Ditulis oleh: Gifari Andika Ferisqo (方诸德)
Karl Marx dalam analisisnya pernah menuliskan kalimat “die religion, ist das opium des volkes” yang berarti agama adalah opium bagi masyarakat. Selama permulaan karirnya sebagai penulis dan jurnalis, Karl Marx banyak menulis tentang agama, meskipun dia tidak terikat dalam agama apa pun secara pribadi. Oleh karena itu, tidak tepat untuk mengatakan bahwa Karl Marx adalah seorang pemikir yang anti agama. Dia tertarik pada kritik agama yang radikal oleh Bruno Bauer dan terutama Ludwig Andreas von Feuerbach, yang mendorongnya untuk memasukkan gagasan tentang agama. Marx menemukan pada saat itu adanya hubungan ‘kotor’ dan menyadari serta geram dengan fakta bahwa para penguasa menggunakan agama untuk mendorong rakyat untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Karl Marx adalah seorang pemikir dan teoris yang memegang filsafat materialisme dibandingkan idealisme, menurutnya, masyarakatlah yang membentuk agama.
Contoh mudahnya seperti ini, pernahkah anda berpikir, mengapa orang yang baru pulang dari mendengar ceramah agama, serta ritual lain yang sangat intensif wajahnya menjadi ceria? Jika dilakukan melalui penelitian, orang yang seperti itu secara fisiologis sedang mengalami religious experience. Menurut penelitian yang dikemukakan oleh kepala penelitian Marcus Institute of Integrative Health dan dokter di Thomson Jefferson University Hospital, Andrew Newberg, menggunakan (SPECT) single-photon emission computed tomography. Dalam penelitiannya, Newberg menemukan beberapa bagian otak yang teraktivasi pada saat seseorang berdoa atau bersamadhi yakni bagian attention (perhatian, konsentrasi) dan bahasa. Sementara bagian otak lain seperti orientasi yang mengarahkan kita pada ruang dan waktu justru mengalami penurunan aktivitas. Masih menurutnya, ini menunjukkan bagaimana meditasi dapat memblokir sensor dan pikiran kita dari persepsi ruang dan waktu sementara di sisi lain meningkatkan aktivitas komunikasi dan attention.
Dalam penelitian tersebut juga menemukan bahwa pengalaman agamis memberikan ‘manfaat’ personal di luar peniliaian apakah doa atau harapan kita termanifestasikan atau tidak. Dalam studi mengenai hubungan antara rasa sakit dan doa atau pembacaan mantra dan sebagainya, ditemukan bahwa mereka yang mengalami pengalaman agamis merasakan tingkat rasa sakit yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak mengalami pengalaman tersebut. Ini menjelaskan bagiamana bagian motivasi dan penilaian di otak kita menjadi sangat aktif pada saat mengalami pengalaman yang bersifat agamis. Bagian otak ini juga merupakan bagian otak yang sama saat kita mengalami kenikmatan berhubungan kelamin, mengonsumsi narkoba atau makan coklat. Temuan ini sebelumnya menunjukkan hubungan antara hormon dopamin atau senyawa kebahagiaan, dengan pengalaman spiritual dan respon emosional terhadap meditasi, penemuan ini setidaknya mengonfirmasi penelitian tersebut.
Selain itu, penelitian yang berbeda menemukan bahwa ada korelasi antara tingkat keagamisan seseorang dan tingkat testosteron dalam tubuh seseorang. Aniruddha Das dari McGill University menyatakan bahwa orang dengan kadar testosteron tinggi cenderung kurang agamis dibandingkan dengan orang dengan kadar testosteron rendah.
Kembali ke pertanyaan semula, mengapa orang rata-rata bahagia sepulang dari tata ritual keagamaan? Itu disebabkan karena hormon dopamin atau senyawa kebahagiaan yang meningkat masuk ke otak. Hormon ini tidak bertahan lama, dan untuk membuat perasaan tenang, bahagia, dan sejuk, seperti habis mengonsumsi narkoba dan ini harus diulang secara teratur. Otak melihat sistem ini dan menganggap pengalaman agamis sebagai kesenangan, dan bergantung padanya (kecanduan).
Kecanduan Agama Menurut Abhidhamma
Psikologi Buddhisme yang tercatat dalam Abhidhamma menjelaskan pengetahuan tentang manusia yang memungkinkan kita memahami diri sendiri dan memahami tindakan, pikiran, perasaan, keputusan, dan sebagainya. Manusia terdiri dari batin dan badan jasmani, batin sendiri terdiri dari komponen mental, perasaan, pencerapan/persepsi/memori atau ingatan, dan kesadaran/pikiran. Ketika keduanya bergabung dan saling mempengaruhi, fenomena batin muncul, yang dapat menyebabkan tindakan atau interaksi terhadap lingkungan. Serangkaian kesadaran dan pemikiran yang muncul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dan respon yang ditimbulkannya dikenal sebagai fenomena batin.
Sehubungan dengan pemahaman bahwa Abhidhamma menerangkan cara pikiran bekerja dengan proses berpikir dan faktor mentalnya, maka dapat dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan sistem psikologi; berhubungan dengan pikiran, materi, kesadaran, sifat material dan aspek mental. Sistem saraf manusia dapat menangani jumlah data yang tak terbatas, sedangkan indra berfungsi sebagai penghubung antara pikiran dan lingkungan luar. Lalu menerima rangsangan dan menerjemahkannya ke dalam impuls saraf yang kemudian dikirim ke otak. Setelah itu, otak memproses data ini dan menggabungkan bagian-bagian yang relevan untuk membuat pemikiran. Pemikiran ini dapat dikomunikasikan melalui bahasa atau disimpan dalam memori untuk digunakan di masa depan.
Pikiran dan perilaku kita dipengaruhi oleh emosi dan ingatan, demikian yang diuraikan dalam Abhidhamma. Emosi (vedanā/वेदना = perasaan) dan ingatan (saññā/सञ्ञा = pencerapan, persepsi, memori, penyimpanan, dan gudang) berpengaruh kuat satu sama lain. Dalam Buddhisme, kepribadian manusia dikondisikan dan dipertahankan oleh aktivitas kesadaran dan akibatnya, karakter seseorang juga ditentukan oleh kesadaran. Itu menjelaskan secara terperinci mengapa batin terkadang buruk dan terkadang baik, terkadang sedih, terkadang gembira, terkadang jahat, terkadang mulia, dan sebagainya.
Menurut Abhidhamma dalam menanggapi sikap terhadap kecanduan agama tersebut ada beberapa faktor yang mempengaruhi salah satunya adalah vedanā (वेदना), yang memiliki obsesi mendasar atau anuśaya (अनुशय). Seperti sifat kesenangan, keinginan, penolakan, dan yang bersifat tidak menyenangkan, serta kecanduan dari ketidaktahuan. Lalu ada saññā (सञ्ञा) yaitu mencatat dan berfungsi mengenali apa yang telah dicatat sebelumnya, yang mana fungsinya mirip kaset yaitu sebagai media penyimpanan dan pemutar ulang. Di sinilah orang yang agamis harus mengulang-ulang ritual dan tradisi agamanya untuk mendapatkan kegiuran atau batin yang bahagia, dan mempengaruhi ke bagian tubuh lain seperti kesehatan tubuh semisal darah yang kotor menjadi bersih karena produksi oksigen pada jantung kiri meningkat. Ini juga berhubungan dengan meningkatnya hormon dopamin (senyawa kebahagiaan) yang mana hormon ini bekerja dengan memberi respon pada saraf penglihatan atau cakkhupāsada (चक्खुपासाद).
Namun, produksi dari hormon dopamin yang berlebihan juga berbahaya yakni terjadinya risiko skizofrenia dan kelainan bipolar. Kedua gangguan tersebut dapat menyebabkan kelainan mental yang berbahaya jika tidak segera ditangani, atau dalam konteks orang yang agamis akan menjadi fanatik dan bodoh karena ketidak bijaksanaannya. Sama seperti orang yang kecanduan narkoba bila dikonsumsi secara terus-menerus akan menyebabkan overdosis bahkan meninggal dunia, karena narkoba sejatinya adalah obat yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit dengan dosis yang secukupnya. Namun, jika kekurangan hormon ini pun dapat menyebabkan saraf otak tidak dapat bekerja dengan efektif dalam mengirimkan sinyal, akibatnya dapat mengganggu aktivitas otak dalam mengatur berbagai fungsi kognitif dan motorik tubuh.
Konklusi
Prinsip kunci dalam Abhidhamma untuk mencapai kesehatan mental adalah penghambatan timbal balik dari faktor-faktor mental yang tidak sehat dengan yang sehat, yang memurnikan batin. Dengan demikian kesehatan mental adalah tidak adanya faktor yang tidak sehat dan adanya faktor sehat dalam kondisi mental seseorang. Sangat sedikit manusia yang hanya mengalami kondisi mental yang sehat, dan inilah tepatnya tujuan dari pengembangan psikologis dalam Abhidhamma, agar kita hanya memiliki faktor yang sehat saja, yang memurnikan batin. Kemudian dengan latihan meningkatkan kesehatan biologis, fungsi dan kesejahteraan psikologis, dan kebangkitan spiritual. Menenangkan pikiran, meningkatkan kesadaran, membuka hati, dan mengurangi keterikatan adalah empat praktik umum. Kemelekatan mental terhadap sesuatu, seperti persepsi, ritual, harapan, opini, asumsi, gambaran diri, dan model realitas, dikenal sebagai keterikatan yang menjadi cikal bakal kecanduan agama atau bahasa populernya ‘mabok agama’.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
- Bodhi, Bhikkhu. 2012. A Comprehensive Manual of Abhidhamma. Washington. BPS Pariyatti Editions.
- Compton, William. 2012. Eastern Psychology: Buddhism, Hinduism, and Taoism. North Charleston. Create Space.
- Davids, Caroline A.F. Rhys. 2016. A Buddhist Manual of Psychological Ethics. Oxford. The Pali Text Society.
- Kaharuddin, Pandit J. 2011. Abhidhammatthasangaha. Tangerang. Vihara Padumuttara.
- Mikulas, William L. 2005. Integrating the World’s Psychologies. Culture, Psychotherapy, and Counseling. SAGE Publications. Lesley University, USA.
- Spielman, Rosie M. 2017. Psychology. Texas. Open Stax Rice University.
- Watts, Allan. 2017. Psychotherapy East & West. California. New World Library.
- Harriman, P. L. 1995. Handbook of Psycology (Terjemahan). Restu Agung.
- Gambar: https://www.redbubble.com/i/notebook/Buddha-and-Demon-by-MorningFive/125754480.WX3NH. Diakses 26 Juni 2024.