Oleh: Jo Priastana
“Nirvana hanyalah akhir dari keburukan dan
kita harus menambahkan, awal dari kebaikan”
(Rhys Davids)
Pencerahan yang menjadi tujuan dalam Buddhisme Zen kerap dimaknai sebagai datang dengan sendirinya dan secara mendadak menghancurkan Keakuan atau Kemelekatan. Keakuan, kemelekatan, Aku atau Ego yang merupakan topeng konstruksi pikiran yang menyembunyikan self atau diri dan realitas yang sebenarnya. Namun begitu, praktik pencapaian spiritual pencerahan itu kerap juga dilukiskan secara berjenjang atau bertahap seperti yang diungkapkan dalam sosok penggembala sapi.
Penggambaran tentang sapi dan gembala sapi mencerminkan proses pencerahan, dimana proses itu pertama-tama terpisah tetapi kemudian bersatu dalam perwujudan kesatuan batiniah semua eksistensi ini. Cerita penggembala sapi ini sesungguhnya satu cerita Tao kuno yang kemudian diperbaharui dan diubah oleh seorang Guru Zen Cina pada abad ke-12 untuk menjelaskan jalan menuju pencerahan. Pada akhirnya cerita pencerahan penggembala sapi ini menjadi klasik dalam kisah-kisah Zen.
Dengan filsafat semiotika dan hermeneutika, kita bisa memandang itu sebagai penanda yang mengandung makna. Sapi menggambarkan realitas tertinggi yang tak terbagi, yaitu kodrat Buddha yang menjadi dasar segala eksistensi. Gembala adalah self, yang pada awalnya mengidentifikasi diri dengan ego individual, terpisah dari sapi. Selanjutnya, melalui pencerahan yang progresif, self itu mewujudkan identitas dasarnya sebagai realitas yang tertinggi yang melampaui semua perbedaan. Marilah kita nikmati proses pencerahan Sang Penggembala itu yang berlangsung dalam sepuluh tahapan perjalanan spiritual.
Sepuluh Pentahapan
Pencaharian Sapi. Penggambaran pertama, memperlihatkan si penggembala sapi yang dengan putus asa mencari ke-mana sapinya yang hilang. Ia tidak puas dengan hidupnya, tidak mampu menemukan kebenaran yang sejati yang menuntunnya kepada kepenuhan yang sedang ia cari. Usahanya untuk memperoleh kekayaan, sahabat-sahabat, kemasyhuran dan kenikmatan tidak membawa ia kepada kepenuhan yang sedang ia cari. Seperti kebanyakan dari kita, ia sedang mencari sesuatu, meskipun ia tidak yakin betul akan apa itu yang akan membuat hidupnya berarti dan yang akan membawa ia kepada kebahagiaan yang bertahan lama.
Menemukan Jejak–Jejak Kaki. Penggambaran kedua, memperlihatkan bahwa ia kini sudah melihat jejak-jejak sapi, dan hal ini membawa harapan bahwa sapinya tidak hilang selamanya. Ini dapat ditafsir artinya bahwa ia telah mengenal kesusahannya dan mulai mencari pemecahannya dalam ajaran-ajaran Buddhisme. Namun ia masih berada pada jenjang berpikir dan berbincang-bincang tentang problem-problemnya dan berbagai macam pemecahan yang mungkin. Ia belum memnemukan jalan yang harus ditempuh dan belum memulai praktik.
Mengamati-amati Sapi. Penggambaran ketiga, ia ternyata melihat sapi itu. Sambil memulai praktik, kini ia menemukan sekejap kekuatan-kekuatan tersembunyi untuk menyembuhkan penderitaannya. Namun ia belum mengerti sumber kekuatan-kekuatan itu dan bagaimana menerapkan mereka ke dalam usahanya untuk mencari kedamaian dan kepuasan. Syair yang berbunyi “alu mendengar nyanyian burung kutilang. Matahari hangat, dan angin bertiup lembut”, menyatakan bahwa realitas yang dilihat sekejap oleh sang penggembala sapi bukanlah sesuatu yang terpisah dari peristiwa-peristiwa biasa yang ia alami, meskipun ia sendiri belum mengenal hal ini.
Menangkap Sapi. Penggambaran keempat, menunjukkan bahwa ia kini menangkap sapi itu dengan menggunakan tali kekang. Ini melambangkan disiplin keras yang dituntut dari praktisi Zen. Meskipun ia kini menyadari bahwa kekuatan untuk mentransfromasi hidupnya terletak dalam dirinya, yaitu dalam kodrat Buddhanya, namun semua hal yang mengkondisikannya sebelumnya sedang menarik-narik dan mendorong-dorongnya ke arah-arah yang berbeda-beda. Memegang tali dengan erat berarti bahwa ia harus bekerja keras untuk mengatasi kebiasaan-kebiasaannya yang buruk pada masa lampaunya, kebiasaan buruk yang berkembang terus oleh karena ketidaktahuan, kebencian, dan nafsu yang menimbulkan semua penderitaannya.
Menjinakkan Sapi. Penggambaran kelima, menunjukkan bahwa praktik disiplin dapat mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk dari hal-hal yang mengkondisikan sebelumnya dan dapat mengantar seseorang untuk menyesuaikan diri dengan kodrat realitas yang benar. Meskipun disiplin masih dibutuhkan karena kebiasaan-kebiasaan lama masih memiliki kekuatan, namun hidup dalam kesadaran yang lebih besar akan realitas yang benar justru memberi seseorang energi dan arah untuk menghayati satu hidup yang utuh. Kini sapi patuh mengikuti gembalanya untuk pulang ke rumah; hal itu berarti bahwa pemisahan antara self dan kodrat yang benar sedang diatasi.
Menunggang Sapi Menuju Rumah. Penggambaran keenam, mengungkapkan ketenangan dan sukacita yang dibawa oleh persatuan kembali dengan sumber eksistensi. Kini sang gembala itu duduk di atas punggung sapi sambil meniup serulingnya dengan penuh gembira. “Perlahan-lahan saya pulang kembali ke rumah” mengungkapkan bahwa ia sudah dibebaskan dari ketakutan dan kecemasan lama. Dengan begitu terbebaskan, sang pencari berkata, “Saya menuntun ritme tanpa akhir” yang berarti bahwa ia kini dapat mengungkapkan energi kreatifnya untuk merayakan kehidupan.
Sapi yang Tertransendensi. Penggambaran ketujuh, sang penggembala telah menyadari identitasnya dengan sapi; sapi dapat dilupakan, karena sapi tidak lain daripada pengalamannya terhadap segala hal setiap hari. Ini dapat ditafsir sebagai yang memiliki arti bahwa pemisahan antara praktik dan perwujudannya sudah teratasi, sebagai sudah teratasi juga pemisahan antara realitas biasa dan realitas tertinggi. Sampai sekarang ia sedang mempraktikkan zazen (meditasi) sebagai sarana untuk mencapai pencerahan. Namun melampaui perwujudan non-dualitas eksistensi, lahirlah kesadaran akan identitas antara sarana dan tujuan; praktik sendiri adalah perwujudan.
Sapi dan Diriku yang Tertransendensi. Penggambaran kedelapan, menceritakan kepada kita bahwa ketika dualitas antara self dan realitas sudah teratasi, maka bukan hanya realitas (sapi) itu terlupakan, tetapi self (sang penggembala sapi) juga demikian; gambar lingkaran melambangkan kekosongan yang meliputi segala-galanya, kekosongan yang memberi dasar terhadap segala sesuatu. Kini, dalam kesadaran akan transformasi yang tak pernah berhenti dan dalam keterkaitan yang menyeluruh pada setiap pengalaman, seseorang dibebaskan dari semua hasrat dan kebencian terhadap yang lain. Dalam kebebasan ini, terdapat satu perasaan akan keseluruhan dan kesempurnaan dari semua hal yang biasa.
Mencari Sumber. Penggambaran kesembilan, menununjukkan ketika self dan realitas (seperti hasil konstruksi) diabaikan, maka segala sesuatu tersingkap adil sebagaimana adanya dalam dirinya; aliran air dari dirinya berkelok-kelok dan mawar merah dari kodratnya berwarna merah. Dalam peristiwa hidup yang biasa justru ditemukan kebenaran yang paling mendalam. Hanya dengan mencari sapi itu sebagai realitas tertinggi yang terpisah, gembala sapi itu dapat menemukan bahwa tidak ada realitas yang terpisah – bahwa realitas tertinggi harus ditemukan dalam hal yang biasa. Betapa luar biasanya hal yang biasa itu ketika dialami dalam keseluruhannya.
Dalam Dunia Biasa. Penggambaran kesepuluh, memperlihatkan sang gembala yang mengalami pencerahan. Sang gembala yang memasuki tempat pasar di kota dan yang menjalankan semua hal biasa yang juga dijalankan oleh setiap orang. Namun oleh karena kesadarannya yang mendalam, setiap hal yang dilakukannya sangat luar biasa sifatnya.
Ia tidak menarik diri dari dunia, tetapi membagikan eksistensinya yang sudah tercerahkan dengan setiap orang di sekitarnya. Bukan hanya ia sungguh menuntun pedagang ikan dan penjaga warung untuk menempuh jalan Buddha, tetapi, oleh karena energinya yang kreatif dan oleh karena daya hidupnya, pohon-pohon yang meranggas pun dapat hidup.
Ketika pencapaian spiritual terjadi, si penggembala sapi menyadari tentang realitas tertinggi semua eksistensi; tak ada sesuatu pun yang tidak merupakan kodrat Buddha (buddha-nature). Ia kini mengerti betapa berharganya dan mendalamnya peristiwa-peristiwa hidup yang sangat biasa ketika ia mengilhami hidup biasa itu dengan pencerahannya.
Penggambaran dalam sosok penggembala sapi yang mencerminkan sepuluh jenjang pencapaian spiritual itu memperlihatkan bahwa pencerahan yang menyingkapkan self yang benar dengan memperlihatkan sebagai self (diri) yang biasa yang sedang melakukan hal-hal biasa dengan cara yang sangat luar biasa. (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Bacaan:
John M. Koller. 2010. (Penerjemah Donatus Sembada). “Filsafat Asia” Maumere. Penerbit Ledalero.
Adams Beck. 2010. (Penerjemah Ahmad Asnawi). “Sejarah Filsafat Timur” (The Story of Oriental Philosophy, New York: Farrar & Rinehart, 1928). Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi (2021).
Wong Kiew Kit. 2004. (Alih Bahasa: Andre Wiriasi). “The Complete Book of ZEN” Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Wing-tsit Chan. 1963. “A Source in Chinese Philosophy.” Princeton, NJ: Princeton University Press.
Walpola Rahula. 1978. “Zen and the Taming of the Bull (Towards the Definition of Budhist Thought)” Gordon Fraser.
***
sumber gambar: https://i.pinimg.com/736x/12/17/68/121768bc8cf2aeb938e549526f436816.jpg