Pembangunan Untuk Kesejahteraan dan Keutuhan

Home » Artikel » Pembangunan Untuk Kesejahteraan dan Keutuhan

Dilihat

Dilihat : 96 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 70
  • 115
  • 62,199
Pic 3 Nov 24

Oleh: Jo Priastana

 

“Kapitalisme tidak mampu membawa pembangunan berkelanjutan.
Ia mendorong kemajuan teknologi untuk menguras sumber daya bumi,
karena tujuan produksi kapitalis adalah
nilai tukar bukan nilai guna, laba bukan manusia”
(Ellen Meiksins Wood, 1942-2016, Sejarawan Marxis)

 

Tahun-tahun setelah Perang Dunia ke-2, pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih baik. Mereka mendirikan PBB sebagai wadah universal, tempat negara-negara kecil dan miskin dapat berdampingan dengan negara-negara kuat dan kaya menghadapi berbagai permasalahan bersama dalam basis kesetaraan. Sejalan dengan Marshall Plan setelah perang dimana arus sumber daya mengalir untuk mendukung pembangunan negara-negara berkembang (developing) dan terbelakang (underdeveloped).
PBB dengan sekumpulan negara maju yang menang perang mendirikan Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF) – lembaga-lembaga Bretton Woods – demi kesejahteraan bagi semua. Misi Bank Dunia, sebagaimana yang terukir pada dinding markas besarnya di Washington DC ialah memberantas kemiskinan. Strategi Bank Dunia untuk menghasilkan kekayaan adalah dengan mencanangkan deregulasi, privatisasi, serta penyesuaian struktur ekonomi negara sebagai persyaratan terhadap negara-negara dunia ketiga untuk dapat menerima pinjaman dari Bank Dunia atau kreditur sejenisnya.
Bagaimana hasilnya setelah upaya pembangunan itu dilakukan? Nyatanya, dengan menggunakan definisi kemiskinan oleh Bank Dunia sendiri, jumlah masyarakat miskin malah bertambah. Meskipun para pelopor Bretton Woods secara tulus berupaya memberantas kemiskinan, pada kenyataannya berbagai lembaga dan instrumen yang mereka ciptakan malah menimbulkan meluasnya kesenjangan distribusi kekayaan, degradasi lingkungan dan kerusakan budaya (Sulak Sivaraksa 2013; 12).

 

Beragam Paradoks Pembangunan
Pembangunan atau developmentalisme telah mewujudkan fenomena globalisasi. Globalisasi lebih tepat disebut fundamentalisme pasar bebas, seiring bekerjanya ideologi pembangunan modernisasi yang dibawa oleh Kapitalisme. Kapitalisme memaksakan nilai-nilai materialistik pada negara-negara berkembang dan negara industri maju serta mendorong orang-orang untuk berusaha menghasilkan lebih, mendapatkan lebih dalam sebuah siklus keserakahan dan ketidakamanan yang tak pernah berakhir.
Bank Dunia dan lembaga-lembaga Bretton Woods lainnya percaya bahwa industrialisasi, perekonomian moneter, dan modernisasi lebih unggul daripada gaya hidup masyarakat agraris, ekonomi subsisten, dan kehidupan kaum pribumi. Globalisasi tidak lain adalah sebuah bentuk baru kolonialisme, sejalan dengan istilah “modernisasi”, yang pada kenyataannya dibentuk secara rasial, yaitu suatu istilah pendahulunya yang bernama eropanisasi atau westernisasi.
Dalam kesempatan peluncuran buku “Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosietal,” karya Paulus Wirutomo (2/8/22) seperti dilaporkan Kompas, 3/8/22, Guru Besar ilmu Sosiologi UI ini mengatakan, pembangunan yang berlangsung selama 80 tahun terakhir berorientasi ke pertumbuhan. Hal ini menyebabkan munculnya kesenjangan ekonomi dan kekuasaan di masyarakat sehingga menimbulkan berbagai masalah sosial. Akibatnya, kualitas kehidupan budaya turun.
Kesenjangan dalam berbagai sektor kehidupan sebagai dampak pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi yang kapitalistik-modernisasi itu juga diakui oleh PBB. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan bahwa pembangunan yang terjadi di seluruh dunia ini ternyata telah menghasilkan paradoks pembangunan, yaitu: jobless growth, ruthless growth, rootless growth, voiceless growth, futureless growth.
Jobless growth dimana pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak menghasilkan lapangan kerja yang cukup. Ruthless growth dimana pertumbuhan ekonomi yang kejam karena menghasilkan kemiskinan masif di berbagai pelosok dunia. Rootless growth dimana pertumbuhan yang tidak berakar di masyarakat tempat sumber-sumber kekayaan digali, tetapi justru dinikmati negara investor. Voiceless growth dimana pertumbuhan yang tidak mendengarkan suara atau aspirasi sebagian besar rakyat terutama perempuan dan futureless growth dimana pertumbuhan yang menghancurkan lingkungan alam, sehingga tidak punya masa depan (Paulus Wirutomo “Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosietal,” 2022:16).

 

Untuk Kesejahteraan dan Keutuhan Manusia
“Untuk meningkatkan kehidupan sosial budaya, kita harus mengganti pendekatan pembangunan. Tidak lagi sektoral, tetapi lebih sistemik-holistik atau disebut sosietal,” kata Paulus. Kita bisa melihat pemikiran pembangunan yang holistik-sistematik dan sosietal itu pada Sulak Sivaraksa, tokoh Buddhis aktivis perdamaian yang terlibat dalam masalah-masalah pembangunan yang dilakukan negara-negara berkembang.
Pemikiran dan aktivitas Sulak Sivaraksa beranjak dari keprihatinan terhadap fenomena pembangunan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi pertumbuhan. Sulak Sivaraksa memiliki aspirasi keprihatian dan pemikiran solutif mengenai pembangunan yang beranjak dari filosofsi dan kearifan Buddhadharma yang diyakini dan dipraktikkannya dalam ranah sosial politik.
Pemikiran dan aktivitas Sulak Sivaraksa tertuang dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan untuk Manusia: Ekomomi Buddhis Abad 21” atau dalam bahasa Inggrinya “The Wisdom of Sustainability Buddhis Economic for the 21st Century”. Terjemahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Hikmabudhi-Institut Nagarjuna di tahun 2013. Dalam buku itu, tergambar sosok Sulak Sivaraksa tentang pemikiran dan aktivitasnya yang berkenaan dengan masalah-masalah pembangunan dalam perspektif Buddhadharma.
Pemikiran otentik seorang Sulak yang keluar dari hati dan kedalaman spiritualitas Buddhisnya. Baginya, pembangunan harus membawa kebahagiaan dan keadilan untuk manusia dan alam. Ajahn Sulak sangat kritis terhadap Kapitalisme dan Liberalisme yang menurutnya banyak menimbulkan Kekerasan dan Ketidakadilan Sosial.
Dalam pandangan Sulak yang berperspektif Buddhis, pembangunan hendaknya memenuhi rumusan. “Manusia tidak mengeksploitasi di atas penderitaan manusia lain”. Rumusan ini berlawanan dengan Kapitalisme yang berdiri di atas pengeksploitasian terhadap alam dan manusia.
Sulak Sivaraksa berupaya mengetengahkan konsep pembangunan alternatif yang lebih humanis sesuai dengan karakteristik spiritualitas Budddhis. Sebuah perjuangan yang tanpa akhir dari seorang Ajarn Sulak, mengingat upayanya itu yang tidak mudah, dimana dalam permasalahan pembangunan yang berkenaan dengan manusia yang dihadapi adalah sisi terburuk dari manusia, yakni bagaimana mewujudkan pembangunan yang mampu mengurangi keserakahan dan kebencian yang bergelora di diri manusia.
Keserakahan begitu melekat di dalam praktik pembangunan, khususnya pembangunan yang bersifat kapitalistik-liberal. Sementara yang kita kenal bahwa Buddhadharma menyatakan keserakahan adalah sumber dari penderitaan, disamping kebencian dan kekeliruan pengetahuan. Keserakahan itu tercermin pada tantangan sumber daya alam yang semakin terbatas, sementara jumlah penduduk dan persaingan semakin besar di tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia yang semakin pragmatis-hedonis akibat pembangunan. (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?