Oleh: Jo Priastana
“Mengenal orang lain adalah kecerdasan;
mengetahui diri sendiri adalah kebijaksanaan sejati.
Menguasai orang lain adalah kekuatan;
menguasai diri sendiri adalah kekuatan sejati.”
(Lao-Tzu)
Pada akhir-akhir ini politik identitas muncul dalam banyak rupa. Mulai dari feminisme di Eropa, gerakan proletar atau rakyat melarat di Amerika Latin, gerakan anti-apartheid di Afrika, pergolakan zionisme vis a vis pengakuan bangsa Palestina, gerakan summer spring di Timur Tengah, dorongan pemekaran wilayah berasas etnis atau suku hingga gerakan separatisme, maupun gerakan politik kekuasaan yang berlabel agama.
Politik identitas adalah politik yang menekankan pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada asumsi fisik tubuh, kepercayaan, dan bahasa yang menjadi ciri atau tanda khas dari seseorang. Politisasi SARA (suku, agama, ras, antar golongan) adalah upaya untuk memanfaatkan atau mengekspresikan sentimen identitas yang menyangkut kesukuan, ras, agama, dan golongan oleh individu dan/atau kelompok untuk kepentingan politik tertentu (Diskusi Pencegahan Politisasi SARA Menjelang Pemilu oleh Bawaslu/Kompas/27/3/23).
Dalam Buddhadharma dikenal istilah Anatta, tiada diri, no-self. Bagaimana kedudukannya dalam masalah kehidupan sosial seseorang. Bila secara individual saja orang sudah dikatakan no-self, tiada diri, tiada identitas, bagaimana dengan identitas yang melekat secara sosial? Dunia kehidupan dibangun tidak oleh orang yang mengisolasi diri tetapi terbentuk dalam kehidupan bersama dalam ruang dan waktu, secara sosial dan menyejarah. Karenanya penting membaca individu dalam makna sosial, mencermati diri dan fenomena identitas.
Doktrin No-self
Doktrin no-self, menyatakan sebagai cara untuk melepaskan keterikatan pada identitas diri yang solid. Identitas diri yang solid itulah yang menjadi akar penderitaan. Identitas diri yang solid berkebalikan dengan self atau individualitas. Self atau individualitas justru diperlukan berkenaan dengan tanggung jawab moral. Hal ini diingatkan oleh D.T Suzuki akan pentingnya self atau individualitas dalam masalah tanggung jawab, seperti misalnya perang yang menuntut adanya tanggung jawab moral dari seseorang.
Dalam “The Field of Zen” D.T. Suzuki mengemukakan: “Without self, there will be no individual; without an individual, there will be no responsibility. Without the idea of responsibility, morality ceases to exist; so the idea of self is deeply involved in our idea of moral responsibility …. We must in some way have a self, but when self is analyzed … and the senses and the intellect are taken away, no self exists.” (Ken Jones, 2003: 33).
Dalam pemahaman filsafat Buddha, baik menolak atau menerima self dapat mendatangkan kesalah-mengertian dan kebingungan. Sering terdengar konsep tentang no-self atau tiada diri, dimana konsep ini dikhawatirkan dan bisa disalahartikan sehubungan dengan tanggung jawab moral yang berlaku bagi seseorang atau individu. Berkenaan dengan identitas sosial misalnya, dimana seseorang bisa menenggelamkan dirinya atau individunya dalam kelompok sosial.
Anatta dalam bahasa Pali berarti “Bukan-Aku”. Sebagai konsep merupakan antipola dari kata Atta yang berarti “Aku”. Dalam falsafah Buddhis Anatta menunjukkan bahwa segenap hal-ihwal sesungguhnya tidak mempunyai inti yang tetap dan makna yang inheren dan langgeng.
Dalam praktik bersamadi Anatta ditunjukkan melalui pengamatan diri sendiri, dimana tubuh, perasaan, ingatan, pikiran, kesadaran dapat timbul dan lenyap, bergerak dan berubah tanpa kemampuan pengamat untuk menghentikan atau menciptakannya. Berkat pengamatan dalam samadi ini timbul pengetahuan bahwa proses-proses lahiriah dan batiniah ini berjalan sendiri di luar kehendak “aku”. Fakta ini diungkapkan dengan postulasi “tiada-aku”. (Wikipedia, 220223).
Anatta itu yang dimaksudkan dengan no-self, atau tiada diri yang solid dalam pandangan Buddhadharma. “In Buddhism, Anatta is the word for the priciple of no-self. The idea is that, if you pay close enough attention (typically through meditation), you will find no permanent or enduring essence to your nature.” (Wikipedia, 19 Feb 2020).
Tapi persoalannya, sunggguhkan tiada diri yang solid itu begitu mutlak. Tidak ada diri bukan berarti sama sekali tidak ada diri. “tidak ada diri.” “tidak, juga tidak pernah mengatakan itu.” (Bhikkhu Thanissaro, Trycycle, Semi 2014).
Diri dan Bukan-Diri
Bagi Sang Buddha persoalan tersebut harus disikapi dengan hati-hati. Sang Buddha mengklasifikasikan pertanyaan tersebut harus dijawab, berdasarkan seberapa membantu pertanyaan tersebut untuk mencapai pencerahan. Ketika Vacchagotta si pengembara menanyakannya secara blak-blakan apakah diri itu ada atau tidak, Sang Buddha tetap diam, yang berarti pertanyaan itu tidak memiliki jawaban yang membantu. Seperti yang kemudian ia jelaskan kepada Ananda, menjawab ya atau tidak untuk pertanyaan ini berarti berpihak ada pandangan salah ekstrem yang berlawanan (Samyutta Nikaya 44.10).
Ajaran Anatta atau tidak ada diri, tanpa diri merupakan salah satu upaya-kausalya Buddha untuk mengakhiri kemelekatan. Persepsi bukan diri digunakan untuk membongkar kecenderungan terhadap kemelekatan. Mengajar tanpa diri adalah sebuah jawaban bukan untuk pertanyaan apakah ada diri.
Identitas diri tidaklah harus dianggap sebagai kemelekatan terhadap diri atau identitas, sejauh identitas itu memang diperlukan untuk penanda, memudahkan komunikasi dan interaksi. Tiada diri adalah sebuah jawaban bagi Buddha, dimana dengan mengatakan no self adalah dimaksudkan untuk mengatasi kemelekatan atau kecenderungan keterikatan terhadap identitas. Identitas diri sesuatu yang wajar terbentuk sebagai kasus psikologis, budaya dan sosiologis, namun tidak secara esensial, substansial. Identitas diri bersifat fungsional dalam penampilan diri.
Beberapa cara menampilkan diri sendiri, yang ditemukan Buddha dan murid-muridnya, berguna di sepanjang jalan, seperti Anda mengembangkan kesadaran diri yang cermat dan bertanggung jawab, percaya diri bahwa anda dapat mengelola latihan (Anguttara Nikaya 4.159).
Diri atau bukan diri, adalah berkenaan sejauh mana untuk dapat diri berfungsi namun tiada kemelekatan. “Ketika tidak ada kemelekatan lagi, maka tidak membutuhkan persepsi tentang diri atau bukan diri. Anda melihat tidak ada gunanya menjawab pertanyaan apakah ada atau tidaknya diri Anda karena Anda telah menemukan kebahagiaan.” (Bhikkhu Thanissaro, Trycycle, Semi 2014).
Keyakinan bahwa tidak ada diri sebenarnya juga bisa menghalangi kebangkitan. Seperti yang Buddha catat, perenungan bukan-diri dapat menuntun pada pengalaman ketiadaan (MN 106). Baik diri maupun bukan diri dapat jatuh ke dalam pandangan ekstrim, kekekalan diri maupun ketiadaan diri. Sassatavada maupun ucchedavada.
Sang Buddha memperingatkan bahwa kemelekatan halus dapat bertahan dalam pengalaman “ketiadaan” itu. Jika seseorang merasa telah mencapai kebangkitan, maka ia tidak akan mencari kemelekatan. Tetapi jika seseorang belajar terus menerus mencari kemelekatan, bahkan dalam pengalaman kahampaan pun akan memiliki kesempatan untuk menemukannya. Hanya ketika seseorang menemukannya, ia dapat melepaskannya.
Mencermati Identitas Diri
Masalah identitas diri yang berkenaan dengan sosial ini sangat penting untuk dicermati. Memaknai diri yang tidak absolut bukan berarti melepaskan diri yang bersifat fungsional, fenomena diri yang berlaku secara psikologis dan sosiologis.
“Phenomenological sociology is hugely significant for Buddhism. It means that how we experience the world is not a creation of the self in isolation but is a social and historical undertaking. ‘The forms and also the extent of desire consciousness are not only personal to the individual in their origin but also socially inherited.’” (Ken Jones, 2003: 37).
Lebih jauh, bagaimana identitas yang juga tidak bisa dilepaskan dari warisan sosial. Bila identitas itu bergabung dalam politik akan membentuk identitas politik. Berikutnya bisa menjadi identitas lain, entah itu agama, kepercayaan, etnis, kedaerahan dan lainnya.
Penting disadari bahwa identitas juga dapat dijadikan sebagai pembentuk kekuatan politik, politik identitas. Pengelompokkan identitas dalam suatu kekuatan politik untuk sebuah perlawanan atau meraih kekuasaan yang rentan terjadinya konflik bedasarkan identitas.
Kemelekatan terhadap fenomena identitas yang partikular namun berlebihan yang dimutlakkan seperti kasus politik identitas akan mendatangkan bahaya. Kemelekatan terhadap identitas ini mungkin bisa dijawab dengan bahasa negatif dalam mengatasi keakuan, yaitu tiadanya identitas diri absolut, tiada aku, no-self.
Identitas yang berlebihan dalam kelompok juga dapat menghadirkan keakuan dalam kelompok, individualitas tenggelam dalam identitas kelompok. Identitas sesungguhnya bisa dalam makna yang positif. Dalam bahasa positif bahwa identitas diri kita ini hanya bagian kecil dari semesta diri universal yang sama dan satu dan karenanya kita semua perlu saling menyapa tidak saling memutlakkan atau meniadakan! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).