Oleh: Jo Priastana
“Poverty is not just a lack of money; it is not having
the capability to realize one’s full potential as a human being”
(Amartya Sen, Peraih Nobel Ekonomi 1998)
Kesuksesan adalah kosakata yang sering tumbuh dari orang masa kini. Namun, adakah kesuksesan hanya terbatas oleh berbagai capaian material-duniawi? Tentu tidak. Kesuksesan juga berkaitan dengan kualitas hidup. Kualitas hidup yang sepenuhnya membangkitkan segenap kapabilitas manusia untuk bahagia. Sepantasnya semua capaian kesuksesan merefleksikan kualitas hidup eksistensi manusia. Manusia ingin meraih kebahagiaan, hidup yang berkualitas. Apakah hidup yang berkualitas?
Refleksi mengenai hidup yang berkualitas menghantar kita kepada hidup yang bernilai. Hidup yang bernilai, hal-hal yang bernilai yang kerap kali juga dikaitkan dengan hidup yang baik (the good life). Hidup yang baik adalah hidup yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur. Di antara hal yang kerap dianggap bernilai itu adalah kebahagiaan (happiness/sukha) dan kesejahteraan (well-being).
Rumusan kebahagiaan atau pemahaman tentang kebahagiaan sendiri bisa datang dari mana saja. Dari para filsuf, agama maupun orang di zaman modern, dan dari mereka yang mengejar kesuksesan dan kebahagiaan. Dalam agama, kebahagiaan kerap ditekankan yang ada di dunia sana, sedangkan di abad modern konsep kebahagiaan lebih dilekatkan dengan capaian material seperti pada pencapaian kenikmatan ragawi yang bersifat hedonistik. (Sunaryo dan Pipip A. Rifai Hasan, “Konsep Kualitas Hidup Dalam Kerangka Kapabilitas,” Penerbit Buku Kompas, 2024).
Kebahagiaan dan Zaman Modern
Manusia di Abad Modern hidup dalam tataran kesuksesan yang berhubungan dengan hal-hal eksternal. Mereka yang hidup di dunia modern kerap menghubungkan kebahagiaan dengan tingkat pendapatan dan semua kenikmatan material duniawi. Mereka biasa menyebut semua ini sebagai utilitas (utility). Segala hal yang bermanfaat, hal yang berguna dan bersekutu dengan kuantifikasi. Namun, bukankah untuk menikmati kesuksesan dan kebahagiaan yang sesungguhnya adalah tidak lepas dari hal-hal yang berkenaan dengan dimensi internal, bersifat kualitas?
Makna kebahagiaan dalam frasa “the greatest happiness for the greatest number” adalah kebahagiaan yang dipahami secara konkret dan bisa diukur, bersifat kuantitatif. Melalui prinsip utilitas, seseorang mempertimbangkan tindakan yang akan diambil pada seberapa jauh pilihannya dapat memaksimalkan kenikmatan (pleasure) dan meminimalisasi rasa sakit (pain).
Frasa “the greatest happiness for the greatest number” dicetuskan Jeremy Bentham, (1748-1832) pendiri etika utilitarian. Filsuf Inggris pendiri aliran utilitarianisme ini bilang, kebahagiaan dipahami secara konkret dan bisa diukur. Dalam konteks pembangunan negara, para perintis ilmu ekonomi kemudian merumuskan itu dalam konsep kemakmuran dan manfaat, seperti yang dibakukan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (GDP). Sebuah negara dapat dikatakan makmur jika meraih GDP dan pendapatan per kapita yang tinggi.
Konsep rasionalitas juga kemudian dikaitkan dengan tindakan yang dapat memaksimalisasi kepentingan diri atau manfaat. Perilaku masyarakat dan kebijakan pemerintah diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan GDP dan per kapita mereka. Di abad modern, kita menyaksikan konsep kebahagiaan yang sepenuhnya dipahami sebagai capaian material yang kasat mata dan bisa diukur. Negara yang ber-GDP tinggi adalah negara yang sejahtera dan sukses bergelimang dengan berbagai prestasi.
Dari teori utilitarianisme itu tergambar bahwa kebahagiaan di abad modern mencerminkan kerangka manusia sebagai “homo economicus” (manusia ekonomi). Tindakan rasional dipahami sebagai tindakan yang hanya jika ia bisa memaksimalisasi kepentingan-diri. Sialnya rumusan ini kemudian menjadi definisi umum tentang tindakan atau pilihan rasional (rational choice), bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang-bidang yang lain.
Benarkah manusia semata “homo economicus”? Tentunya banyak dimensi lain dari manusia dan kehidupannya. Manusia bukan semata binatang ekonomi (homo economicus). Mereduksi manusia sebagai homo economicus dan hanya kesuksesan ekonomi kasat mata yang dapat diukur hanya akan tetap mengakibatkan manusia terjerambab dalam jaring penderitaan berulang. Sukses material ekonomi duniawi yang selalu masih saja mengendap-endap di dalam lorong gelap dalam meraih kebahagiaan.
Pembangunan Manusia Bermutu
Mengapa orang ingin sukses? Apakah ukuran kesuksesan? Adakah sekedar capaian material dan kehidupan duniawi? Adakah makna sukses yang lebih dalam, menyangkut kesejahteraan dan kebahagiaan yang berkenaan dengan terbebas dari penderitaan, seperti ujar Buddha, penderitaan dan pembebasannya. Tujuan orang hidup baik secara personal maupun kolektif dalam sebuah negara adalah memperoleh kehidupan yang bebas dari penderitaan atau mencapai kebahagiaan.
Sebagaimana dalam makna personal, bahwa bahagia bukan semata capaian material, namun juga menyangkut kesejahteraan diri dan kehidupan manusia yang berkualitas, dari hidup yang bernilai dan baik. Karenanya pembangunan ekonomi yang kasat mata dan terukur meskipun memang penting namun bukan itu segalanya. Sungguhkah negara sukses yang makmur dan sejahtera itu penduduknya hidup berbahagia?
Senada dengan Buddha, pakar sosiologi pembangunan yang pernah bertugas di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta akhir 1970, Dr. Johannes Muller mengungkapkan: “Pemerintah negara, harus mengurangi, dan sedapat-dapatnya menghapus penderitaan (J. Muller, 2023). Menderita berarti kesadaran langsung bahwa sesuatu tidak boleh ada, bahwa penderitaan tidak boleh dibiarkan. Orang yang menderita perlu dibantu agar bebas dari penderitaannya.
Bagaimana mengeluarkan manusia dari penderitaannya dalam konteks kebijakan pembangunan negara? Ada dikemukakan teori kapabilitas untuk negara dalam mewujudkan pembangunan manusia yang berkualitas, pembangunan yang mengeluarkan manusia dari penderitaannya seperti kemiskinan dan sekaligus mampu mewujudkan dimensi-dimensi kemanusiaan lainnya.
Amartya K. Sen, peraih Nobel ekonomi tahun 1998 dan Martha C. Nussbaum, adalah dua ilmuwan pemikir sosial-ekonomi menjelaskan bahwa yang paling penting dalam membuat seseorang dapat merasa bahagia, jadi dapat keluar dari penderitaannya, adalah pengembangan dan peningkatan kapabilitasnya (Sunaryo dan Pipip A. Rifai Hasan, “Konsep Kualitas Hidup Dalam Kerangka Kapabilitas,” Penerbit Buku Kompas, 2024).
Tiga Unsur. Teori kapabilitas yang dikemukakan ini mencakup tiga unsur, yakni kemampuan untuk meraih (the ability to achieve), perhatian pada nilai (value), dan proses penalaran kritis (critical scrutiny) (Sunaryo dkk, 2024:13).
Kapabilitas dalam arti kesanggupan untuk mencapai apa yang bernilai baginya. Kemampuan aktual untuk meraih sesuatu yang sudah dipertimbangkan nilainya. Bukan pengembangan perekonomian, yang tentu saja penting, melainkan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menangani kehidupan mereka. Itulah yang menjadi sasaran perpolitikan, politik pembangunan yang melihat martabat manusia dalam keseluruhannya.
Pembangunan adalah untuk manusia, pembangunan manusia bermutu yang dijalankan oleh negara, diantaranya mewujudkan keadilan. Ketimpangan mengakibatkan tidak tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan (well-being) secara menyeluruh dari sebuah negara. Pendekatan kapabilitas untuk pembangunan yang komprehensif, terkait dengan kualitas hidup (quality of life). Yakni kualitas hidup menyangkut kesehatan (health), kesejahteraan (well-being), dan kebahagiaan (happiness).
Kebahagiaan yang tercermin dalam kualitas hidup, hidup bermutu yang bernilai dan baik. Dalam memaknai konsep kualitas hidup ini, kita juga bisa belajar dan menimba dari pandangan para filsuf maupun cita-cita dan tujuan kehidupan beragama maupun para bijaksana, seperti wisdom Sang Buddha. Kehidupan para murid Sang Buddha yang berbahagia hidup secara cukup, puas mencakup pemenuhan makanan (food), tempat bermukim (shelter) dan kesehatan (health) dan menjalani kehidupan yang baik dan bernilai dalam sila, samadhi dan pertumbuhan prajna, wisdom.
Manusia yang terdiri dari rupa atau jasmani dan nama atau batin sebagai suatu kesatuan. Tentunya manusia yang monodualisme ini, rupa dan batin ini, bukan hanya sekedar tubuh belaka dan karenanya dia itu bukan sekedar binatang ekonomi (homo ekonomi). Manusia tidak sekedar badan namun juga dihuni oleh jiwa atau batinnya, dan adalah makhluk spiritual yang selalu mencari makna untuk menemukan kebahagiaannya. Karenanya, pembangunan itu sesungguhnya ditujukan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas.
Manusia sukses, bahagia dan berkualitas yang menjalani kehidupan yang baik dan bernilai sebagai manifestasi dari makhluk spiritual. Makhluk spiritual yang memang sedang memanggul swastika penderitaannya dan menyelesaikannya di sepanjang perjalanan hidupnya, samsara kehidupannya. Adalah juga kapabilitas manusia yang mampu memenuhi perwujudannya sebagai makhluk spiritual, mengaktualisasikan benih Buddhanya dalam segenap dimensi kehidupan dengan hidup bernilai dan sepantasnya juga menjadi perhatian pembangunan! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).