Oleh: Jo Priastana
“Yang utama adalah membuat sejarah, bukan menulisnya”
(Otto von Bismarck, Kanselir dan Perdana Menteri Jerman)
Kampung Bali, Tanah Abang Jakarta di hari Minggu awal tahun 1970-an. Ke situlah seorang anak sekolah dasar mengayuh sepedanya untuk mendapatkan sebuah gambar Sang Buddha dalam bentuk foto. Alamat yang kemudian diketahui sebagai tempat kediaman Pak Oka Diputhera itu diperoleh anak sekolah itu dari buku pendidikan Agama Buddha “Sasanavada” yang disusun oleh Pandita Dharmesvara Oka Diputhera B.A.
Begitulah, salah satu aktivitas Oka Diputhera dalam kiprahnya membangkitkan kembali agama Buddha setelah keruntuhan keprabuhan Majapahit. Ia yang kemudian dikenal sebagai tokoh Buddhadharma nasional ini menyusun dan menerbitkan sendiri buku pelajaran agama Buddha yang dipergunakan di sekolah-sekolah waktu itu.
Selain itu, ia sendiri melakoni sebagai guru agama Buddha di sekolah sampai universitas dan sekolah-sekolah angkatan. Disamping menjalani kariernya sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Agama, ia juga melakukan keaktifannya dalam pembentukan masyarakat Buddhis melalui dukungan dan perannya di berbagai organisasi Buddhis.
Pendidikan Agama Buddha
Anak sekolah dasar negeri yang datang ke tempat kediamannya, meski tidak dapat berjumpa dan memperoleh apa yang diinginkannya – karena Pak Oka waktu itu sedang pergi piknik ke Ragunan Kebun Binatang bersama keluarganya dengan mengendarai sepeda motor Vespanya – mungkin hanya sekelumit kecil dari jasa dan pengaruh yang terpancar dari buku pelajaran agama Buddha “Sasanavada” yang disusunnya.
Kiprah Oka Diputhera yang memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Oka Diputhera dalam membangkitkan kembali agama Buddha di Nusantara dilakukan dalam berbagai bidang. Seakan menyadari bahwa kebangkitan kembali agama Buddha ini harus disertai dengan adanya berbagai institusi dan sarana yang mendukungnya, maka ia pun berkarya-dharma pula dalam pendidikan agama Buddha dan siar agama Buddha.
Ia juga menyusun dan menerbitkan buku-buku pendidikan agama Buddha, untuk segala tingkatan seperti Sasanavada, Buddhavada maupun perguruan tinggi. Ia juga seorang guru dan dosen agama Buddha di beberapa perguruan tinggi swasta dan pendidikan di lingkungan angkatan, seperti di Sesko Angkatan Udara, Sesko Angkatan Laut, Sesko Angkatan Darat dan Sekolah Pimpinan Kepolisian (Sespimpol).
Oka Diputhera juga berperan dalam berdirinya sejumlah institusi pendidikan tinggi agama Buddha. Ia membidani beberapa perguruan tinggi agama Buddha seperti Sekolah Tinggi Agama Buddha, diantaranya Nalanda di Jakarta yang diawali dengan kepemimpinan Bapak Mulyadi Wahjono, Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Mpu Tantular Banyumas Jawa Tengah dibawah kepemimpinan Bapak Cipto Wardoyo, Institut Ilmu Agama Buddha (IIAB) Smaratungga Ampel Boyolali dibawah pimpinan Ibu Dr. Parwati Soepangat, M.A. dan Institut Buddha Dharma Indonesia (IBDI) Medan dibawah pimpinan Bapak Harsa Swabodhi, M.A.
Atas prakarsa Bapak Drs. Oka Diputhera sebagai Direktur Urusan Agama Buddha, keempat pendidikan tinggi ini bersatu untuk menggagas Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Perguruan Tinggi Agama Buddha di Wisma YPI Ciawi Bogor pada tahun 1990 sehingga ada kesamaan pengajaran dan lulusannya dapat diakui. GBPP ini entah apakah sampai saat ini masih berperan?
Kiprahnya di dunia pendidikan Buddhis pun berlanjut pada pendirian sekolah umum. Ia turut andil dalam berdirinya Sekolah Atisa Dipamkara di daerah Karawaci Tangerang. Sekolah ini menyelenggarakan pendidikan umum dari tingkat TK, SD sampai SLTA dengan berlandaskan dan bernafaskan nilai-nilai Buddhis.
Dalam dunia pendidikan agama Buddha, Oka Diputhera yang merupakan seorang sarjana pendidikan lulusan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini menyusun kurikulum pendidikan agama Buddha dari tingkat SD, SMP dan SMA dan meletakkan prinsip pedagogisnya dalam tiga core pendidikan agama Buddha yaitu: sraddha, sila dan bhakti.
Sraddha, Sila dan Bhakti
Oka Diputhera telah berjasa dalam bidang pendidikan agama Buddha, sebuah bidang yang sangat mendasar dan strategis bagi kesinambungan agama Buddha dan mewujudkan masyarakat yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan nilai-nilai Buddhis.
Oka Diputhera sendiri dalam rangka penyelenggaraan pendidikan agama Buddha, khususnya didalam penyusunan kurikulumnya, sesungguhnya telah meletakkan sesuatu yang mendasar dan amat sangat berarti, yakni pendidikan agama Buddha yang didasari oleh tiga aspek: Sraddha, Sila, dan Bhakti.
Namun amat disayangkan, apa yang diletakkannya ini dan sangat berarti bagi dunia pendidikan nilai-nilai keagamaan Buddha ini telah tidak diperlakukan dan diindahkan lagi. Sebagai sarjana pendidikan, ditambah kiprahnya di lapangan sebagai pendidik, Oka Diputhera tampaknya sangat memahami bagaimana menyampaikan ajaran agama dalam konteks pendidikan yang memerlukan berlandaskan pada prinsip dan nilai-nilai pedagogik.
Dialah guru agama Buddha dengan perspektif pedagogis sebelum munculnya guru agama Buddha generasi penerusnya yang cenderung dogmatis-tekstual. Dialah guru dari guru dalam dunia pendidikan agama Buddha. Tapi sayang apa yang diletakkannya bagi pendidikan agama Buddha yang sesuai secara pedagogik itu kini telah diabaikan.
Menjadi pertanyaan, apakah tanpa tiga aspek dasar sebuah pendekatan pedagogik pelajaran agama Buddha itu, anak-anak sekolah kini menjadi siswa-siswa yang lebih BERKEYAKINAN, BERSUSILA dan BERBHAKTI? Atau setidaknya bagaimana dengan sikap bakti seorang murid, kepada gurunya, Bapak Oka Diputhera?
Di senja usianya, tokoh ini berharap ada guru generasi penerus yang mengundangnya ke sekolah. Tokoh ini rindu melihat anak-anak sekolah belajar agama Buddha dan sesungguhnya juga ingin menyaksikan dan melihat sendiri, apakah siswa-siswa Buddha di sekolah kini sungguh-sungguh menjadi BERKEYAKINAN, BERSUSILA dan BERBHAKTI?
Apakah konsep pedagogisnya tentang sraddha, sila dan bhakti yang melandasi pendidikan Buddhis itu masih diberlakukan? Jangan-jangan malah sudah tidak dikenali. Lalu bagaimanakah dengan anak-anak Buddhis kita dewasa ini yang memperoleh pendidikan agama Buddha, apakah semakin lebih berkeyakinan, bersusila dan berbhakti?
Menggemakan Siar Agama Buddha
Tidak banyak media elektronik di tahun 1970an. Yang ada hanya TVRI, radio RRI yang menyiarkan Mimbar Agama Buddha. Saat itu, dalam media siaran agama Buddha di RRI maupun TVRI, masyarakat luas pasti akan mengenali wajah Oka Diputhera yang kerap tampil dengan suara khasnya memperkenalkan ajaran agama Buddha.
Pada waktu itu mungkin hanya Oka Diputhera sajalah, orang Buddha yang dikenal luas masyarakat Indonesia. Itu karena hanya ada media TV satu-satunya dimana dia bersiaran ataupun tampil di berbagai forum pertemuan.
Bahkan masyarakat pun mungkin hanya mengenal buku agama yang disusun oleh beliau karena langkanya buku agama Buddha waktu itu. Tampaknya, ia menjadi selebritas Buddhis satu-satunya yang dikenal luas se-Nusantara waktu itu. Ia menguasai satu-satunya siaran agama Buddha di media TV yang ada yaitu TVRI saat itu.
Kemampuannya berpidato, berbicara dan tampil mumpuni, menjadikannya kerap dipergunakan sebagai juru bicara partai dalam setiap datangnya Pemilu. Masih terngiang di telinga bagaimana ia berkampanye yang begitu menarik umat Buddha ketika dalam pidato kampanyenya itu ia mengindentikkan umat Buddha yang memiliki jalan tengah dan jubah berwarna kuning untuk mencoblos gambar partai berwarna kuning yang ada di tengah.
Kiprahnya di ranah politik ini memang tidak sia-sia, karena dia pun sempat menjadi anggota MPR RI di tahun 1997 meski jabatan ini tak lama disandangnya, seturut lengsernya Presiden Soeharto di tahun 1998. Dialah orang ketiga dari kalangan Buddha yang menjadi anggota MPR setelah Bapak Eko Sasongko dan Bhikkhu Girirakkhito.
Dalam setiap mimbar agama Buddha yang dibawakannya, Oka Diputhera berceramah mengenai pelajaran agama Buddha. Meski hanya sedikit istilah teknis atau konsep dalam agama Buddha yang meluncur dalam ceramah-ceramahanya, tampaknya ia juga memahami dan menghayati Buddhadharma dan sejarah agama Buddha khususnya sejarah agama Buddha yang berkembang di Nusantara.
Dengan suaranya yang khas dan menarik, banyak juga orang yang terpikat dan mendengarkan ceramahnya, apalagi agama Buddha waktu itu masih baru terdengar, media TV hanya satu. Ada juga dalam siaran Buddhanya, Oka Diputhera menuangkannya dalam pementasan drama Buddhis. Dalam pentas drama ini kerap dia sendiri menjadi aktornya yang didukung isterinya, seperti fragmen Kisa Gotami Segenggam Biji Lada, dan Damai di Malam Waisak yang menarik dan cukup menggugah hati.
Memiliki nama kepanditaan Pandita Dharmeswara, Oka Diputhera yang dikenal sebagai publik figur Buddhis ini juga telah sejak muda aktif dalam memberikan ceramah di vihara-vihara. Kamampuannya menguasai panggung dan penampilannya membuat ia banyak dikenal dan juga dekat dengan dunia pers. Ia juga menuangkan siar Buddha dalam media cetak dan memiliki minat besar menangani media Buddhis.
Sejumlah majalah Buddhis pernah ditanganinya seperti “Berita Agung,” majalah “Walubi” dan lainnya. Penulisan artikel agama Buddha di surat kabar juga kerap dilakukannya. Selain buku pelajaran agama Buddha yang ditulisanya, ada beberapa buku mengenai kebangkitan agama Buddha yang dihasilkannya, seperti “Agama Buddha Bangkit” (2006) yang kemudian dimodifikasi dan diterbitkan kembali dengan judul “Agama Buddha Berkembang di Indonesia” (2010).
Semasih menjabat sebagai Direktur Urusan Agama Buddha, ia juga berperan dalam diadakannya penyelenggaraan Swayamvara Dhammapada di tahun 1998. Kegiatan budaya membaca kitab suci agama Buddha secara indah dan benar ini kini telah menjadi tradisi, dan menggejala di berbagai komunitas muda umat Buddha di seluruh Indonesia.
Sepanjang tahun, kegiatan mendekatkan anak-anak kepada kitab suci ini dijadikan perlombaan secara berkala dan nasional. Sebuah kegiatan yang membudaya dan turut menyemarakkan dinamika dunia anak-anak Buddhis dalam berbuddhadharma. (JP) ***
(Sumber: Tabloid Cen Fo Indonesia, April 2011)
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://bimasbuddha.kemenag.go.id/direktur-urusan-agama-buddha-periode-1980–1990-artikel-34.html