Pendidikan Buddhadharma – Sikkhapada dan Anupubbasikkha

Home » Artikel » Pendidikan Buddhadharma – Sikkhapada dan Anupubbasikkha

Dilihat

Dilihat : 30 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 3
  • 32
  • 31,265
WhatsApp Image 2023-05-10 at 12.34.27 PM

Oleh: Jo Priastana  

 

“Pendidikan adalah Proses dari Kegelapan Menuju Terang”

(Kartini)

 

Mengapa Sang Buddha mengajar? Mengapa Dharma yang indah pada awalnya, pada tengahnya dan pada akhirnya itu harus juga sampai ke hati manusia? Apakah kelahiran manusia di dunia belum selesai, sehingga harus mengenal Dharma? Bila demikian, tampaknya memang bahwa keberadaan kita di dunia ini adalah dalam rangka menyempurnakan diri kita yang belum selesai itu. Diri yang belum selesai yang masih berproses dan memerlukan pelatihan secara bertahap.

Untuk itulah, Sang Buddha mengajar. Untuk itulah, Sang Buddha sepanjang hidupnya memberikan pendidikan Buddhadharma kepada siswa-siswanya, dan membangunkan siswanya dari ketidaksadaran menuju kesadaran, dari kegelapan ketidaktahuan menuju penerangan pengetahuan. Habis gelap terbitlah terang, awan berlalu dengan menitikkan airnya yang memberikan kesuburan bagi kehidupan manusia, awan berlalu membiarkan bulan terang muncul menyinari hari manusia.

Keberadaan kita, kelahiran kita di dunia ini adalah sebagai sebuah perjalanan spiritual. Sebuah perjalanan spiritual, karena kita belum selesai, belum sempurna sehingga memerlukan bimbingan dan arahan yang terdapat dalam Buddhadharma. Bimbingan moralitas, arahan mempraktekkan meditasi bersama guru, dan untuk mencapai penerangan prajna, wisdom kebijaksanaan. Buddhadharma sebagai pendidikan tercermin dalam proses pelatihan (sikkhapada) moral dan spiritual yang dilakukan secara bertahap (anupubbasikkha)

 

Pelatihan Moralitas Sikkhapada

Tanda bahwa manusia hadir belum sempurna misalnya berkaitan dengan moralitas atau silanya. Berkaitan dengan ketidaksempurnaan manusia dalam hal moralitas atau moralitas manusia yang belum sempurna, belum sepenuhnya sehingga memerlukan pendidikan dan pelatihan untuk menyempurnakannya.

Secara garis besar bisa disebutkan ada dua hal pokok yang mempengaruhinya, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam diri sendiri dan faktor eksternal yang merupakan unsur-unsur dari luar individu. Berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya Buddha mengajarkan Hiri dan Ottapa.

Hiri adalah rasa malu untuk melakukan kejahatan dan Ottapa takut akan akibat perbuatan jahat. Hiri dan Ottapa adalah bekal agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang tercela, seperti pelanggaran sila. Karenanya, selain Hiri dan Ottapa, sila juga harus ditanamkan sejak dini agar dapat menghindari hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain (Tejanando, 2005:49).

Buddha adalah guru para dewa dan manusia (Satta Deva Manussanam). Sebagai guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan menggunakan cara atau metode yang tepat. Pendidikan dalam agama Buddha merupakan suatu proses latihan (Sikkhapada) untuk memperoleh kebijaksanaan (Panna). Proses yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula, keberhasilan tidak dapat dilepaskan dari prosesnya.

Sikkhapada berarti proses pelatihan untuk mengusir atau melenyapkan dan memusnahkan segala perilaku yang menghalangi kemajuan peningkatan dalam rohani atau sesuatu yang membimbing keluar dari samsara (Rashid, 1997:24). Pendidikan berasal dari istilah latihan (sikkha), tersirat bahwa Buddhadharma sebagai pendidikan merupakan proses belajar, latihan pelajaran, mempelajari, mengembangkan dan pencapaian penerangan.

Dalam konteks istilah ini termasuk disiplin moral (sila), konsentrasi (samadhi), dan pengetahuan atau kebijaksanaan (panna). Disiplin moral dilakukan terus menerus melalui proses pelatihan (sikkhapada). Pendidikan selalu bersifat fungsional, yang terwujud dalam proses pelatihan atau praktik (Sikkhapada), dan kemajuan setahap demi setahap (anupubbasikkha).

Pendidikan dalam Buddhadharma meletakkan pada proses pelatihan moralitas atau sila. Buddhaghosa dalam kitab Visuddhimagga (1975:10-13) menafsirkan sila sebagai berikut: Pertama, sila menunjukkan sikap batin atau kehendak (cetana). Kedua, menunjukkan penghindaran (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika). Ketiga, menunjukkan pengendalian diri (samvara) dan keempat menunjukkan tiada pelanggaran peraturan yang telah diterapkan (avittakhama),

Sila terkait erat dengan kamma dan sebab akibat. Sila yang baik akan membuahkan kebahagiaan dan pelanggaran sila akan menimbulkan penderitaan. Sila berguna dan dapat melindungi orang yang melaksanakannya, membuatnya menjadi manusia yang halus budi dan sempurna, yang mampu melepaskan diri dari penderitaan. Dalam kehidupan bermasyarakat, sila dapat mengendalikan nafsu indera sekaligus mengendalikan hubungan antar manusia (Mukti, 2003:183).

Dengan memiliki sila maka seseorang akan dicintai, dihormati dan dihargai oleh orang lain (Majjhima Nikaya I,33). Buddha dalam Mahaparinibbana-Sutta juga mengemukakan lima manfaat dari pelaksanaan sila bagi seorang perumah tangga (1) membuat orang bertambah kaya, (2) mendatangkan nama baik, (3) menimbulkan percaya diri dalam pergaulan dengan manusia, (4) memberi ketenangan di saat menghadapi kematian (5) setelah meninggal dunia, akan terlahir kembali di dalam surga (Digha Nikaya II,86).

 

Pelatihan Bertahap Anupubbbasikkha

Pendidikan dalam Pali tradisi, diperoleh dari terminologi ‘sikkha‘. Secara umum menyiratkan bahwa pendidikan merupakan proses belajar, pelatihan pelajaran, mempelajari, pengembangan, dan pencapaian penerangan (Vin.IV.23).

Dalam proses pendidikan itu, secara natural termasuk latihan moral yang tinggi (síla), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan atau pengetahuan (paññä) (A.I.231) dan dikombinasikan dengan kata itu ‘pada‘ dalam ‘sikkhapada,’ yaitu aturan bidang pendidikan, yang mana secara normal dikenal sebagai ‘sekhapatipada‘, yaitu suatu pelatihan bagi pelajar (M.I.354).

Proses latihan moralitas yang tercermin dalam istilah sikkhapada pada praktiknya berjalan secara bertahap. Sikkhapada mencerminkan proses pelatihan moralitas dan Anupubbasikkha mencerminkan perwujudan atau praktiknya yang berlangsung secara bertahap.

Proses perhatian berkesinambungan bidang pendidikan mempunyai karakter fungsional dalam pelatihan atau instruksi, pencapaian atau praktik dan kemajuan secara bertahap (anupubbasikkha anupubbakiriyä anupubbapatipadä) (M.134; D.I.63).

Sang Buddha dalam penyampaian ajarannya mencerminkan seorang Guru. Selain sebagai teladan dimana kehidupan dan dirinya mencerminkan ajaran yang disampaikannya. Seorang guru dharma juga memiliki keterampilan dalam menyampaikan ajarannya agar ajaran tersebut sampai ke hati setiap siswanya dan menggerakkan rasa dan tingkah lakunya.

Sebagai Guru, perlu memberikan suatu yang benar kepada peserta didik. Guru memberikan petunjuk awal yang mulia dalam berbagai lapisan hidup dan pengertian yang mendalam ke dalam usaha. Guru mengajarkannya bagaimana cara berbuat yang benar, hidup sukses dan bahagia. Guru memandu dalam proses latihan dan memastikan keberhasilan siswanya.

Sang Buddha membimbing siswanya agar sejahtera dan makmur, serta mengembangkan kepribadian yang baik dengan perilaku dan pengetahuan sempurna (D.I.124), dan mengakhiri penderitaan, selamat (It.40,53,104; A.I.231). Sang Buddha berperan sebagai pembimbing spiritual siswanya memimpin siswanya ke arah kemajuan, menguasai semua proses pelatihan dan mencapai keberhasilan.

Pendidikan Buddhadharma yang dilakukan Sang Buddha mencerminkan mencakup tiga aspek: pariyatti, patipatti dan pativedha. Sang Buddha secara sabar dan praktis membimbing siswanya melalui proses bertahap. Mulai dengan studi pengenalan ajaran, memandu dalam proses pelatihan dan memastikan keberhasilan.

Dengan begitu, dalam pengajarannya, Sang Buddha memperhatikan kemampuan, potensi dan kehidupan siswa. Cara Sang Buddha mengajarkan ajarannnya ini menunjukkan bahwa Buddhadharma adalah pendidikan kehidupan yang ajarannya tidak terpisah dari persoalan-persoalan kehidupan yang dialami banyak orang, dan telah diawali Sang Buddha dalam Dharmacakra, pemutaran roda dharma pertama kalinya.

***

Daftar Pustaka:

Dharmakosajarn, P. 2008. “Buddhist Morality.” Bangkok: Mahachulalongkornrajavidyalaya University Press.

Jayatileke KN., 1972.  “Ethics in Buddhist Perspective.” Dalam “The Wheel, Vol. IX. No. 175/176. Kandy Ceylon: Buddhist Publication Society.

Teja S Rashid. 1997. “Sila dan Vinaya.” Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi.

Jo Priastana. 2005. “Be Buddhist Be Happy: Bahagia Bersama Tri Ratna.” Jakarta: Yasodhara Puteri.

Jo Priastana. 2018. “Etika Buddha: Moralitas Mandiri dan Keterlibatan Sosial.” Jakarta: Yasodhara Puteri.

Bhikkhu Nanamoli. 1979. “The Path of Purification Visuddhi Magga.” Kandy Srilanka: Buddhist Publication Society.

Majaputera Karniawan. 2021. “Kumpulan Petikan Dhamma (Dhamma Quote: Seri Cariyapitaka, Buddhavamsa, Milindapanha).” Jakarta: Yayasan Yasodhara Puteri.

Arya Kaniawan & Bhikkhu Cittajayo.  2020. “Anupubbikatha: Gradual Teaching’s of The Buddha.” Jakarta: Yayasan Yasodhara Putri.

***

 

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)
  • BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA)

sumber gambar: https://pixabay.com/id/photos/agama-buddha-theravada-biarawati-3818886/

Butuh bantuan?