Oleh: Vijjavati Anindita
Menerbitkan publikasi menjadi sebuah prestige tersendiri bagi akademisi yang berkecimpung di perguruan tinggi. Semakin tinggi peringkat jurnal tempat manuskripnya diterbitkan, semakin tinggi pula prestige. Dalam menyikapi beban stres yang dialami oleh akademisi, diperlukan kematangan pikiran untuk terlibat dalam pembelajaran sepanjang hayat. Mengapa menggunakan istilah matang dan bukannya dewasa?
Menurut kamus bahasa Inggris, matang dan dewasa memiliki makna yang berbeda. Makna dewasa (adult) menekankan pada pencapaian usia seseorang. Patokan usia dewasa dimulai sejak usia 18 tahun. Di sisi lain, matang (mature) menekankan pada pendalaman karakter individu seperti kecerdasan emosi, kebijaksanaan, kemampuan mengambil keputusan, serta rasa bertanggung jawab. Perbedaan inilah yang menjelaskan mengapa terkadang ditemui seseorang berusia 18 tahun ke atas, yang secara hukum dianggap dewasa, masih bersikap tidak sesuai dengan usianya akibat perkembangan dirinya yang belum matang.
Terdapat banyak kendala yang dialami ketika hendak menerbitkan sebuah publikasi. Meskipun prestasi akademisi tersebut tergolong menonjol, prestasi tersebut belum menggambarkan secara keseluruhan kematangan pikirannya dalam menerbitkan publikasi. Ketika hendak memasukkan sebuah manuskrip, akademisi tidak luput dari permasalahan internal dengan sesama akademisi seperti konflik kepentingan, ketidakcocokan karakter, bahkan keterbatasan sumber daya. Ketika manuskrip tersebut mulai dimasukkan ke sebuah jurnal, manuskrip akan terlebih dahulu dikaji oleh reviewer dan berujung pada revisi panjang bahkan penolakan untuk diterbitkan.
Menerbitkan publikasi adalah salah satu tolak ukur pencapaian akademisi di institusi pendidikan. Di sisi lain, tantangan dan kendala penerbitannya pun juga tidak main-main. Ibarat berebut imbalan, akademisi berlomba-lomba menerbitkan manuskrip sebanyak dan sebagus mungkin. Tentu saja stres yang dialami sejajar dengan beban yang diterima ketika berusaha dengan memenuhi ekspektasi atau ambisi tertentu. Ada sebagian akademisi yang karena tidak sanggup mengelola beban stres dengan kematangan pikiran yang dimilikinya, ia menempuh “jalan pintas” untuk mempermudah prosesnya sekaligus memenuhi ekspektasi dan ambisinya.
Ada banyak “jalan pintas” yang ditempuh oleh akademisi, contohnya menggunakan jasa joki untuk mengerjakan manuskrip, menerbitkan manuskrip di jurnal predator, bahkan “menitip nama” pada manuskrip yang sedang diproses untuk dipublikasikan. “Jalan pintas” tersebut mungkin mempermudah dan/atau mempercepat penulisan manuskrip agar diterbitkan di dalam jurnal – sering kali melalui komersialisasi – tanpa memaparkan akademisi terhadap stres tingkat tinggi yang biasanya dihadapi ketika akan melakukan presentasi atau publikasi tertentu. Dilihat dari segi efisiensi waktu dan tenaga, “jalan pintas” tersebut tentu saja menguntungkan. Sebaliknya, jika dilihat dari segi integritas akademik, “jalan pintas” tersebut tentu saja tidak dibenarkan.
Berperilaku secara tidak jujur dalam upaya menerbitkan publikasi terjadi karena tuntutan kerja akademisi, terlebih lagi keinginan berulang untuk menambah prestasi akademis. Dilihat dari sudut pandang Buddhisme, hal tersebut melibatkan lobha (keserakahan). Bertindak dengan keserakahan tidak baik karena tindakan itu jadi ternoda oleh kekotoran batin. Meskipun niat akademisi menerbitkan publikasi itu baik, hasil akhirnya menjadi tidak baik karena cara mempublikasikannya pun tidak baik. Akibatnya, nama baik dan kepercayaan terhadap akademisi itu mungkin saja rusak, ia sulit dipercaya lagi sehingga tidak lagi diikutsertakan dalam kegiatan kelompoknya.
Tidak ada akademisi yang perjalanan studinya selalu mulus, bahkan yang sudah melewati bangku pendidikan sarjana pun masih saja mengalami kesulitan ketika mengerjakan penelitiannya. Wajar bagi seseorang untuk menemui kesulitan, tetapi terkadang sulit bagi seseorang untuk menerima kewajaran tersebut. Kesulitan menerima kewajaran itu didorong oleh adanya ekspektasi yang ditetapkan oleh sesama akademisi. Ekspektasi kelompok ini ada yang dibarengi oleh ambisi pribadi, tetapi justru berlawanan dengan kemampuannya sendiri.
Mengalami kesulitan bahkan setelah menduduki posisi yang lebih tinggi di atas rata-rata tidak hanya terjadi di zaman modern. Dikisahkan murid Buddha yang bernama Meghiya menceritakan bahwa dirinya masih mengalami 3 pikiran jahat meskipun telah meninggalkan kehidupan perumah tangga. Tiga pikiran jahat itu adalah pikiran nafsu indra, pikiran jahat, dan pikiran kejam. Ketiga pikiran jahat itu, menurut sang Buddha, baru dapat dibebaskan ketika seseorang mematangkan pikirannya. Ada 5 faktor yang menuntun terjadinya pematangan pikiran, yaitu
- Memiliki teman yang baik,
- Mematuhi aturan (patimokkha pada bhikkhu),
- Dengan tekadnya sendiri, berbicara tentang hal-hal yang jauh dari keduniawian seperti pembicaraan tentang pengerahan upaya dan tentang keluhuran,
- Bersemangat dan tekun meninggalkan kehidupan tidak bermanfaat, dan
- Memiliki pengertian yang tajam tentang fenomena timbul dan lenyap.
Ketika kematangan pikiran absen dari karakter seorang akademisi, ia masih mungkin untuk mematangkan pikirannya asalkan memiliki 5 faktor pematangan pikiran yang dijabarkan oleh Buddha. Tanpa adanya pematangan pikiran, akademisi mungkin saja bertindak di bawah pengaruh pikiran jahat, kejam, atau bernafsu indra terlepas dari apakah ia sudah atau belum dituakan oleh kelompoknya. Sebaliknya, perilaku yang sombong, meledak-ledak, tidak memiliki rasa takut akan akibat dari perbuatannya, tidak waspada, dan tidak dibarengi dengan konsentrasi tidak dianjurkan dalam sebuah kotbah Buddha, yaitu…
Dengan “bentuk” yang tidak terjaga dan terpengaruh oleh pandangan keliru, dikuasai oleh kemalasan dan kelambanan, seseorang akan berjalan seiring dengan kekuasaan Mara, maka biarlah pikiran seseorang terjaga.
Biarlah seseorang dikuasai oleh pikiran benar dengan menaruh pandangan benar di garis depan. Dengan memahami kemunculan dan kelenyapan serta menanggulangi kemalasan dan kelambanan, seorang bhikkhu akan meninggalkan semua tujuan yang jelek.
Kematangan pikiran adalah faktor yang perlu dimiliki oleh akademisi supaya meninggalkan 3 pikiran jahat untuk mendapatkan pencapaian duniawi seperti meraih prestige atau imbalan dari menerbitkan publikasi. Apapun karya akademis yang diciptakan, karya tersebut mencitrakan prestasi akademis, reputasi, serta keandalan seorang akademisi kepada masyarakat. Oleh karena itu, akademisi perlu memiliki 5 faktor pematangan pikiran untuk dapat menyikapi stres yang dialaminya tanpa terhasut untuk menempuh cara-cara yang tidak menunjukkan integritas dirinya.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Referensi
Horn, S. A. (2016). The social and psychological costs of peer review: Stress and coping with manuscript rejection. Journal of Management Inquiry, 25(1), 11-26.
Brewis, J. (2018). On interference, collegiality and co-authorship: Peer review of journal articles in management and organization studies. Organization, 25(1), 21-41.
Dean, K. L., & Forray, J. M. (2017). The Long Goodbye: Can Academic Citizenship Sustain Academic Scholarship? Journal of Management Inquiry, 27(2), 164-168.
Sutta Central. (n.d.). Meghiyasuttaṁ 31: Khotbah tentang Meghiya. https://suttacentral.net/ud4.1/id/anggara?lang=en&reference=none&highlight=false
Sutta Central. (n.d.). Uddhatasuttaṁ 32: Khotbah tentang Gejolak. https://suttacentral.net/ud4.2/id/anggara?lang=en&reference=none&highlight=false
Gambar: Gemini.AI.