Pencerahan “Isi Adalah Isi, Kosong Adalah Kosong” – “Form is Form, Emptiness is Emptiness”

Home » Artikel » Pencerahan “Isi Adalah Isi, Kosong Adalah Kosong” – “Form is Form, Emptiness is Emptiness”

Dilihat

Dilihat : 111 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 69
  • 115
  • 62,198
FB_IMG_1711385518991-1718696077

Oleh: Jo Priastana

 

“Sebelum seseorang mempelajari Zen, gunung adalah gunung dan air adalah air; setelah melihat sekilas kebenaran Zen, gunung bukan lagi gunung dan air bukan lagi air; setelah pencerahan, gunung kembali menjadi gunung dan air kembali menjadi air” (Dogen, 1200-1253, Zen Master)

 

Pada masa Dinasti Tang, Master Ch’an/Zen Tiongkok, Qingyuan Weixin, menulis: “Sebelum saya mempelajari Ch’an selama tiga puluh tahun, saya melihat gunung sebagai gunung, dan sungai sebagai sungai. Ketika saya sampai pada pengetahuan yang lebih mendalam, saya sampai pada titik dimana saya melihat bahwa gunung bukanlah gunung, dan sungai bukanlah sungai. Namun kini setelah aku mendapatkan hakikatnya, aku merasa tenang. Hanya saja aku melihat gunung sekali lagi sebagai gunung, dan sungai sekali lagi sebagai sungai.” Pertama ada gunung, lalu tidak ada gunung, lalu ada. 

Kisah Sutra Gunung dan Sungai sangat terkenal dan fenomenal. Dogen, seorang guru dan penulis Zen abad ke 13, juga ikut memikirkan pepatah Tiongkok tersebut. “Ketika saya pertama kali mulai berlatih, gunung tetaplah gunung dan sungai tetaplah sungai. Saat saya berlatih, gunung bukanlah gunung; sungai bukanlah sungai. Sekarang setelah saya mantap dalam perjalanan, gunung kembali menjadi gunung dan sungai kembali menjadi sungai.” (Kuya Minogue, 20/02/2015).

Pepatah Zen Buddhism tentang gunung dan sungai itu sepertinya mewakili pernyataan tentang “Isi adalah isi, Kosong adalah kosong,” atau “Form is Form, Emptiness is Emptiness.” Pernyataan ini yang seakan-akan mematahkan ungkapan yang terkesan paradoks. “Isi adalah kosong, Kosong adalah isi” yang diwakili oleh “gunung bukanlah gunung dan sungai bukanlah sungai.” Dan akhirnya proses pencerahan itu tiba kembali pada pernyataan “isi adalah isi, kosong adalah kosong,” atau “form is form, emptiness is emptiness,” yang tentunya dengan cahaya, kebenaran, pengalaman baru.

 

Tiga Cara Berada

Kata-kata tersebut sepertinya juga mewakili tiga cara berbeda yang kita rasakan tentang kehidupan kita. Tahap pertama atau pada awalnya kita melihat gunung, sungai, dan orang lain hanya melalui lensa proyeksi kita, keterpisahan dan keterasingan kita. Semua orang seperti ini. Kita melihat segala sesuatu dalam hubungan yang berlawanan dimana segala sesuatunya datar dan dua dimensi. Hidup tampaklah sulit, diliputi ancaman dimana waktu dan uang langka. Kita harus berjuang untuk bertahan, upaya kesejahteraaan dan kemakmuran berjuang untuk kebahagiaan dan kedamaian.

Kita pun melakukan berbagai latihan. Melalui latihan itu kita menyadari bahwa segala yang berisi atau berbentuk itu adalah kosong, segala sesuatu tidak kekal. Ini tidak hanya berarti bahwa segala sesuatunya berubah seiring berjalannya waktu; itu berarti segala sesuatunya berubah setiap saat. Kita tidak bisa mempertahankan apa pun, bahkan diri kita sendiri. Orang yang selalu kita bayangkan telah berubah, dan kita juga tidak dapat menangkap pikiran atau membuat nafas tetap ada, sungguh menakutkan, semuanya akan hilang.

Seturut pendalaman pemahaman itu, maka tahapan berikutnya, kita juga menyadari bahwa ketidakkekalan berarti juga bahwa penderitaan akan berlalu. Ketika kita menyadari hal ini, gunung bukanlah gunung; sungai bukanlah sungai. “Isi adalah kosong, kosong adalah isi.” Form is emptiness, emptiness is form.” Kita menyadari bahwa kita dapat bebas dari kemelekatan terhadap isi atau “form”, karena isi atau “form” adalah kosong atau “emptiness”. Pemahaman kesatuan dari paradoks terhadap segala sesuatu yang berlawanan tumbuh, pemahaman yang mengatasi dualisme.

Namun begitu, pemahaman menuntut akan pengalaman. Pemahaman ketidakmelekatan bukan lagi sebuah konsep. Ketidakkekalan bukan lagi sebuah gagasan dan dualitas terjembatani dalam pengalaman. Begitulah adanya sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Segala yang terbentuk itu adalah tidak kekal, begitu adanya, it is what it is, tathata. Pada titik ini, kita nyemplung dengan kehidupan apa adanya. Latihan sebagai suatu daya upaya, perjuangan keras perlahan lenyap, hidup mengalir apa adanya. Kenyataan yang sesungguhnya bahwa ada terang dari balik kegelapan.

Yang ada hanyalah kehidupan, kehidupan adanya, benda-benda di sekitar dan peristiwa yang ditemui dan dialami. Hanya gunung dan sungai dengan keindahan aslinya. Kini kita bisa menerima sepenuhnya kondisi hidup kita dan menyadari bahwa hal-hal khusus, keluarga, pekerjaan dan harta benda hanyalah wahana bagaimana kita menghayati nilai-nilai spiritual terdalam kita, keindahan yang terpendam, permata tak ternilai yang selalu bersemayam.

Ada cahaya dari apa yang tercerap dan dialami. Ada kemilau dari benda-benda, peristiwa yang dijumpai, ada kebaruan dari aktivitas sehari-hari. Aktivitas sehari-hari pun dapat menjadi ekspresi nilai-nilai spiritual yang terpendam dalam kedalaman diri kita, bodhicitta, buddhahood, dalam tubuh dharma kita. Dalam Dharmakaya atau tubuh dharma yang energik dan penuh cahaya bermanifestasi dalam kehidupan yang begitu ringan mengalir dalam terang jalan.  

Rutinitas hari-hari, sehari-hari yang kini dijalani dapat diterima apa adanya, sepenuhnya ikhlas dalam rasa syukur, dan justru itu kerapkali menyuguhkan hal-hal baru. Didalam apa adanya tersimpan keistimewaan, didalam yang biasa-biasa saja tersimpan banyak keluarbiasaan. Kembali kepada biasa-biasa saja; “Isi adalah isi dan emptiness adalah emptiness.” Segala yang biasa terpandang selalu baru, terang dan tercerahkan. “Gunung adalah gunung, sungai adalah sungai” memancarkan keindahan dan kekuatannya, berada dalam dirinya masing-masing.

Tiga cara berada itulah yang mewakili pepatah Zen: “Pada awalnya, gunung adalah gunung dan sungai adalah sungai; di kemudian hari, gunung bukanlah gunung dan sungai bukanlah sungai; dan akhirnya, gunung tetaplah gunung dan sungai tetaplah sungai.” (Zen Buddhism). Begitulah adanya, tathata, it is what it is, being it its self, emptiness of phenomena and intrinsic luminosity of things.

 

Cahaya dan Energi

Segala yang biasa menjadi tampak luar biasa. Dalam menemui dan menjumpai segalanya itu, kita melihat cahaya yang bersinar dan merasakan energi yang mengalir. Kehidupan berjalan dalam terang dan terasa begitu ringan bersama datangnya cahaya dan energi yang seakan terus bersinar dan mengalir.

 Isi dan kosong bukan lagi sekedar konsep yang berdaya untuk mengatasi paradoks dualisme, namun sungguh hidup dalam pengalaman. Kita tidak lagi terikat pada pembentukan benda-benda maupun sekedar konsep “isi adalah kosong, kosong adalah isi.” Kembali kepada kenyataan asli yang sesungguhnya, “isi adalah isi, kosong adalah kosong.”

After the bodhisattva has cut through fixed concepts with the sword of prajna, he comes to the understanding that “form is form, emptiness is emptiness.” At this point he is able to deal with situations with tremendous clarity and skill. As he journeys still further along the Bodhisattva Path, prajna and compassion deepen and he experiences greater awareness of intelligence and space and greater awareness of peace.” (Chogyam Trungpa, “Cutting Through Spiritual Materialism,” Shambhala Classics, Boston-London, 2022:217).

Semesta begitu luas dalam ketidakterbatasannya, ruang begitu penuh dalam kekosongannya, peristiwa mengalir dalam kepenuhan dunia. Dalam diri yang terlatih dan terdidik, segalanya tampak serasi, seimbang, indah apa adanya, begitu saja. Kesenyapan meliputi dan kedamaian yang penuh dalam diri adalah interaksi yang ramah dengan lingkungan dalam kesatuannya, dalam energi yang satu dan sama. Air jatuh dari ketinggian terdengar halus mengalir di sela-sela bebatuan, dedaunan gemerisik kala angin menyapa membisikkan rasa damai yang berakar kuat pada batu dan tanah yang menerima dalam sepenuh kasihnya dalam sepenuh keikhlasannya, kukuh tak tercederai.

Berada dan berhadapan dalam kenyataan yang sesungguhnya, tidak beragresi maupun menjauh, berada dalam energi kosmis yang selalu menguatkan. Kita berserah pada semesta alam, pada pengalaman apa adanya mengatasi dualitas konsep. Pemahaman sunyata yang mengatasi dualitas diatasi melalui pengalaman.

Segala sesuatu tampak apa adanya, “form is form, emptiness is emptiness, it is what it is, tathata,” dalam kejernihan dan terangnya, lepas dari kebingungan atas paradoks yang terjadi, lepas dari kecemasan akan masa depan yang mengancan keamanan, lepas dari masa lalu yang menyedihkan akan keterikatan karena ego.

Keakuan telah bertransmutasi menjadi kebijaksanaan dan welas asih. Kecerdasan spiritual dan welas yang telah lama bersemayam kini bangkit, serasa seperti kehadiran nirvana dalam dunia samsara atau dunia samsara yang sedang dijalani disinari oleh cahaya dan energi nirvana.

Segalanya justru menjadi tampak melebihi pemahaman “bukan semata dualitas,” karena dalam pengalaman yang sesungguhnya selalu ada cahaya dan sinar terang dari segala kutub-kutub yang berlawanan. Segalanya menjadi ekspresi kedamaian yang mengalir jernih dan langsung memenuhi kekosongan semesta! (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

sumber gambar: https://www.teritorial24.com/pariwisata-dan-travelling/29313108/menikmati-keindahan-gunung-slamet-dari-sungai-bakung-destinasi-wisata-alam-yang-menakjubkan-di-pemalangjawa-tengah

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?