebijakan politis negara. Misi Buddhadhrma itu yang berarti pula mewujudkan kehidupan masyarakat yang bersifat moral-spiritual, sesuai dengan nilai kemanusiaan. Ini berarti tokoh Buddha, pendidikan Buddhis berperan dalam menentukan moralitas masyarakat, mewujudkan nilai-nilai dharmanya menjadi etika sosial dan mengandung kekuatan transformatif untuk secara politis mengubah kehidupan masyarakat ke arah yang semakin baik.

Nilai-nilai Buddhadharma berperan dalam kehidupan masyarakat luas sebagai etika sosial yang juga berperan menumbuhkan politik yang etis. Dengan demikian peranan agama atau amanat dharma yang diemban oleh para tokoh, guru, ulama Buddha yang menjadi negarawan adalah memberikan suntikan moralitas dan spiritualitas terhadap politik, dimana korupsi dan hidup mewah itu tidak pantas bagi pejabat negara.

Disinilah relevansi pendidikan politik yang tercerahkan berdasarkan nilai-nilai Buddhadharma oleh para guru serta rohaniwan agar terwujudnya politik yang etis dan bermartabat. Praktik politik berdasarkan nilai kebaikan, kemanusiaan demi kemajuan bangsa-bangsa yang semakin bermartabat! (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

sumber gambar: https://www.davidson.edu/sites/default/files/styles/extra_extra_large_16_9/public/2022-11/EDU%20On%20Course%20Header.png.jpg?itok=BTJOO-jn

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?