Oleh: Majaputera Karniawan
Catatan: Ini adalah hasil percakapan secara emik antara saya dan seorang umat pengunjung Wihara Dhanagun, saya hanya menceritakan balik kata-katanya, meski kebenarannya belum dapat saya pastikan 100%, disini saya hanya ingin menarik persepsinya, yaitu adanya praktik begal spiritual yang mungkin ada di sekitar kita, dimana saja, lalu dengan nilai-nilai Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme berusaha mencegah hal ini terjadi lagi.
Minggu, 21 Maret 2021, saya mengunjungi Wihara Dhanagun (Hok Tek Bio 福德廟) yang berada di Jalan Suryakencana Kota Bogor. Sambil menunggu berhentinya hujan dan seorang Biokong tua bangun untuk meminta salinan resep ciamsi obat dewa Hok Tek Ceng Sin, saya berbincang dengan seorang Ncek (laki-laki yang belum terlalu tua dalam penyebutan Hokkian) berusia 64 tahun.
Ia adalah umat wihara tersebut yang menyempatkan diri datang ke wihara selagi hari Minggu, hari dimana usaha toko miliknya tutup. Ia menceritakan pengalamannya kepada saya ketika pergi ke tempat-tempat spiritual baik wihara besar atau tempat pemujaan.
Dia bercerita pernah pergi ke satu wihara dan satu kelenteng besar, keduanya masih di pulau Jawa (nama dan lokasi dirahasiakan) dimana di kedua tempat besar tersebut fungsi ekonominya sudah berlebihan, mengarah pada pemerasan spiritual. Betapa tidak, hampir semua serba bayar dan mahal. Ia menceritakan bahwa jika sembahyang di satu altar bayar sumbangan (ada yang meminta), pindah altar bayar lagi.
Masuk bayar, belum lagi jika menggunakan bantuan dari oknum masyarakat sekitar, harganya bisa naik gila-gilaan, sewa angkot 8 orang bisa Rp 150.000,- misalnya (karena Bus besar tidak dapat masuk ke lokasi) dan apabila lebih dari 8 orang harus cari angkot lain. Secara tidak langsung, kelenteng dan wihara tersebut perlahan-lahan menjadi area begal spiritual, karena semuanya dikomersilkan sehingga fungsi sosialnya nyaris hilang.
Ada lagi satu tempat pemujaan yang terkenal di daerah Jawa, si Ncek berkisah bahwa tahun 1995 ia ke sana. Sebelumnya ia menginap di hotel dan ia berbicara dengan temannya di kamar hotel “Dengar-dengar di sana ada tempat pemujaan, tapi orang-orang di sana terkenal morotin orang, kita jangan kalah akal sama mereka, kita bilang saja kita bukan beragama Buddha/Khonghucu dan cuma mau lihat-lihat saja” dan mereka semua setuju dengan rencana itu.
Rupanya rencana tersebut sudah didengar dua pemuda setempat yang menjadi pekerja cabutan di hotel tersebut. Besoknya ketika baru bangun mereka amat terkejut ketika ditanya oleh kedua pemuda tersebut “Koh, jadi ke tempat pemujaan?”, Niatnya mereka tidak mau mengajak kedua pemuda tersebut, tetapi karena sudah ditodong dan ada mereka ada di daerah orang, mereka mengiyakannya (tentunya harus bayar mereka). Setelah itu karena tempatnya jauh, si Ncek tanya ke pemuda itu: “Berapa lama ke sana?” “Jauh pak, 2 jam jalan kaki ke atas”, mereka sarankan untuk naik kuda.
Ketika itu kenalan dari pemuda itu menawarkan beberapa kuda untuk disewakan, per kudanya cukup mahal (saya lupa harganya). Tetapi si Ncek dan rombongannya sadar sedang diakali, ia pun bilang “Gapapa jalan saja pak, kami di Bogor biasa Hiking (Naik Gunung)”. Akhirnya mereka hanya jalan kaki selama 25 menit dan sudah sampai lokasi.
Sampai di sana, ia mohon izin kepada kuncen untuk melihat-lihat, sesuai rencana ia mengaku bukan beragama Buddha/Khonghucu. Setelah selesai melihat-lihat, ketika berpamitan, si kuncen mencegahnya pulang sebelum ia melakukan tabur kembang. Mereka pun tabur kembang sebanyak dua bungkus.
Setelahnya mereka kembali dicegat dan ditagih biaya fantastis untuk dua bungkus kembang tersebut. 1 bungkusnya Rp50.000,- dan setengah mengancam kuncennya “Ya gapapa anda gak bayar, tapi biasanya yang gak bayar celaka, ya ketubruk mobil, ya kecelakaan, dan lain-lain”. Akhirnya si Ncek dan rombongan yang sudah kalah akal tersebut terpaksa bayar ke si kuncen, karena lagi-lagi mereka ingat sedang ada di kampung orang.
Dalam perjalanan pulang, mereka melihat dua orang Ama-Ama (Wanita tua dalam bahasa Hokkian) lagi dikerjain penduduk sekitar ketika berteduh dibawah pohon Sien Tho (buah dewa), padahal pohonnya ditarik dari jauh oleh salah satu komplotannya, kedua Ama itu melihat pohonnya bergerak-gerak dan kejatuhan beberapa helai daun Sien Tho.
Salah satu kuncen di sana bilang “Wahh ini Hoki besar, satu banding 100 orang yang bisa begini disini, ibu pulang bisa ketiban Hoki, jadi baiknya Ibu beli beberapa besek dan persembahkan di sini” dan bisa di duga pasti mahal harga per-beseknya.
Ini adalah sebagian dari kisah begal spiritual yang banyak terjadi. Kini terjadi dengan berbagai macam cara, baik offline maupun online (cara modern), menggunakan janji-janji dan paket-paket yang tidak masuk akal. Cirinya adalah mereka membuat masalah/mengkondisikan suatu keadaan dan mereka juga menawarkan solusinya dengan anda harus menyumbangkan ini dan itu. Bagaimana rasanya jika anda diajak berbicara tetapi setengah memaksa untuk mengeluarkan uang dan berdonasi kepada mereka?
Bahkan di tempat-tempat yang seharusnya menjadi tempat mengadu kepada mereka yang adi kodrati atau memuaskan afeksi spiritual, mereka justru mendapati uang mereka dibegal oleh para begal spiritual, pelakunya mulai dari orang biasa bahkan hingga orang pintar yang biasa dipanggil mbah/suhu.
Sebenarnya tidak salah menawarkan jasa spiritual asal tidak ada paksaan maupun setengah memaksa. Memang semua butuh makan, tetapi bukannya seperti sales jualan spiritual menjanjikan iming-iming ini itu dengan harga jasa selangit terlebih hasil nihil.
Kejadian begal spiritual juga terjadi di Era Bodhisatta, tercatat kata-kata Bodhisatta dalam Jātaka Aṭṭhakathā 543, Bhūridatta Jātaka, bagaimana ia sangat antipati kepada para pelaku begal spiritual. “Si pemberi persembahan lugu hatinya lagi berkecukupan, datang dengan dompetnya. Mereka langsung mengelilinginya dengan cepat, seperti gagak mengelilingi burung hantu ketika hendak mencelakainya. Pada akhir meninggalkannya dalam keadaan papa dan telanjang, emas padat yang sebelumnya ia miliki ditukarkan dengan janji-janji yang tiada seorangpun bisa uji. … mereka merampok apa pun yang dipandang dengan mata yang jahat, tiada hukum yang mengutuk mereka, namun mereka pantas mati.”
Barangkali, sebagian kita masyarakat Tionghoa yang masih memegang tradisi sembahyang lupa kepada siapa kita harus bersembahyang, bahkan yang seharusnya tidak kita sembahyangi malah dikejar karena keserakahan kita, sementara wihara/kelenteng dekat sunyi-sepi atau bahkan altar di rumah sendiri terbengkalai, sehingga praktik-praktik seperti ini terjadi. Lalu kepada siapa kita harus bersembahyang?
Berdasarkan kitab Li Ji 禮記 (Catatan Kesusilaan) Buku ke-20 祭法 – Ji Fa, Hukum Sembahyang Cee Hwat, bagian 8 dinyatakan kepada siapa sembahyang harus dilakukan berdasar peraturan para raja suci (Sheng Wang/Seng Ong) tentang upacara sembahyang, sembahyang dilakukan kepada: (1) Orang yang menegakkan hukum bagi rakyat; (2) Kepada orang yang gugur menunaikan tugas; (3) Kepada orang yang telah berjerih-payah membangun kemantapan dan kejayaan negara; (4) Kepada orang yang dengan gagah dan berhasil menghadapi dan mengatasi bencana besar; dan (5) Kepada orang yang mampu mencegah terjadinya kejahatan/penyesalan besar.
Sementara dalam tradisi Tiongkok, leluhur juga disembahyangi anak cucunya sebagai wujud rasa bakti, lebih-lebih leluhur (yang telah lewat masa berkabung 3 tahun) telah dipandang sebagai dewa keluarga (Jia Shen 家神). Lebih lanjut kita perlu memahami sifat hakiki para suci (聖人 Sheng Ren/Seng Jin) sebagaimana kata-kaata Laozi:
1. “Alam semesta dan orang suci menganggap semua manusia adil sama rata bagaikan boneka anjing yang terbuat dari rumput merang (batang padi) …” (道德經 Dao De Jing Bab 5). Maksudnya adalah mereka tidak pilih kasih dalam melakukan pelayanannya, memberikan kebebasan sebesar-besarnya bagi manusia untuk berkembang secara alamiah bukan dengan kesewenang-wenangan. Mereka mendidik manusia dengan memberikan keteladanan sifat-sifat baik mereka sendiri, mereka tidak bangga hati terlebih memamerkan atau membanggakan jasanya, karena bagi mereka apa gunanya pamer kepada boneka anjing? Inilah wujud besar cinta kasih para orang suci kepada manusia.
2. “… Nabi dan orang suci selalu tidak merasa benar, maka malah bisa mengetahui kebenaran sesungguhnya. Tidak mau menonjolkan dan mempromosikan diri, malah namanya tersohor dimana-mana dan jasanya menonjol diingat rakyat. Tidak sombong maka keberadaannya langgeng diabadikan masyarakat. Dan Tidak pernah berebut/pamrih dengan siapapun, maka tidak ada seorang pun yang bisa berebut sesuatu dari apa yang dimiliki nabi/orang suci. …” (道德經 Dao De Jing Bab 22).
3. “Orang suci selamanya tidak memiliki keegoisan yang hanya mementingkan diri sendiri, namun selalu menghayati keinginan hati nurani manusia pada umumnya. Orang baik dilayani dengan kebaikan, orang yang kurang baik juga dilayani dengan kebaikan, Orang yang jujur dipercayai dan orang yang tidak jujur juga dihadapi dengan memercayainya (memberikan keteladanan, red) sehingga akhirnya bisa menjadi jujur, Orang suci memberikan keteladanannya dengan selalu menjauhkan diri dari ambisi dan nafsu berlebih agar semua orang turut mempertahankan kesederhanaan dan kebersihan hati nurani masing-masing. Hasil keteladanannya akan membuat semua orang menggunakan mata dan telinganya untuk memperhatikan perilaku orang suci dimanapun ia berada. Akhirnya mereka semua akan kembali memperoleh sifat kesucian bayi yang baru lahir tanpa dosa secara alamiah” (道德經 Dao De Jing Bab 49).
Maka bisa kita lihat, bagaimana mereka para suci membimbing kita dengan memberikan keteladanan, sifat-sifat non-egoisme, dan berperilaku sesuai kebenaran. Kepada mereka yang memenuhi kriteria inilah seharusnya sembahyang harus dilakukan, dan kita yang bersembahyang kepada mereka hendaknya mengingat dan meneladani sifat-sifat baik mereka. Bukankah kata Sang Buddha menghormat kepada mereka yang patut dihormat adalah berkah utama? (Khuddakapatha 5, Mangala Sutta).
Lalu dalam sembahyang yang ditonjolkan bukan kemewahannya, tetapi kesederhanaannya. Khonghucu berkata ”Dalam upacara sembahyang daripada mewah menyolok, lebih baik sederhana. Di dalam upacara duka, daripada meributkan perlengkapan upacara, lebih baik ada rasa sedih yang benar” (Lun Gi/Lun Yu 論語,III : 4).
Mirisnya nilai kesederhanaan dalam kita melakukan sembahyang puja hilang tertutup ambisi pribadi, ingin menyogok para suci dengan berbagai persembahan, lilin ‘segede gaban’ ribuan kati pun rela dikeluarkan tetapi sifatnya jauh dari teladan watak orang suci, bahkan rela pergi ketempat-tempat terpencil untuk melakukan pemujaan sembahyang kepada yang tidak seharusnya disembah. Hal ini kesannya menjilat, baik kepada orang suci maupun makhluk non suci.
Mereka mungkin lupa Khonghucu pernah berkata “Bersembahyang kepada rokh yang tidak seharusnya disembah, itulah menjilat” (Lun Gi/Lun Yu 論語,II : 24). Justru kebiasaan menjilat ini yang tidak baik dijadikan keteladanan, akhirnya timbul kesempatan bagi para pelaku begal spiritual menjalankan aksinya, hal ini bukan karena semata niat mereka, tetapi juga karena adanya kesempatan dan keteladanan buruk dari kebiasaan menjilat.
Sebagai penutup, anda harus tahu mengapa begal spiritual ini bisa terjadi, mungkin saja terjadi karena perilaku anda sendiri sebagai pelaku ataupun penikmat spiritual yang tidak sesuai dengan watak para suci, adanya kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok yang bersifat egosentris, kurangnya perilaku bermoral, perilaku menjilat para suci ataupun makhluk non suci, inilah yang memicu tumbuh kembangnya begal spiritual.
Maka bagi mereka yang memiliki kemampuan batin bisa melihat tempat-tempat yang marak dijadikan aksi begal spiritual biasanya sudah tidak ada makhluk suci di sana. Seakan kehilangan Taji/Kharismanya, cepat atau lambat tempat itu akan meredup, bahkan diprotes makhluk halus di sana hingga hal buruk bisa saja terjadi. Kita sudah sering melihat dan mendengar bagaimana tempat suci karena pengelolaannya tidak baik (sebagai akibat perilaku orang-orang di sana meneladani hal yang salah) maka akan hancur baik terbakar, terkena bencana, ditinggalkan, dan sebagainya. Mengapa hal ini terjadi?
Kita intip satu petikan dari kitab Yak King ini: “Hal peleburan dan pembentukan terpelihara oleh perubahan; Semuanya berjalan/berlangsung itu terpelihara oleh adanya penembusan/pemahaman; Kekuatan rokhani yang cerah itu terpelihara oleh manusianya; dengan diam dapat menyempurnakan, tanpa bicara memperoleh kepercayaan, itu terpelihara oleh perilaku Kebajikan.” (Yak Keng/Yi Jing 易經, 系辞上 – He Su Shang – Babaran Agung Atas : 81).
Dari sini dapat dilihat bagaimana para suci dan manusia saling terkoneksi, segala sesuatu bertahan terpelihara selama para suci selaras pemahamannya dengan manusia, jika sudah bergeser dan tidak sesuai dengan watak sejati para suci, bukan tidak mungkin tempat tersebut akan segera ditinggalkan para suci dan akan mengalami fase peleburan karena perubahan yang terjadi.
***
Daftar Pustaka:
Adegunawan, Suyena (陳書源 Tan Su Njan). 2020. 易經 Yi Jing – Kitab Perubahan – The Book of Changes. Bandung. Penerbit TSA.
______________. 2018. 礼记 Liji – Catatan Kesusilaan – The Classic of Rites. Bandung. Penerbit TSA.
______________.2018. 四书 – Si Shu – Empat Kitab Klasik – The Classic of Four Books. Bandung. Penerbit TSA.
Karniawan, Majaputera. 2020. Kumpulan Petikan Dhamma Seri Jataka Atthakatha. Jakarta. Penerbit Yasodhara Puteri.
Lika, I.D. 2012. 道德經 Dao De Cing Kitab Suci Utama Agama Tao. Jakarta. PT Elex Media Komputindo.
Suttacentral.net (Legacy Version) 2005. Khuddakanikaya, Khuddakapatha. Diakses melalui suttacentral.net/kn pada 22 Maret 2021.