Obrolan Kosong Taoisme Bersama Chuang Tzu (2) – Kesederhanaan Tanpa Bernama

Home » Artikel » Obrolan Kosong Taoisme Bersama Chuang Tzu (2) – Kesederhanaan Tanpa Bernama

Dilihat

Dilihat : 55 Kali

Pengunjung

  • 3
  • 0
  • 35
  • 30,966

Oleh: Jo Priastana

“The journey of a thousand miles begins with a single step”.

(Lao Tzu)

 

Kehidupan sederhana adalah yang terbaik karena cermin dari keselarasan. Maksud Chuang Tzu, seseorang yang selaras dengan Tao selalu memiliki kehidupan yang damai, bukan kekuasaan ataupun pengejaran duniawi. Seseorang yang selaras dengan Tao tidak menghabiskan waktu mereka untuk mengejar keuntungan. Mereka bahagia dengan diri mereka dan tidak menginginkan lebih banyak lagi, mereka menyadari kesederhanaan dan mengerti makna cukup.

 Dalam pekerjaan, mereka menyatu dengan pekerjaannya sehingga mereka lupa mengapa mereka melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan tanpa ego, tanpa memikirkan imbalan, dan hal ini justru membuat hasil pekerjaan mereka menjadi sangat baik. Mereka memisahkan diri dari benda-benda, karena mereka tahu bahwa hanya dengan demikian mereka bisa melihat orang lain dengan jelas.

Sebagian besar orang berusaha mencari pemenuhan, tetapi orang yang bijaksana ingin menjadi kosong, menjadi saluran bagi Tao. Karakteristik orang yang selaras dengan Tao, tidak memiliki rencana besar, namun merespons berbagai hal yang muncul. Orang yang selaras dengan Tao memiliki kegembiraan seorang anak dalam hidupnya dipadu dengan kebijaksanaan orang tua.

Saluran Jernih Bagi Cahaya

Seseorang yang selaras dengan Tao mengenali kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang tidak memiliki beban, tidak seperti manusia normal yang terus berayun antara dualisme, kegembiraan dan kesedihan, kemenangan dan kegagalan. Seseorang yang selaras dengan Tao melampaui situasi ekstrim dan hidup dalam keadaan “tindakan tanpa aksi”; artinya, tindakan dilakukan dalam keselarasan dengan Tao, bukan dalam rangka mengejar hasrat dan keinginannya sendiri.

Gagasan Chuang Tzu tentang manusia yang sempurna adalah seseorang yang tidak berusaha menjadi sumber cahaya bagi dunia. Mereka hanya berperan sebagai saluran yang jernih bagi cahaya itu, tidak peduli kapan dan di mana cahaya itu akan bersinar. Hal ini membutuhkan kerendahan hati yang total, menjadi sosok yang “kosong dan bersih”.

Orang seperti ini tidak menginginkan kekuasaan. Dalam bahasa yang sederhana, mereka tidak membiarkan diri mereka masuk ke dalam tren kehidupan. Mungkin orang menganggap mereka gila atau bodoh karena mereka mencari anonimitas, tanpa diri dikenal, tetapi mereka tahu bahwa inilah jalan kepuasan sejati.

Chuang Tzu (369 – 286 SM) mengingatkan, “jangan terjebak pada label; jangan memiliki rencana jahat; jangan beranggapan Anda yang menentukan kejadian; jangan bergantung pada pengetahuan. Pahami yang tak terbatas, dan mengembaralah tanpa jejak.”

Seseorang yang selaras dengan Tao, mencerminkan sifat Tao, tidak akan terlihat dan terdengar seperti seseorang yang istimewa, walaupun demikian mereka memiliki suatu kekuatan khusus. Tao memang sulit dikatakan atau dijelaskan, melampaui panca indera namun karakternya bisa dirasakan, dipahami secara intuitif dalam mengatasi fenomena dualitas kehidupan.

Meski tidak dikenal dan menjauhi keterkenalan, orang yang memahami Tao bebas dari ketakutan tentang bekerjanya dualitas dan siklus kelahiran dan kematian, nasib baik atau buruk. Mereka bisa hidup tanpa terlalu tenggelam dalam pencaharian hal-hal baik atau penghindaran hal-hal buruk. Kebahagiaan mereka datang dari ketenangan dan keterpisahan yang sempurna, karena mereka melihat segala sesuatu sebagai bagian dari sesuatu yang utuh, menyatu dengan tatanan alam semesta.

Percikan Taoisme

Chuang Tzu adalah tokoh mengagumkan yang membuka pintu masuk ke dalam kebijaksanaan China kuno Taoisme. Ia mampu menimbulkan percikan-percikan Taoisme yang membangkitkan minat terhadap Taoisme, dan tidak keliru bila dia dianggap the second Lao Tze tentang Taoisme. 

Chuang Tzu mengajak kita untuk mempertimbangkan bahwa alih-alih mencari pemenuhan duniawi. Ia menyarankan agar lebih baik mengolah pikiran yang kosong melalui kontemplasi dan meditasi agar kita bisa melihat dunia ini dengan lebih jelas, mengenali siapa diri kita dan apa yang perlu dilakukan di dunia ini.

Tao memang kosong dari definisi, melampaui segala penjelasan dan tidak bisa dibahasakan. Meski begitu, jika kita telah tertarik pada Tao ini, kita akan berkesempatan untuk terhubung dengan suatu kecerdasan yang jauh lebih besar dari kecerdasan kita sendiri. Selain itu, juga keterpukauan terhadap kehidupan yang maha besar.

Beranjak lebih dalam dan hidup berkualitas, kita tidak akan terpaku lagi pada pencapaian kehidupan yang semata mengejar kesuksesan dan kebahagian dunia sebagaimana orang pada umumnya yang juga datang dari aktivitas beragama. Sebaliknya, dengan melampaui pengejaran dunia itu justru dapat menjalani kehidupan di dunia dengan baik, bijak dan alami, hidup selaras dengan Tao sebagai kaidah, irama, penggerak alam semesta.

Memang tak akan sepenuhnya mampu mengobrolkan, menjelaskan atau menuliskan tentang Tao yang sepenuhnya kosong. Karena setiap kata yang terujar justru yang terjadi adalah peringatan-peringatan bahwa kata yang keluar ini bukanlah Tao yang sesungguhnya. Dengan begitu, kita jadi menyadari seberapapun penjelasan tentangnya, sesungguhnya bukanlah tentang Tao itu sendiri.

Mungkin orang perlu menyadarinya hanya sebagai percikannya saja dan itu pun andaikata merasa kena di hati, secara intuitif, selaras di jiwa atau malah justu menghadirkan segumpal kebingungan yang mencerdaskan dan mengundang rasa humor.

Tao yang kosong namun berisi sepenuhnya bagaikan gelas atau piala kosong yang mampu menampung dan berisikan puncak-puncak prestasi. Kearifan dari kesunyataan kekosongan atau Tao ini, persis apa yang diungkapkan oleh pujangga Jawa beken, Ranggawarsito sebagai “suwung sakjatining isi,” Hampa (tapi) sebenarnya isi.

Hari menjelang malam. Obrolah kosong Taoisme di cafe toko buku itu pun, pada akhirnya tidak memberikan kesempatan terealisasinya rencana semula untuk melihat buku-buku yang berhamparan di lima lantai toko. Di ujung tahun itu, pada akhirnya tidak lagi diperlukan buku-buku baru untuk dibaca, namun hanya pertemuan dan obrolan kosong Taoisme yang terasa tanpa akhir.

Obrolan kekosongan yang tidak bertepi namun terasa kena dihati. Oborolan kosong yang hanya terasakan di hati dan selaras di jiwa sebagaimana tercermin dalam senyum, dan hanya dalam saling tatapan mata serta lambaian tangan yang tanpa perlu lagi kata-kata berpisah. Tidak berkata-kata lagi, karena tak ada yang dapat dikatakan.

Senja di ujung tahun itu pun siap menghantar kontinuitas perubahan, hari baru dan tahun baru serta jiwa baru yang siap mengisi hari-hari kosong. Omong kosong yang tidak membuat ciut untuk selalu membicarakannya atau berendam lama dalam diam, serta tidak membuat langkah surut dalam menempuh kehidupan, karena segalanya adalah kebaruan. Selamat Tahun Baru 2023! (JP) ***

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)

Bacaan:

Tom Butler-Bowdon. 2005. “50 Spiritual Classics”. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Toshihiko Izutsu. 2015. “Taoisme: Konsep-Konsep Filosofi Lao-Tzu dan Chuang-Tzu serta Perbandingannya dengan Sufisme Ibn ‘Arabi.” Jakarta: Mizan

Sachiko Murata. 1998. “Tao of Islam.” Bandung: Mizan.

Leman. 2007. “The Best of Chinese Life Philosophies.” Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

H.G. Creel. 1990. “Alam Pikiran Cina.” Jakarta: Tiara Wacana

Lim Tji Kay, Penerjemah.  2007. “Kitab Tao Te Ching.” Jakarta: Bakti

Stepehn T. Chang.  1985. “The Great Tao.” San Franscisco, Califirnia: Tao Publishing.

gambar: https://fr.m.wikipedia.org/wiki/Zhuangzi_(livre)#/media/Fichier%3AZhangzi_in_front_of_waterfalls.jpg

Butuh bantuan?