Oleh: Majaputera K
A. Intrik Pemilihan Pemimpin Masa Kini
Setiap kali menjelang pemilihan apapun, entah itu pemilihan pejabat, pemilihan direksi perusahaan, sampai tingkat pemilihan ketua OSIS, para calon pemimpin atau pejabat akan menjajakan program-program yang menjadi visi-misinya. ‘Jika terpilih saya akan….’ Narasi ini selalu kita dengar dan sialnya terkadang kita menjadi terpolarisasi dan membentuk kubu-kubuan, ingat adanya dikotomi cebong dan kampret? Itu di level besar, di level terkecil saja akan ada seperti itu, seakan menjadi kubu oposisi vs koalisi.
Ketika berkampanye mereka manis sekali, saya pernah mendengar dari salah satu direksi: ‘Nanti kita bakal punya ini, bakal jadi itu, pelanggan kita sekian menjangkau luar negeri dan sebagainya’ bahkan menawarkan programnya seakan menjadi jawaban dari revolusi industri yang kian maju. Wajah para calon pemimpin tersebut terpampang manis dan dipajang di mana-mana, di sosial media mereka mengkultuskan diri sebagai sosok yang ‘berkarisma’; ‘berkepedulian sosial’; atau bahkan terkesan ‘friendly namun terasa SKSD (Sok Kenal Sok Dekat)’
Dengan visi misi segudang tersebut, sudah lazim jika kita mempertanyakan bagaimana cara mereka akan merealisasinya. To be honest, its very easy to say ‘I Will….’ But its not easy to realized it! (Jujur saya, sangat gampang bilang ‘Saya Akan…’ tetapi tidak mudah untuk merealisasikannya). Ajaibnya beberapa tahun kemudian setelah terpilih dan diamanatkan, biasanya pada lupa atau bahkan pura-pura lupa akan semua janji-janji kampanye sebelum terpilihnya.
Ya, inilah realita yang lazim kita temui dan bukan hanya di dunia panggung politik, bahkan di dunia kerja, direksi, organisasi kemasyarakatan, yayasan sosial, bahkan tingkat pemilihan RT/RW ataupun pemilihan OSIS juga sama saja. Kita ada di masa di mana janji-janji pemimpin terpilih tidak selalu bisa dipegang! Terlebih mereka yang obral janji juga tidak punya rasa malu sama sekali!
B. Mempertanyakan ‘Dimana Urat Malu Mereka???’
Istilah urat malu merujuk pada rasa malu dan takut kalau kata-kata seseorang tidak dapat direalisasikan, maupun perbuatan seseorang tidak sesuai dengan predikat yang disandangnya. Kalau ditinjau dalam konsep Buddhisme ini disebut ‘Hiri-Ottapa’ yang mana Sang Buddha menyatakannya sebagai dua kualitas terang yang menjadi pelindung dunia (AN2.9. Cariya Sutta). Buddha menyatakan bahwa mereka yang tidak memiliki rasa malu dan takut adalah mereka yang mengucapkan kata-kata menyenangkan kepada teman-temannya namun tidak melakukan sesuai kata-katanya itu, Buddha memberikan orang seperti itu predikat ‘Seorang pembicara tanpa berbuat’ (Snp.2.3 Hiri Sutta).
Pertanyaannya kemana urat malu mereka? Oh jelas tertutup gengsi dong! Di masa Buddha ada bhikkhu Hatthaka yang sesumbar berdebat dengan pengikut sekte lain dan kemudian kalah, karena demi Jaim (Jaga image) dia rela sesumbar buat janji macam-macam dan giliran tiba waktunya lari dari tanggung jawab dengan berbohong dan berbuat curang (Vin.Bv.Pc1 Musāvādasikkhāpada). Apalagi di masa sekarang? Banyak sekali yang sesumbar demi gengsi dan mati-matian membranding diri, giliran implementasinya bagaimana nanti saja! Orang seperti ini termasuk orang-orang Toxic yang sebaiknya dijauhi dan tidak perlu dekat-dekat karena tidak bisa dipegang janjinya!
C. Mewaspadai dan Menjauh Dari Mereka
Keberadaan orang-orang toxic penjual visi-misi bisa ada di mana saja bahkan mungkin di dekat kita, akan menjadi masalah jika kita men-investasikan kepentingan atau menaruh harapan besar pada mereka. Tetapi jika memang kita terpaksa harus berhadapan dengan mereka, setidaknya kita harus segera mengetahui dan antisipasi jangan sampai terperdaya oleh janji manis dan bualan gombal mereka.
Biasanya, orang seperti mereka memiliki sifat Pembual dan Penjilat. Buddha menjelaskan kepada kita ciri-ciri seorang pembual adalah suka bicara berlebihan akan hal yang sudah berlalu, masa depan yang belum pasti, membuat omong kosong guna memancing empati, dan ketika diminta realisasi selalu kabur dari tanggung jawab; Sedangkan Buddha mengatakan seorang penjilat juga memiliki ciri-ciri: giat memuji di depan muka, namun mencela dibalik layar, serta gemar mengajarkan hal-hal buruk (DN31. Sigalovada Sutta).
Konfusius berkata bahwa pada masa dahulu orang-orang sukar mengucapkan kata-kata karena khawatir malu tidak dapat melaksanakannya (Lun Gi: IV:22), makanya ia mengajarkan untuk menjadi orang yang bersusila dan ucapannya dapat dipegang dengan cara mendahulukan pekerjaan baru kata-katanya disesuaikan (Lun Gi II: 13). Ciri-ciri orang yang bisa dipegang kualitasnya adalah mereka yang tidak banyak bicara janji macam-macam tetapi lebih banyak berbuat semaksimal yang mereka bisa, baru kemudian berkata-kata dengan menyesuaikan hasil usahanya sebagaimana adanya.
DAFTAR PUSTAKA
Thamrin, Chaidir. 2012. VINAYA-PIṬAKA Volume II (SUTTAVIBHAṄGA). Medan. Indonesia Tipitaka Center.
Suttacentral.net (online legacy version). 2015. Anguttara Nikaya. Legacy.suttacentral.net/an. Diakses Maret 2022.
Suttacentral.net (online legacy version). 2015. Sutta Nipata. Legacy.suttacentral.net/snp. Diakses Maret 2022.
MATAKIN. 2010. Su Si (Kitab Yang Empat). Jakarta. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).