Oleh: Jo Priastana
“Dalam Diri ini terdapat juru rekam, menghasilkan berbagai rekaman, menggerombol menjadi sebelas kelompok yang melahirkan Kramadangsa, yaitu: aku dengan namanya sendiri. Kramadangsa si tukang memikir, yang memikirkan kebutuhan rekaman-rekaman dan dapat dipandang sebagai budak dari sebelas majikan” (Ki Ageng Suryomentaram)
Orang Jawa memiliki ajaran luhur Kejawen. Kejawen adalah suatu kepercayaan tentang pandangan hidup yang diwariskan dari leluhur, berupa kepercayaan atau seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku. (Hadiwijaya, “Tokoh-tokoh Kejawen: Ajaran dan Pengaruhnya,” Yogyakarta, Uele Book, 2010).
Pandangan hidup atau filsafat hidup orang Jawa ini hasil dari pertemuannya dengan nilai-nilai, ajaran, filsafat dan agama lain yang datang. Berabad-abad kebudayaan Hindu Buddha yang berasal dari India memengaruhi Tanah Jawa dan ajaran Kejawen yang dikenal pula sebagai Ngelmu Kasampurnaan.
Banyak tokoh Kejawen terkenal diantaranya adalah Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram adalah anak seorang raja yang lahir pada 20 Mei 1892, dengan nama Raden Mas Kudiarmaji. Ia anak Sultan Hamengku Buwana VII dengan permaisuri Raden Ayu Retnomandaya. Cara hidupnya mirip Siddharta, meninggalkan istana dan kepangeranannya untuk menemukan rasa hidup yang sejati.
Kawruh Jiwa
Ia juga seorang pejuang perintis kemerdekaan RI bersama-sama Bapak Bangsa, Ki Hajar Dewantara, K.H. Samanhudi, Ahmad Dahlan dan lain sebagainya. Ia meninggal Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962 jam 16.45, dalam usia 70 tahun. Sebagai filsuf agung Jawa, ia mewarisi ajaran kebatinan Jawa, yaitu Kawruh pangawikan pribadi atau dikenal dengan sebutan Kawruh Jiwa.
Ajaran tentang Ego Kramadangsa. Rumusan pengetahuan tentang ego Kramadangsa ini disebut Ki Ageng dengan istilah Ilmu Pangawikan pribadi. Pengetahuan ini dapat diringkas dengan bunyi:
“Dalam Diri Anda ini terdapat juru rekam, yang menghasilkan berbagai rekaman, yang menggerombol menjadi sebelas kelompok. Kelompok-kelompok rekaman ini melahirkan Kramadangsa, yaitu rasa aku dengan namanya sendiri. Kramadangsa ini tukang memikir, yang memikirkan kebutuhan rekaman-rekaman di atas. Dengan kata lain, Kramadangsa sebagai budak dari sebelas majikan.”
Menurut Ki Ageng Suryomentaram, sejak semasih bayi itu, manusia sudah merekam segala apa yang dilakukan panca indera. Merekam segala hal yang berhubungan dengan dirinya, seperti ketika melihat sesuatu, mendengar sesuatu, menjilat dan merasakan sesuatu. Peranan sebagai juru rekam ini dikatakan hidup dalam ukuran kesatu, dan diperumpamakan sebagai cara hidup tumbuh-tumbuhan.
Kemudian rekaman yang berjuta dan tak terhingga banyaknya itu serupa barang yang hidup, dan ini disebut sebagi ukuran kedua, dan diperumpamakan sebagai kehidupan hewan. Sebagai barang hidup, rekaman ini bila mendapat makanan yang cukup akan subur hidupnya, tapi bila kurang makanan akan menjadi kurus dan mati. Makanan rekaman-rekaman itu adalah perhatian.
Apabila rekaman-rekaman itu sudah cukup banyak jumlah dan jenisnya, lahir rasa Kramadangsa. Yaitu rasa yang menyatukan diri dengan semua rekaman-rekaman yang berjenis-jenis itu sebagai: harta-bendaku, keluargaku, bangsaku, golonganku, agamaku, ilmuku, dan sebagainya. Rasa aku Si Kramadangsa ini bagaikan tali pengikat batang-batang lidi dari sebuah sapu lidi.
Kalau rekaman ini sudah banyak maka Kramadangsa (yang bernama namaku) lahir, yaitu manunggalnya semua rekaman-rekaman bermacam-macam seperti: (1) harta milikku, (2) kehormatanku, (3) kekuasaanku, (4) keluargaku, (5) bangsaku, (6) golonganku, (7) jenisku, (8) pengetahuanku, (9) kebatinanku, (10) keahlianku, (11) rasa hidupku.
Kramadangsa ini hidup dalam ukuran ketiga, karena tindakannya sudah memakai pikiran. Jadi, Kramadangsa itu tukang berpikir, yang memikirkan kebutuhan-kebutuhan rekaman-rekaman. Sedangkan yang Keempat, adalah hidup manusia tanpa cela.
Namun dari ukuran ketiga (kramadangsa) hendak menuju ke ukuran keempat (manusia tanpa cacat), terdapat simpang tiga atau penghalang berupa Pendapat Benar, yaitu rasa benar sendiri. Jalan simpang tiga ini, yang satu menuju ukuran ketiga, yakni hidup Kramadangsa, dan yang lain menuju ke ukuran keempat, yakni hidup manusia tanpa cela.
Mawas Diri dan Tidak Aku
Untuk menjernihkan rekaman-rekaman itu, perlu memahami Kramadangsa dan mengatasi halangan pendapat benar. Kemudian setelah dipahami, Kramadangsa, ego akan mati. Demikianlah cara menganalisis pengalaman untuk memahami kenyataan menurut Ki Ageng Suryomentaram.
Ajaran Ki Ageng ini hampir selaras dengan ajaran Bhagavad Gita dalam cara melenyapkan manas, cara memahami objek yang berupa kumpulan pikiran, emosi dan vasana (endapan sensasi).
Setelah memahami bahwa aku bukan raga, pikiran dan perasaan, Arjuna maju perang demi dharma. Setelah sadar bahwa diri kita bukan kumpulan rekaman tetapi saksi, kita akan menjadi Manusia Universal, dan kita akan bertindak selaras dengan alam.
Untuk mencapai manusia universal mengenai diri, Ki Ageng menekankan melakukan mawas diri. Mawas diri menjadi bagian dari akal sehat masyarakat Jawa dan dikenal akrab dalam kebatinan Jawa atau Kejawen.
Mawas diri, dimana seseorang mencoba memahami keadaan diri sejujur-jujurnya. Dengan mengenali ego kramadangsa, akan mencapai ukuran keempat, manusia tanpa cacat, manusia universal dan bebas dari rasa berpendapat benar sendiri.
Buddhadharma dan Empat Kesadaran
Tampaknya ajaran yang dikemukan Ki Ageng Suryomentaram itu memiliki keselarasan dengan Buddhadharma, yakni dengan proses pikiran dan terbentuknya keakuan. Dalam konteks ajaran itu terutama adalah ajaran rekaman-rekaman yang sepadan dengan kesadaran terpendam dalam alaya vijnana, maupun kesadaran manas atau aku dengan ego kramadangsa.
Dalam Buddhadharma dikemukakan mengenai empat macam kesadaran: kesadaran pikiran, kesadaran indera, kesadaran terpendam, dan manas. Keempat jenis kesadaran bisa dikelompokkan menjadi delapan, karena kesadaran indera dibagi menjadi lima: penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, dan sentuhan. (Thich Nhat Hanh, “Buddha Mind, Buddha Body,” Jakarta, Karaniya, 2010).
Ketika bekerja dan merekam atau mencatat, menyimpan menjadi kesadaran terpendam. Kesadaran pikiran adalah jenis kesadaran yang pertama. Kesadaran kedua, adalah kesadaran indera, kesadaran yang berasal dari lima indera: penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, dan sentuhan.
Kesadaran ketiga, adalah kesadaran yang terdalam, yaitu kesadaran terpendam. Dalam tradisi Mahayana, disebut kesadaran “alaya” sedangkan tradisi Theravada disebut “bhavanga”, yang terus menerus mengalir. Kesadaran terpendam ini disebut juga mulavijnana atau sarvabijaka yang berarti “keseluruhan benih”.
Dalam bahasa Vietnam, kesadaran terpendam disebut Tang, yang berarti menyimpan dan melestarikan. Memiliki arti tempat penyimpanan, atau “gudang”, yang mana semua jenis benih dan informasi disimpan dan bisa bergetar bila tersentuh oleh obyek yang sesuai dan menimbulkan formasi mental.
Kesadaran terpendam bekerja di luar kesadaran pikiran. Kesadaran terpendam ini mengonsumsi seperti merekam, menerima dan bisa muncul dalam layar kesadaran pikiran. Ada elemen ketidaktahuan-khayalan, objek kemelekatan dam membentuk kekuatan atau energi yang bersatu padu atau yang ingin memiliki yang kemudian muncul dalam jenis keempat yang disebut manas atau kesadaran aku.
Kesadaran manas berakar pada keyakinan akan suatu pribadi, keyakinan adanya suatu diri yang terpisah (berdiri sendiri) atau kesadaran aku. Kesadaran ini, perasaan dan insting yang disebut “aku”, sangat dalam terpatri dalam kesadaran terpendam.
Seluruh proses kesadaran ini, kesadaran pikiran, kesadaran panca indera, kesadaran terpendam, dan kesadaran aku atau manas dapat kita bandingkan dengan ajaran Ki Ageng Suryomentaram mengenai rekaman dan empat ukurannya. Rekaman pertama sebagaimana yang terjadi dalam kesadaran pertama dan kedua berupa proses bekerjanya kesadaran pikiran dan kesadaran indera.
Berkenaan dengan penjelasan tentang rekaman-rekaman yang bisa diangkat kembali bila mendapat makanan berupa sentuhan perhatian, dapat kita bandingkan dengan kesadaran terpendam alaya. Sedangkan rekaman yang berkenaan dengan ukuran ketiga dimana timbulnya ego kramadangsa dapat kita bandingkan dengan proses terjadinya kesadaran keakuan atau manas.
Mawas Diri dan Meditasi
Selanjutnya, ajaran Ki Ageng Suryomentaram menekankan pentingnya mawas diri yang berarti memahami segala proses rekaman-rekaman dan empat ukuran termauk ego kramadangsa. Dalam Buddhadharma penting bermeditasi untuk menumbuhkan kesadaran sehingga memahami proses bekerjanya empat jenis kesadaran, sehingga memahami bekerjanya “aku”.
Dengan begitu, timbul kesadaran “Tidak ada aku” yang terpahami ketika berada dalam tindakan meditasi mindfulness atau meditasi kesadaran. Pentingnya menumbuhkan kesadaran dalam meditasi, – arti kata Buddha yang berarti yang sadar, yang tercerahkan – kiranya dapat dibandingkan dengan seruan Ki Ageng Suryomentaram tentang mawas diri dan manusia tanpa cacat atau manusia universal.
Ajaran Ki Ageng Suryomentaram sesungguhnya mengajak kita untuk mengenali terjadinya proses keakuan dalam kesadaran kita yang menumbuhkan kemelekatan atau kepemilikan, seperti rumahku, anakku, pikiranku. Ki Ageng mengajak kita untuk memahami proses ego kramadangsa sehingga memungkinkan menjalani hidup dengan bebas dan bahagia, bebas dari kepentingan diri sendiri atau kemelekatan terhadap keakuan.
Sebagaimana dalam Buddhadharma, bebas dari keakuan berarti tidak ada identifikasi terhadap sesuatu, tidak ada pemikir di balik pikiran – yang ada hanyalah pikiran itu sendiri. Pikiran terwujud tanpa perlunya ada “sang aku” di baliknya. Pikiran tanpa pemikir, perasaan tanpa yang merasakan.
Inilah objek meditasi, pemahaman terhadap semua formasi mental yang terjadi dan bermanifestasi tanpa “sang aku” dibaliknya. Pada umumnya, kesadaran pikiran kita terbiasa untuk mendasarkan dirinya pada ide “sang aku”, pada manas. Kita dapat bermeditasi untuk lebih sadar akan kesadaran terpendam kita, tempat dimana terpendam atau terekam benih semua formasi mental laten dalam pikiran kita namun dapat timbul bila mendapat sentuhan perhatian.
Mawas diri Ki Ageng Suryomentaram atau meditasi Buddhis memungkinkan melihat lebih dalam agar mencapai penerangan dan kejernihan dalam memandang sesuatu. Ketika pandangan tidak adanya “aku” diperoleh, maka delusi aku, kemelekatan aku tersingkirkan, ego kramadangsa terpahami dan identifikasi aku berakhir.
Inilah yang kita sebut transformasi diri, yang dimungkinkan dengan pemahaman mendalam terhadap semua proses pikiran atau kesadaran. Manas lenyap dan lahirlah diri yang sadar yang sedang menikmati saat ini, kebebasan dan kebahagiaan. Untuk itu, marilah menjadikan mawas diri dan bermeditasi sebagai laku! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://uiupdate.ui.ac.id/sites/default/files/styles/large/public/field/image/Ki%20Ageng%20Suryomentaram.jpg?itok=iyqoIicN