Oleh: Jo Priastana
“Ngrasa dan nglakoni bukan sekadar melakukan namun
sungguh-sungguh menghadirkan pengalaman lahir batin.
Di situlah keguruan dan keorangtuaan kita berada”.
(Henny Supolo Sitepu, Yayasan Cahaya Guru)
Banyak keluhan terdengar dari masyarakat terhadap pendidikan agama yang selama ini berlangsung. Masyarakat religius yang menempatkan agama sebagai titik utama di dalam membangun moralitas dan spiritualitas masyarakat ini masih memandang pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi turut menyumbang terhadap tidak terwujudnya moralitas masyarakat yang bermutu, seperti tampak pada tingginya tingkat kriminalitas, anak-anak sekolah yang jauh dari etika dan budi pekerti, kekerasan dan gejala korupsi yang telah membudaya.
Masyarakat menilai agama harus sanggup memainkan perannya sebagai penegak moralitas masyarakat. Dan ketika apa yang terjadi di masyarakat jauh dari yang diharapkan, maka pendidikan agama di sekolah pun menjadi sorotan. Banyak pakar menilai misalnya Dr. Amin Abdullah (1996) bahwa pendidikan agama yang berlangsung selama ini pada umumnya masih bersifat normatif. Pendidikan agama seperti itu lebih menekankan pada proses pewarisan agama daripada penempatan anak didik untuk mencari pengalaman keberagamaan.
Pendidikan agama yang normatif-dogmatis hanya akan menyuguhkan ke dalam diri anak konstruksi-konstruksi perumusan agama yang diderivasi dari norma-norma tekstual, dogma yang terkandung dalam kitab suci namun kosong dari proses pencaharian spiritualitas, kosong dari nilai moralitas dan spiritualitas agamanya sendiri.
Mengatasi Pendidikan Agama Dogmatis-Normatif
Pendidikan agama yang normatif-dogmatis hanya akan memperkuat fanatisme keberagamaannya dan identitas kelompoknya, jauh dari sikap toleransi. Pendidikan agama seperti ini dinilai membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara dan karenanya tidak heran kalau banyak orang menyuarakan agar pendidikan agama ditiadakan saja sebagaimana banyak di negara lain yang meniadakan pendidikan agama di sekolah.
Tampaknya masih sangat jauh untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah sebagaimana yang banyak terjadi di negara-negara lain. Negara Indonesia dikatakan bukan negara sekuler, karenanya negara pun masih berkewajiban untuk menunjang penyelenggaraan agama termasuk menempatkan pendidikan agama sebagai kurikulum di sekolah. Lalu masalahnya sekarang yang penting adalah bagaimana mengisi kekurangan yang terjadi di dalam pendidikan agama yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat itu.
Dalam rangka untuk mengisi kekurangan pendidikan agama yang sifatnya normatif-tekstual atau dogmatis yang juga berlaku untuk pendidikan agama Buddha itu, menurut hemat penulis amat perlu merintis dan mengembangkan metode pendidikan agama kontekstual.
Diharapkan dengan pendidikan agama kontekstual ini mampu mengisi kekurangan sisi normatif pendidikan agama selama ini. Pendidikan Buddhadharma kontekstual memadukan dimensi historis-empiris agama yang kontekstual dengan dimensi normatif-tekstual dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang berkembang saat ini.
Dengan mengembangkan metode pendidikan agama kontekstual itu maka akan mencerminkan berlangsungnya pendidikan agama yang ideal. Kedua metode itu juga akan menunjukkan dua kekuatan legitimatif yang saling melengkapi bagi suatu agama, legitimasi tekstual dan legitimasi kontekstual.
Dimensi tekstual akan menjamin keabsahan ajaran agama menurut sumbernya, sedangkan dimensi kontekstual akan membuktikan keabsahan tekstual itu dalam kenyataan hidup dan perkembangan jaman, atau bagaimana mewujudkan esensi agama dalam konteks kehidupan, disamping juga menjanjikan anak didik mampu menemukan dimensi-dimensi ajaran yang terdapat dalam fenomena kehidupan dan alam semesta.
Kedua dimensi itu penting untuk selalu menjadi bahan pemikiran dan perumusan untuk mendasari pendidikan agama itu. Dalam terminologi filsuf Arab Al Farabi (870-950) kedua dimensi itu disebut sebagai dimensi teologis dan dimensi pragmatis. Segi yang tekstual adalah yang teoretis bersifat esensial dan abadi, sedangkan yang kontekstual bersifat pragmatis sesuai dengan situasi nyata, kondisi yang dihadapi anak didik, konteks keberadaannya maupun menemukan kebenaran di dalam perkembangan jaman yang selalu berubah.
Segi kontekstual-empiris atau pengalaman keberagamaan itu pula yang juga ditekankan oleh Robert N Bellah (1927-2013), seorang antropolog agama terkenal. Dalam bukunya yang berjudul “Civil Religion”, pakar agama yang terkenal dengan berbagai penelitiannya ini mengungkapkan bahwa agama pada hakikatnya adalah suatu instrumen bagaimana manusia bisa berdialog dengan Tuhan, menangkap pesan-pesan Tuhan dan bisa berperilaku religius sebagaimana pemahaman mereka tentang Tuhan, Nabi, Kitab dan ajaran-ajaran esensial agamanya.
Dengan begitu, dalam bahasa yang sedikit lain, fungsi dari pendidikan agama pada hakikatnya adalah bagaimana memberikan wahana yang kondusif bagi anak didik untuk menghayati agamanya. Pendidikan agama tidak hanya sekedar teoretis (berdasarkan norma tekstual saja) tetapi juga mencakup penghayatan yang benar-benar dikonstruksi dari pengalaman beragama (bersifat kontekstual). Dalam pendidikan agama kontekstual akan mampu memberikan keragaman (pluralitas) bagi tumbuh suburnya penghayatan dan pengalaman beragama, dan bukan sekedar pengajaran teks-teks suci yang bersifat dogmatis dan normatif.
Pendidikan Buddhadharma Kontekstual
Sebagai titik tolak untuk dapat memahami mengenai dimensi tekstual dan kontekstual atau mengembangkan pendidikan agama Buddha kontekstual, bisa disimak mengenai Buddha Dharma yang diperumpamakan Buddha dengan segenggam daun dan daun-daun di hutan luas. Segenggam daun yang telah diajarkan Sang Buddha itulah yang didengar oleh para siswanya pada masa itu, yang kemudian ditekstualisasikan menjadi kita suci Tripitaka. Namun Buddha juga mengemukakan dharma yang diperumpamakan dengan daun-daun di hutan lebat, dharma yang terdapat dalam fenomena kehidupan dan alam semesta, meski belum diajarkan.
Pada suatu hari Sang Buddha berada di Hutan Simsapa di Kosambi. Beliau kemudian mengambil segenggam daun di tanganmya dan bertanya kepada para bhikkhu: “Coba katakan, O Bhikkhu. Mana yang lebih banyak, daun yang ada di genggaman-ku ataukah daun yang ada di hutan ini?” “Tentu saja daun yang ada di hutan ini lebih banyak daripada daun yang ada di dalam genggaman tangan bhante.” “Begitulah juga. O bhikkhu, dari apa yang Aku tahu hanya sebagian kecil saja yang telah aku ajarkan kepadamu dan bagian yang terbesar lagi tidak Aku ajarkan. Mengapa Aku berbuat demikian? Oleh karena hal-hal itu tidak berguna … tidak akan membawamu ke Nibbana. Oleh karena itulah Aku tidak ajarkan hal-hak yang demikian itu kepadamu.” (Samyutta Nikaya XXII 94).
Perumpamaan itu dapat menunjukkan segi tekstual dan kontekstual Buddha Dharma. Dharma yang telah Sang Buddha ajarkan (segenggam daun) akan tercatat menjadi kitab suci dan bersifat tekstual, sedangkan yang tidak diajarkannya (daun-daun di hutan) menunjukkan terdapatnya dharma yang bersifat kontekstual, dalam fenomena kehidupan dan alam semesta, yang jauh lebih luas mengatasi dharma yang yang tekstual. Karena itulah, dalam konteks pendidikan, penting untuk dapat mengajak anak didik melihat dan menemukan dharma yang kontekstual ini, dharma yang tidak hanya semata tertera di dalam kitab suci, tetapi yang justru menjadi rujukannya.
Dharma tekstual pun merujuk kepada realitas kehidupan yang sesungguhnya, karena dharma ini pun sebagaimana Buddha nyatakan mampu membawa kita kepada pantai seberang. Tentunya asalkan kita tidak hanya terpaku dengan dharma tekstual semata, namun menjadikannya rujukan untuk mampu melihat realitas kehidupan. Dharma tekstual adalah ibarat jari yang menunjuk ke bulan, tentunya kita pun tidak perlu hanya terpaku atau berhenti pada jari itu semata, karena jari itu sesungguhnya untuk menunjukkan bulan, realitas kehidupan dan alam semesta yang jauh lebih luas, indah dan dalam. (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: AI (Meta) Generated image