Oleh: Jo Priastana
“Aku pun membajak dan menabur benih.
Setelah membajak dan menabur benih Aku makan.”
(Buddha)
Bagaimana seseorang bisa mendengarkan Dharma kalau perutnya masih belum terisi? Bagaimana suatu masyarakat dapat menjalankan peribadatan keagamaannya dengan baik kalau kehidupan sehari-harinya masih dililit oleh pencaharian ekonomi dan dilanda kemiskinan?
“Tidak ada masyarakat yang dapat berkembang dan bahagia, dimana sebagian besar anggotanya miskin dan sengsara”, demikian ujar Adam Smith (meninggal 1790), tokoh besar dan pemikir, filsuf dalam bidang ekonomi ini mengingatkan. Kesejahteraan material, keberdayaan secara ekonomi menjadi syarat terwujudkan kehidupan bahagia suatu masyarakat.
Tindakan ekonomi mencapai kesejahteraan material sangat bermakna bagi pencapaian kebahagiaan hidup manusia. Sukar untuk mewujudkan kebahagiaan tanpa dilandasi oleh pencapaian kehidupan ekonomi secara baik dan benar dalam penghidupan benar.
Pemberdayaan Ekonomi Umat Vihara Dharmasari
Penghidupan benar sebagai dimensi material dan ekonomi dalam jalan memupus jerat penderitaan yang bisa disebabkan oleh masih adanya kemiskinan merupakan salah satu ruas dari delapan jalan utama. Penghidupan benar sebagai jalan melenyapkan penderitaan atau dukkha dan menghantar pada pencapaian kebahagiaan spiritual.
Dimensi ekonomi dalam penghidupan benar (sammajiva) sebagai jalan melenyapkan penderitaan ini disadari oleh umat Buddha Vihara Dhammasari di Dusun Windusari, Sokaraja, Kabupaten Banjarnegara. Umat Buddha Komunitas Buddhis yang berjumlah 60 kepala keluarga atau sekitar tiga ratus orang ini mendirikan koperasi sebagai wadah untuk menggerakkan aktivitas perekonomian umatnya, yakni usaha pembuatan keripik Salak.
Dalam wadah koperasi yang diberi nama Cahaya Dhammaphala, umat Buddha yang tinggal di kaki perbukitan yang indah itu melakukan pemberdayaaan ekonomi. Mereka mengelola pembuatan keripik Salak Pondoh yang banyak ditanam oleh penduduk di Banjarnegara.
Salak pondoh yang terkenal itu mereka olah menjadi keripik salak sebagai penganan yang gurih dan lezat. Pengolahan keripik salak ini diharapkan dapat menjadi penggerak roda perekomian dan dalam rangka mewujudkan penghidupan benar sebagaimana dikatakan Buddha di dalam salah satu ruasnya dari delapan jalan utama melenyapkan penderitaan.
Umat Buddha Dusun Windusari di bawah koordinator Bapak Waridi akan melempar produknya ke pasar lepas dalam bentuk kemasan yang akan diberi nama Tarafood Chips. Dalam sedikit perbincangan dengan Bapak Waridi, terungkap bahwa 5 kg salak dapat menghasilkan produk 1,4 kg keripik atau dalam bentuk kemasan yang berjumlah sekitar 15 @ 70 gr.
Kita sangat terkesan oleh aktivitas pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh umat Buddha yang menetap di perbukitan yang sangat indah ini. Dalam kehidupan pedesaaan yang asri dan indah dengan tanahnya yang subur itu banyak dijumpai perkebunan buah Salak. Pohon-pohon Salak yang berasal dari Salak Pondoh terhampar di halaman-rumah dan kebun umat.
Dari buah salak yang manis dan legit itu mereka mengolahnya menjadi keripik salak yang renyah dan dimasyarakatkan dalam bentuk kemasan yang diberi nama Tarafood Chips. Usaha pengolahan keripik buah Salak oleh umat Vihara Dharmasari di Banjarnegara ini masih memerlukan proses yang cukup panjang hingga dapat dilempar ke pasar, dikenal dan dinikmati oleh masyarakat luas. Sesuai namanya yang menggunakan bahasa Pali, Tarafood chips yang berarti “harapannya menjadi bintang”, tidak salahnya bila segenap umat Buddha dimana pun berada menyambut dan mendukungnya agar “harapan menjadi bintang” keripik Salak itu sungguh terwujud.
Aktivitas ekonomi oleh umat Buddha Dharmasari di Banjarnegara sebagai pemberdayaan dan membentuk perekonomian yang mandiri ini mengingatkan juga akan pesan dan perjuangan yang dilakukan oleh Sulak Sivaraksa. Tokoh Engaged Buddhism ini sangat menekankan terwujudnya suatu keseimbangan ekonomi yang berdasarkan pada ajaran Buddha. Suatu keseimbangan ekonomi yang berdasar pada mata pencaharian benar, masyarakat damai melalui pemerintahan bermoral, dan pembangunan dari bawah ke atas (Sarvodaya).
Spiritualitas dan Pembangunan Ekonomi
Dalam skala kecil namun indah atau “Small is Beautiful,” sesuai judul buku dari pemikir ekonomi Buddhis, E.F. Schumacher, umat Buddha Vihara Dharmasari di Dusun Windusari, Banjarnegara, Jawa Tengah bahu membahu, bekerja sama melakukan pemberdayaan ekonominya dalam wadah koperasi yang diberi nama Cahaya Dhammapala. Kerja bersama dalam wadah koperasi ini merupakan juga cerminan dari ajaran Buddha dalam beraktivitas sosial dan ekonomi melalui kerja sama sebagai sarana untuk mengatasi kegoisan diri.
Umat Buddha Vihara Dharmasari melakukan pemberdayaan ekonominya secara bergotong royong, sesuai dengan nilai yang masih hidup tumbuh dalam masyarakat pedesaaan. Koperasi Cahaya Dhammapala tidak hanya menerbitkan rasa optimis yang membuahkan kesejahteraan bagi warganya namun juga keguyupan dalam bekerja bersama yang penuh kerukunan, saling tolong menolong, saling peduli, membebaskan diri dari keegoisan sebagaimana yang ditekankan dalam Buddhadharma.
Bagi E.F. Schumacher, seorang ekonom yang mengembangkan teori ekonominya berlandaskan jalan tengah Sang Buddha, dalam bukunya “Small is Beautiful,” menyatakan bahwa kerja: (1) memberi kesempatan orang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya, (2) agar orang bisa mengatasi egoismenya dengan jalan bergabung melaksanakan tugas bersama-sama orang lain, (3) menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan yang layak. (Kecil Itu Indah, 1981).
Aktivitas pemberdayaan ekonomi masyarakat desa meski kecil namun indah itu bisa menjadi sarana pembangunan ekonomi yang mencerminkan jalan tengah Buddha. Dalam pandangan Sulak Sivaraksa, pemberdayaan ekonomi dalam masyarakat desa juga merupakan sebagian dari pemulihan fundamental dan alternatif yang ia tawarkan demi membalikkan situasi sekarang, dimana pembangunan ekonomi yang berdasarkan kapitalisme-materialisme merajalela. (Sulak Sivaraksa, 2009. “The Wisdom if Sustainability Buddhist Economic for the 21st Century”).
Jalan tengah Buddha meresap dalam aktivitas ekonomi sebagai penghidupan benar adalah sejalan dengan spiritualitas Buddhadharma dimana pembangunan ekonomi tidak terpisahkan dengan kehidupan spiritualitas. Dalam pandangan tokoh nominator hadiah Nobel, Sulak Sivaraksa, (lahir 1933) pemberdayaan ekonomi yang menghasilkan kehidupan sederhana bisa menjadi sangat memuaskan karena tanpa harus bersifat eksploitatif. Dharma menekankan pengembangan diri yang dapat memulihkan individu dan membantu memicu perubahan pada masyarakat.
Pencapaian kebahagiaan dalam Buddhis melibatkan tindakan-tindakan ekonomi dalam skala kecil. Untuk maksud itulah sesungguhnya ekonomi dalam pandangan Buddhis, ekonomi selayaknya mendatangkan berkah kebahagiaan dan bukan penderitaan dengan spiral keinginan yang tiada henti-hentinya sebagaimana dalam kapitalisme materialisme. Karena sesungguhnya tujuan dari Buddhadhamma atau bahkan ekonomi Buddhis adalah untuk memberanikan setiap orang mencapai nibbanasukha, yakni dengan minimalisasi keinginan atau konsumsi dan memaksimumkan kepuasan (Schumacher, 1982).
E.F. Schumacher (1911-1977), ekonom yang sejak tahun 1970-an mengembangkan pemikiran pembangunan ekonomi berlandaskan prinsip ajaran Buddha seperti jalan tengah Buddha ini, mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi adalah sesuatu yang jauh lebih luas dan lebih dalam dari ekonomi, apalagi ekonometrik. Akarnya terletak di luar bidang ekonomi, dalam pendidikan, organisasi, disiplin, dan lebih dari itu, dalam kemandirian politik dan kesadaran nasional akan kemandirian.
Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa
Aktivitas pemberdayaan ekonomi umat Vihara Dharmasari di Banjarnegara itu juga menjadi tempat yang sangat baik dan tepat bagi pendidikan mahasiswa sekolah tinggi agama, seperti STAB Nalanda yang sarat dengan nilai-nilai Buddhadharma lewat Kuliah Kerja Nyata. Sungguh para mahasiswa itu dapat banyak belajar dalam mengenali kehidupan masyarakat desa serta memetik pengalaman hidup yang sangat berharga sesuai dengan teori-teori dan nilai-nilai Buddhadharma yang dipelajarinya.
KKN selama satu bulan dari pertengahan Juli hingga Agustus 2023 oleh tujuh orang mahasiswa, yang terdiri dari: Ratna Catari, Even Eiden, Damaristo Aureliu, Setiono Bodhi Cahyono, Mera Santika, Perlinidia, dan Ravael Natasya sungguh sebuah bentuk pembelajaran yang sangat berharga. Di daerah perbukitan yang berhawa sejuk dengan pemandangannya yang cantik dan indah itu, mereka merasakan dan menikmati kehidupan ala pedesaan tersebut. Tampaknya, mereka menjalaninya dengan rasa senang sehingga pada hari-hari akhir KKN tampak pada tubuhnya yang terlihat bertambah berisi, sehat dan segar.
Mereka memetik segala pelajaran dan ilmu pengetahuan di alam nyata dan menambah modal keterampilan. Mereka juga menemukan pengalaman hidup dan rasa persaudaraan bersama umat Buddha yang menerimanya sebagai bagian dari keluarganya sendiri. Memahami keutuhan dari kehidupan untuk tetap hidup selaras dengan alam dengan memuliakan martabat dan kesakralan manusia dalam hidup bersama dengan masyarakat desa.
Pendidikan tinggi memang perlu menyeimbangkan kemajuan ilmu pengetahuan dengan kearifan akan nilai-nilai lokal yang berhubungan dengan bumi pertiwi. Bahwa lingkungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, dimana anak-anak didik dapat menjelajah dirinya sendiri di tengah lingkungan alam pedesaan.
Terlebih lagi mereka belajar banyak untuk dapat menterjemahkan kecerdasan kognitif, emosi-afeksi, dan spiritualitasnya serta keterampilannya dalam budaya gotong royong masyarakat pedesaan umat Buddha Vihara Dharmasari di Dusun Windusari, Banjarnegara. Dalam KKN dimana mereka menemukan nilai-nilai Buddhadharma yang hidup dan tumbuh dalam usaha bersama pemberdayaan ekonomi keripik Salak, koperasi Cahaya Dhammapala dengan produksi Tarafood Chips, dengan harapan menjadi bintang! (JP).
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).