Pendidikan Berbasis Budaya Humanis

Home » Artikel » Pendidikan Berbasis Budaya Humanis

Dilihat

Dilihat : 53 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 70
  • 115
  • 62,199
Pic Pendidikan Budaya

Oleh: Jo Priastana

 

“Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan,

 terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis.”

(Soe Hok Gie, 1942-1969, Aktivis)

 

(kedegilan: tabiat tidak mau menuruti nasihat orang, KBBI, red.)

 

Pendidikan untuk perubahan sosial mensyaratkan terbentuknya pribadi-pribadi yang tidak mementingkan diri sendiri tetapi pribadi-pribadi yang terbuka bagi yang lain atau men for others, pribadi bagi orang lain. Pribadi bagi orang lain bukan pribadi bagi dirinya sendiri yang egoistik. Pribadi bagi yang lain adalah pribadi altruistik yang bersumber pada metta atau cinta kasih universal.

Idioms Buddhis Metta atau cinta kasih yang biasanya disertai pasangannya karuna atau welas asih merupakan sumber bagi terbentuknya pendidikan berbasis kepribadian humanis.  Pribadi bagi yang lain. Pribadi yang memiliki kepekaan penderitaan orang lain. Pribadi yang terbuka dan terlebih kepada mereka yang masih kekurangan, miskin dan lemah yang didasari oleh metta dan karuna.

Pribadi bagi yang lain adalah men for others. Manusia cinta kasih dan welas asih yang adalah juga manusia yang terbuka untuk tumbuhnya keadilan. Pribadi ini melengkapi dirinya dengan empati dan simpati, dengan mudita dan upekkha yang berjuang untuk mengisi kekurangan mereka yang lemah dan miskin berdasarkan rasa keadilan dan keseimbangan.

 

Pendidikan Men for Others

Pribadi bagi yang lain inilah yang membentuk pendidikan berbudaya humanis, pribadi yang peka terhadap penderitaan yang lain dan menganggap dirinya tidak sebagai pusat yang tertutup bagi dirinya sendiri. Pendidikan dimaksudkan untuk tumbuhnya pribadi yang terbuka bagi yang lain, kebalikan dari pribadi yang tertutup bagi dirinya sendiri dalam pendidikan egoistis, sekedar sukses diri semata.

Pribadi yang tertutup tidak akan memberikan apa-apa kepada orang lain. Pribadi yang demikian itu hanya mengumpulkan lebih dan lebih bagi dirinya sendiri, baik dalam hal pengetahuan, kekayaan, dan kekuasaan. Pokoknya, semuanya hanya bagi dirinya sendiri yang berpusat pada keakuannya. 

Sedangkan untuk menjadi men for others, seseorang harus keluar dari dirinya dan memberikan kepada orang lain dalam cinta. Cinta itu tidaklah dimengerti secara sempit, tetapi cinta dalam dimensinya yang luas, termasuk perwujudannya dalam perjuangan keadilan dan pilihan hidupnya yang berkehendak untuk berdiri bagi orang yang masih membutuhkan bantuan, bagi mereka yang miskin, kekurangan dan dalam penderitaan.

Men for others itu mendesak dijalankan oleh pendidikan yang berbasis humanis, pendidikan yang berdasarkan metta dan karuna, cinta kasih dan welas asih dan kepedulian. Dewasa ini, pendidikan berbasis metta dan karuna sangat mendesak untuk diwujudkan, karena semaraknya dehumanisasi yang hampir di segala bidang kehidupan. Wujud dehumanisasi itu adalah egoisme yang merebak dimana-mana, terciptanya orang-orang yang egois dan tidak manusiawi.

Haruskah pendidikan menyumbang pada dehumanisasi? Dehumanisasi tidak sesuai dengan landasan dan tujuan dari pendidikan yang sesungguhnya dan seutuhnya, yakni pendidikan yang membentuk karakter yang baik, sosial dan humanis. Pendidikan yang humanis memanusiakan manusianya sendiri sebagai proses humanisasi manusia. Sebaliknya, pendidikan yang tidak berbasis humanis akan mengubah manusia menjadi benda-benda, dimana benda-benda justru yang akan mendominasi mereka dan mengeksploitasinya.

Pendidikan yang humanis menjauhkan orang dari keegoisannya. Orang egois itu merendahkan martabatnya sendiri. Dia menyerahkan diri pada benda-benda seperti hartanya, menjadi budak bagi hartanya. Orang yang egois bukan lagi pribadi yang memiliki dirinya, ia menjadi un-person, sekadar benda, yang didorong oleh hasrat, insting material-hedonis dan tujuan-tujuannya sendiri.

Jangan sampai pendidikan menghasilkan orang-orang egois. Sebuah tragedi jika pendidikan hanya menghasilkan orang-orang egois. Tragedi men-depersonalisasi manusia dimana akan banyak manusia frustrasi. Karena sesungguhnya dari lubuk hati, kita tahu bahwa yang kita miliki adalah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan siapa diri kita sebenarnya.

Dewasa ini, depersonalisasi itu terjadi terus, bagaikan spiral yang terus melingkar tanpa henti, naik merambat lewat ambisi, persaingan, dan penghancuran diri. Kehidupan menjadi makin terbelenggu oleh dehumanisasi yang menjadikan semakin banyak manusia frustrasi. Dehumanisasi baik kepada diri kita sendiri maupun dehumanisasi kepada orang lain.

Iklim dehumanisasi ini menjadikan egoisme sebagai cara hidup. Pendidikan yang menyumbang dalam mengobjekkan cara hidup egois itu akan memperkuat struktur sosial yang egoistik. Berawal dari egoisme personal dalam prosesnya berkembang menjadi penghisapan terhadap orang lain, merendahkan mereka dan pada akhirnya diri sendiri juga.

 

Egoisme dan Dehumanisasi

Realitas menunjukkan bahwa proses dehumanisasi dan egoisme itu kemudian mengeras menjadi struktur masyarakat. Jadi sesungguhnya struktur masyarakat yang keras dan dehumanisasi itu adalah egoisme yang diobjektifikasikan. Berada dalam struktur itu, egoisme makin mengeras dalam ide, institusi, organisme impersonal. Makin hari makin dipersonalisasikan, lepas dari kendali dan menjadi kekuatan tirani penghancuran diri. Itulah tragedi kemanusiaan yang telah menjadi lingkaran setan.  

Pendidikan yang memiliki landasan dan bercita-cita luhur merupakan proses humanisasi yang harus mampu meniadakan situasi kehidupan dehumanisasi yang telah menggejala itu. Pendidikan mesti memutuskan lingkaran setan itu. Karena itu, penting untuk tidak menjadikan proses pendidikan terperangkap pada ide egoistik yang hanya berjuang untuk memiliki lebih banyak, untuk memiliki lebih dari yang lain, untuk memiliki lebih dan lebih.

Bila pendidikan more-more itu dilakukan, maka hanya akan menjadikan hidup ini menjadi balapan tikus yang kompetitif tanpa makna. Untuk memutusnya, pendidikan harus kembali pada akar yakni membentuk pribadi yang terbuka bagi yang lain, pribadi humanis yang berdasar cinta kasih metta dan welas asih karuna.

Sebuah pendidikan sebagai tindakan nilai yang berlawanan dengan pendidikan yang hanya semata menumbuhkan kepribadian egois. Egoisme manusia yang tak lain adalah penyangkalan cinta dan tidak sesuai dengan ajaran agama.

 

Boat People dan Pendidikan Humanis

Pendidikan berbasis metta dan karuna atau pendidikan humanis diarahkan untuk membentuk men for others, pribadi altruis, pribadi bagi yang lain, pribadi bodhisattva yang peka terhadap penderitaan yang lain. Mungkin pendidikan yang ideal ini tidak mudah, mengingat kita hidup dalam iklim egoisme yang telah menjelma menjadi struktur masyarakat.

Namun begitu, sebagai upaya menciptakan manusia yang berjiwa dan berkarakter yang   humanis, maka pendidikan yang ideal itu tetap harus terus diperjuangkan. Pendidikan untuk mewujudkan men for others tidak akan pernah sia-sia, karena itulah panggilan sejati sebagai pendidik yang sesungguhnya. Panggilan setiap orang beragama yang berdasarkan cinta kasih, panggilan bagi mereka yang memperjuangkan Buddhadharma karena Buddhadharma adalah sebuah pendidikan.

Pribadi bagi yang lain, pribadi humanis yang didasar oleh metta dan karuna itu misalnya tampak pada pribadi yang memiliki keprihatinan dan melakukan tindakan pertolongan kepada mereka yang sedang dalam ancaman bahaya keselamatan jiwanya. Contoh pribadi-pribadi yang pernah melakukan kerja menyelamatkan jiwa yang terancam seperti yang dialami boat people.

Boat People adalah mereka yang mengalami nasib malang yakni para pengungsi yang terombang-ambing di tengah lautan. Para pengungsi orang-orang Vietnam pada akhir perang Amerika-Vietnam di tahun 1970-an. Pada waktu itu terjadi eksodus besar-besaran. Sekitar dua juta warga Vietnam keluar dari negeri mereka. Sebagian besar mereka mencoba lari dengan menumpang kapal. Boat-people itu berusaha mencari tempat tinggal baru. Keberadaan mereka di tengah laut dan tak sedikit yang binasa karena badai lautan, kelaparan, atau serangan bajak laut.

Di antara tahun 1975-1995, para pengungsi itu mendarat di pelbagai tempat, Hong Kong, Filipina, Singapura, Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Pendaratan ini bukan awal kedamaian, tetapi awal dari nasib malang mereka yang panjang. Pengungsi boat people itu, dibayang-bayangi kekejaman perang, bergulat dengan hidup mereka yang tiada lagi menentu, dan penolakan-penolakan dari negara-negara yang tak mau menampungnya. Sebagian besar mereka ditampung di kamp-kamp pengungsian, yang serba kekurangan.

Boat people merupakan krisis kemanusiaan yang dihadapi dunia dan yang perlu ditangani oleh mereka yang berpribadi humanis. Bantuan kepada boat people dari pribadi yang humanis. Kekuatan pribadi humanis yang sejalan dengan semangat “Buddhadharma Yang Terlibat” atau “Engaged Buddhism” yang memberi banyak keselamatan terhadap boat people.

Peristiwa itu memberikan inspirasi untuk mewujudkan pribadi bagi yang lain, pribadi yang humanis dalam dunia pendidikan. Pribadi humanis yang peduli dan siap memberikan bantuan bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan! (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: https://res.cloudinary.com/people-matters/image/upload/fl_immutable_cache,w_624,h_351,q_auto,f_auto/v1613125587/1613125586.jpg

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?