Pemberontakan Metafisik Yang Terdekonstruksi: Fenomena Ketika Mahasiswa S3 Rela Menjadi Kuli

Home » Artikel » Pemberontakan Metafisik Yang Terdekonstruksi: Fenomena Ketika Mahasiswa S3 Rela Menjadi Kuli

Dilihat

Dilihat : 56 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 86
  • 129
  • 59,870
Pic 2 Pemberontakan

Oleh: Majaputera Karniawan 謝偉強

Di Negeri Tien rombongan Nabi Khonghucu kehabisan bekal makanan sehingga beberapa murid menderita sakit dan tidak dapat bangun. Cu-lo dengan kurang senang berkata: “Layakkah seorang Kuncu menderita semacam ini?” Nabi bersabda: “Seorang Kuncu (Susilawan) tahan dalam penderitaan; seorang yang rendah budi, berbuat yang tidak keruan bila menderita.”
《论语》Lun Yu 衛靈公 Wei Ling Gong (Adegunawan, 2018)

 

Kuli yang secara etimologi dalam bahasa Indonesia adalah orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya. Etimologi ini sesuai dengan bahasa aslinya yang mana dipakai orang-orang Hokkian peranakan tempo dulu yang juga menyebut “Kuli 苦力” Ku 苦 artinya kepahitan hidup, penderitaan, merih, dan li 力 artinya tenaga. Dari kata ini, dapat kita gambarkan di masa lalu orang menjadi kuli karena terpaksa, terjebak kemiskinan struktural (tidak memiliki kompetensi, tidak memiliki strata pendidikan, dan lain-lain) untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik sehingga harus nguli.

Saya pun dulu dari zaman SMA sambil kuliah S1 sudah pernah melakoni peran sebagai kuli, walau tidak selalu bertugas jadi kuli. Ada keinginan dalam benak saya untuk melakukan pemberontakan metafisik, yakni pergerakan seorang manusia yang menentang kondisi absurditas hidupnya dan seantero alam, agar mencapai kondisi yang diinginkannya. Pemberontakan ini menolak omon-omon keamanan yang ditawarkan dengan sepenuhnya menerima membuta dogma-dogma agama atau keyakinan sebagai penghibur atas nasib buruk yang dialami seseorang. Ide ini dikemukakan oleh Albert Camus (1913-1960):
“…konfrontasi terus-menerus antara manusia dan ketidakjelasannya sendiri… Ia menantang dunia setiap detik. Sama seperti bahaya yang memberi manusia kesempatan unik untuk meraih kesadaran, maka pemberontakan metafisik memperluas kesadaran ke seluruh pengalaman.” (dalam Maden, 2024)

Saya menolak kenyataan untuk susah dan tidak mau sampai jatuh susah, meskipun saya tetap menerima bahwa hidup harus selalu bersyukur dan dinikmati namun saya menolak menjadi malas berusaha karena itu. Juga saya menolak untuk memilih jalan pintas dengan mencari uang secara tidak benar seperti mengumpulkan sumbangan dari 10 arah tanpa bekerja apapun (baca: Mengemis) untuk kebutuhan dan kesenangan saya pribadi. Kala itu saya hanya memiliki sebutir peluru kesempatan untuk mengubah diri menjadi manusia yang berstrata pendidikan tinggi. Bertekad kuliah tinggi agar bisa kerja dengan layak dan tidak sampai harus nguli. Saat ini, saya sudah menjadi dosen sekaligus mahasiswa S3, bila diperlukan saya bisa balik nguli. Apa pemberontakan metafisik saya gagal? Tidak! Tidak gagal tetapi karena saya kini memandang kuli sebagai survival skill yang harus dikuasai, di mana saat kondisi tidak mampu mengadakan tukang bangunan saya tetap bisa mengatasi masalah yang ada.

Fenomenanya sama, tapi paradigmanya motifnya beda antara dulu dan sekarang. Terkadang saya mampu membayar kuli, tapi ada momen yang dikejar. Sehingga rela saya jadi kuli sementara. Misalnya saat habis capek kerja. Lalu Makan siang. Hisap 1 rokok kretek sambil ngopi. Tapi itu semua dijalani dengan role model peran yang berbeda. Pada tahap ini, saya seringkali melakukan dekonstruksi pendapat sebagian besar orang kepada gelar yang saya terima bahwa seharusnya sudah menjadi dosen tidak perlu jadi kuli, buat apa kuliah tinggi-tinggi kalau masih jadi kuli? Dekonstruksi adalah menurut Derrida, suatu proses pembacaan yang membongkar unsur konstruksi yang sudah ada dan meminati yang terpingggirkan, hal-hal yang selama ini dipandang sebelah mata, maka itu dibiarkan bersuara. Termasuk di dalamnya mendekostruksi diri dan hal yang terjadi di dalam sejarah. Setiap istilah memiliki sejarahnya dan sejarah juga menunjukan bahwa istilah itu tidaklah stabil.kebenaran atau makna yang diperoleh bukanlah satu-satunya kebenaran, tetapi ada kesempatan untuk ditemukan kebenaran baru, sampai seterusnya (Dalam Tana, 2019).

Tindakannya sama tapi rasanya beda saat kamu menjalani peran role model yang berbeda. Aufklarung (Pencerahan) yang didapat pun berbeda, misal saat saya jadi kuli saya lebih bisa mensyukuri hidup lebih sederhana dan bahagia. Saat saya menjadi guru, saya berpikiran bagaimana mentatar anak-anak didik saya menjadi lebih baik. Apa yang saya dapatkan dari dekonstruksi ini adalah saya berhasil mendekonstruksi Superiority Complex (Sifat merasa diri superior) pada diri saya, yakni merasa diri begitu unggul, menilai harga diri begitu tinggi, dan mengabaikan realita faktual bahwa ada yang lebih baik dari saya (Tim Alodokter, 2023). Lawannya adalah sifat rendah diri/Inferiority Complex, yakni menganggap diri sendiri begitu rendah dan tidak berguna dibanding orang lain.

Superiority Complex bukanlah barang baru, namun sudah ada dan diajarkan oleh Buddha Gautama sejak dulu, yang diklasifikasikan menjadi 3 bentuk pembandingan diri (Māna):
Katame tayo mānā pahātabbā? Māno, omāno, atimāno— ime tayo mānā pahātabbā.” (Apakah ketiga jenis pembandingan diri yang harus ditinggalkan? Kecongkakan, sifat rendah-diri/Inferiority complex, dan sifat merasa diri superior/Superiority Complex: ini adalah ketiga jenis keangkuhan yang harus ditinggalkan (AN6.106. Taṇhāsutta)

Bisa kita katakan secara sederhana bahwa superiority complex adalah Kesombongan. Saat ini banyak sarjana dan pascasarjana yang enggan dan sombong untuk melakoni kerja rendahan karena merasa derajatnya sudah tinggi berkat pendidikan. Padahal tidak ada salahnya melatih keterampilan tersebut sebagai ‘Survival skill’ sebagai bekal bertahan hidup bukan? Bukankah mengingat akar mula hidup susah di masa lalu akan senantiasa membuat kita berpikir radikal (hingga ke akarnya) dalam bersikap? Saya sadar pemberontakan metafisik yang saya lakukan apabila berlebihan akan membuat saya lupa bagaimana cara untuk hidup susah, sehingga akan mengurangi kemampuan bertahan saya apabila ada masa-masa sulit di masa depan. Maka sebelum itu terjadi, saya dekonstruksi saja sudah! Apapun asal membuat kita lebih baik dari kemarin, maka pengalaman itu jadi cerita berharga.

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

Daftar Pustaka
Adegunawan, S. (2018). Kompilasi Si Shu Empat Kitab Klasik. USA.
Maden, J. (2024). Albert Camus on Rebelling against Life’s Absurdity. Philosophy Break. https://philosophybreak.com/articles/absurdity-with-camus/
Tana, Y. F. (2019). Memahami Teori Dekonstruksi Jacques Derrida sebagai Hermeneutika Radikal. LSF Discourse. https://lsfdiscourse.org/memahami-teori-dekonstruksi-jacques-derrida-sebagai-hermeneutika-radikal/
Tim Alodokter. (2023). Superiority Complex, Saat Seseorang Merasa Dirinya Paling Unggul – Alodokter. Alodokter. https://www.alodokter.com/superiority-complex-saat-seseorang-merasa-dirinya-paling-unggul
Suttacentral.net. 2015. Anguttara Nikaya. https://suttacentral.net/an.
Foto: Dokumentasi Pribadi.

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?