Pendidikan Dhammasekha Sebagai Praxis Nilai Buddhadharma Kontekstual

Home » Artikel » Pendidikan Dhammasekha Sebagai Praxis Nilai Buddhadharma Kontekstual

Dilihat

Dilihat : 87 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 5
  • 31
  • 25,991

Oleh: Jo Priastana

Philosophy lies the heart of educational endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than any other, for curriculum is a response to the question of how to live good life.

(John Dewey, Pakar Pendidikan)

Program pendidikan Dhammasekha yang menempatkan bagian besar pendidikan agama berdampingan dengan pendidikan umum sesungguhnya adalah model pendidikan yang berbasis pada nilai (Value-based-Education). Dalam model pendidikan dimana waktu pendidikan dan pengajaran sepenuh hari dan bahkan berasrama, tujuan pendidikan Dhammasekkha ini lebih ditujukan kepada pengembangan karakter anak didik yang sesuai dengan nilai-nilai Buddhis.

Pendikan Dhammasekha sepenuhnya berdasar pada nilai-nilai filosofis pendidikan Buddhis dengan menambahkan pada pengetahuan umum dan keterampilan untuk hidup dimana anak didik memungkinkan dapat berpartisipasi dalam kehidupan dan pergaulan sosial. Nilai edukatif dan pedagogis yang sarat dalam filsafat pendidikan Buddhis ini adalah nilai Buddhadharma yang memiliki keterlibatan nyata dengan persoalan-persoalan kehidupan nyata.

Program Pendidikan Dhammasekha juga tidak bisa dilepaskan dari tujuan pendidikan nasional dan karenanya juga menjadi bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang dan Kebijakan Pendidikan Nasional, dalam hal ini adalah Keputusan Dirjen Nomor 485 Tahun 2012 tentang Dhammasekha. Implementasi pendidikan Dhammasekha yang berbasis nilai-nilai Buddhis dan tujuan pendidikan agama Buddha juga perlu memperhatikan berbagai aspek penting dalam pendidikan lainnya, seperti filsafat pendidikan, metode, dan kurikulum.

 

Undang-Undang dan Kebijakan Pendidikan

Keputusan Dirjen Nomor 485 Tahun 2012 tentang Dhammasekha, Bab II Tujuan Pasal 2 ayat 1: Membentuk manusia yang memiliki kecakapan hidup, keterampilan fungsional, sikap dan kepribadian nasional, dan mengembangkan jiwa wirausaha yang mandiri, serta kompetensi untuk bekerja dalam bidang tertentu, dan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Dhammasekha Bab II Tujuan Pasal 2 ayat 2: Memberikan bekal kemampuan dasar sebagai perluasan dan peningkatan kemampuan, agama dan keterampilan yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya, sebagai umat Buddha, anggota masyarakat, warga negara dan sesuai dengan tingkat perkembangannya, serta mempersiapkan mereka untuk hidup dalam masyarakat.

Pendidikan Non Formal Bab III, Tujuan Pasal 3, ayat 3: Jenjang pendidikan TK, SD, SMP dan SMA, keagamaan Buddha yang menyiapkan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama Buddha dan keterampilan untuk hidup mandiri.

Tujuan Pendidikan Nasional (Pasal 3 UU No 20 Sisdiknas Tahun 2003): Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Membentuk sikap spiritual yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sikap sosial yang berakhlak mulia, sehat, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, memiliki pengetahuan yakni berilmu, dan keterampilan yaitu cakap dan  kreatif.

Landasan filosofis kurikulum 2013. Pendidikan berakar pada budaya bangsa, kehidupan masa kini dan membangun landasan kehidupan masa depan. Pendidikan adalah proses pewarisan dan pengembangan budaya. Pendidikan memberikan dasar bagi peserta didik berpartisipasi dalam membangun kehidupan masa kini. Pendidikan mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki peserta didik. Pendidikan adalah proses pengembangan jati diri peserta didik. Pendidikan menempatkan peserta didik sebagai subyek yang belajar. (Eklekif antara filsafat pendidikan Perenialisme, Esensialisme, Humanisme, Progresivisme, Rekonstruksi Sosial).

Memahami Tujuan Pendidikan Agama Buddha

Tujuan Pendidikan Agama Buddha (Dr. V.K. Maheshwari, 2012): The goal of Buddha’s teaching-the goal of Buddhist education is to attain wisdom. In Sanskrit, the language of ancient India, the Buddhist wisdom was called ―Anuttara-Samyak-Sambhodi― meaning the perfect ultimate wisdom.

The Buddha further taught us that everyone has the potential to realize this state of ultimate wisdom, as it is an intrinsic part of our nature, not something one obtains externally, was all round development of child’s personality. This included his physical, mental, moral and intellectual development.  The aim of Buddhist Education is to make a free man, a wise, intelligent, moral, non-violent and secular man.

Students became judicious, humanist, logical and free from superstitious, free from greed, lust and ignorance. Buddhist Education was wide open and available to the people of all walks of life.  The principal goal of the Buddhist Education is to change an unwise to wise, beast to priest.  (Dr. V.K. Maheshwari, 2012)

Sikkha: latihan. Ada 3 macam latihan: melatih kesusilaan tertinggi (adhisila-sikkha), melatih kesadaran tertinggi (adhicitta-sikkha), melatih kebijaksanaan tertinggi (adhipanna-sikkha). (Panjika N. Perawira, “Kamus Baru Buddha Dhamma”, 1993).

Sikkha: knowledge, art, skill, instruction, teaching, lesson, precept, science of grammatical elements, possessed of knowledge, learned. (Arthur Anthony Macdonell, “A Practical Sanskrit Dictionary, Oxford University Press, 1988).

 

Mencermati Prinsip Kurikulum Dhammasekha dan Buddhadharma Kontekstual

Penekanan nilai-nilai pendidikan karakter Buddha yang sejalan dengan empat pilar pendidikan Buddha. Kurikulum menekankan praktik, bukan teori, menekankan belajar aktif yang berciri contextual teaching and learning serta belajar berbasis otak.

Implementasi tidak mengulang kurikulum Pendidikan Agama Buddha, dan penting untuk disesuaikan dengan ciri-ciri pendidikan nonformal yang terintegrasi. Selalu itu, pendidikan Dhammasekha merupakan wujud aplikasi atau praxis nilai Buddhadharma Kontekstual.

Pengertian “Buddhadharma Kontekstual” (Jo Priastana, “Komunikasi dan Dharmaduta”, 2004): Penerapan buddha dharma atau ajaran Sang Buddha dalam menjawab permasalahan yang terjadi dalam kehidupan dunia ini. Menerapkan dhamma tekstual dalam menjawab berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan yang berubah dan terus berkembang.

“Buddhadharma berarti kebangkitan – kesadaran yang berkembang yang terjadi dalam diri, perasaan, pikiran seseorang dan terjadi di dalam dunia. Kalau kamu bangun dan sadar, kamu tidak dapat melakukan sesuatu selain tindakan yang penuh kasih sayang untuk membebaskan segenap penderitaan yang kamu saksikan di sekitar kamu. Jadi Buddhadharma harus terlibat di dunia. Jika tidak memiliki keterlibatan, itu berarti bukanlah Buddhadharma.” (Engaged Buddhism, Thich Nhat Hanh).

Konteks masa lalu dan konteks masa kini. Konteks masa lalu menyangkut latar belakang Dharma tekstual itu sendiri, sedangkan Dharma kontekstual masa kini menyangkut mengenai aplikasi Dharma, serta upaya memahami fenomena alam semesta dan kehidupan sebagai teks, atau Dharma yang tersirat.

 

Penguasaan Filsafat Pendidikan dan Kurikulum

Penting untuk mengetahui dan melengkapi dengan berbagai macam aliran Filsafat Pendidikan yang ada, diantaranya aliran filsafat pendidikan utama, seperti: Perrenialism,  Essentialism, Experimentalism, Reconstructuionisme, Romantic Naturalism, Existentialism (Tanner and Tanner, 1980). Segenap aliran filsafat pendidikan ini penting dipahami dan dikenali untuk membangun keutuhan dalam prinsip dan tujuan dari pendidikan, termasuk dalam penerapan pendidikan Dhammasekha.

Dengan memahami segenap aliran filsafat pendidikan yang ada, penting untuk mengenali secara utuh aliran filsafat pendidikan dan dengan mencermati tujuan dari masing-masing aliran filsafat tersebut untuk dapat melihat sejauh mana relevansinya. Penerapan dari masing-masing aliran filsafat pendidikan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan pendidikan. 

Tujuan yang terkandung dari masing-masing aliran filsafat pendidikan. (1) Perrenialism: cultivations of rational powers, academic excellence. (2) Essentialism: cultivations of the intellect, academic excellence. (3) Experimentalism: reflective thinking for social problem solving; democratic citizenship; growth. (4) Reconstructionism: building an ideal democratic social order.  (5) Romantic Naturalism: individual freedom to develop one’s potentials. (6) Existentialism: inner search for the meaning of one’s own character.  

Isi kurikulum yang tercakup dalam masing-masing aliran filsafat pendidikan tersebut adalah: (1) Perennialism: liberal arts; great books. (2) Essentialism: fundamental academic disciplines. (3) Experimentalism: comprehensive, unified, problem-focused studies, in democratic classroom setting.  (4) Reconstructionism: Social problems, corrective programs scientifically determined for collective action. (5) Romantic Naturalism: Learning Activities Based Upon Child’s Felt Need. (6)  Existentialism: Themes on the human condition; learning activities, free of rational constraints, designed to free the individual to find his own being.

Metode yang terkait dengan aliran filsafat pendidikan tersebut adalah: (1) Perrenialisme mencakup mental disiplin, Literary analisis. (2) Essensialisme mencakup mastery of academic subject matter. (3) Experimentalisme mencakup social problem solving through reflective thinking (scientific method) and democratic process. (4) Rekonstruksionisme mencakup critical analysis of social flaws and programic needs for corrective action. (5) Romantic Naturalisme mencakup Laissez Faire, free learning environment for artistic self-expression. (6)  Existentialisme mencakup introspection (examining one’s own feelings, impulses, thoughts) in a free learning environment.  

 

Kurikulum Sebagai Praksis Kontekstual

Pengertian baru dalam Kurikulum. Perluasan dari konsep kurikulum sebagai proses dengan penambahan perlunya komitmen bersama menyepakati (antar pelaku pendidikan) kegiatan-kegiatan yang diperlukan (sebagai bagian dari proses pembelajaran) untuk mencapai target tertentu yang telah ditetapkan. Pendekatan sistem: materi à proses à produk (konsep: teoritis à praktis à produktif).

Penguasaan materi pembelajaran diperoleh melalui siklus aksi dan refleksi berkelanjutan (continuous action-reflection). Pentingnya peran guru dalam menghasilkan komitmen dari siswa untuk mencapai target tertentu yang telah ditetapkan. Perlunya tambahan pendekatan transdisipliner melalui tema pembelajaran yang kontekstual dengan sekitarnya untuk memastikan praksisnya relevan.

Kurikulum Sebagai Materi

Planning oriented, mewakili pandangan teoritis. Dipergunakan di Indonesia periode sebelum tahun 2000. Kurikulum sebagai wahana menyampaikan pengetahuan (knowledge transmission) dari guru ke siswa. Perencanaan pembelajaran sangat dominan dan ketat berdasarkan urutan logis dari materi pembelajaran.

Guru melaksanakan pembelajaran dengan meneruskan apa yang diketahuinya kepada siswa sesuai dengan silabus yang telah ditentukan. Penilaian berdasarkan atas penyerapan materi pengetahuan oleh siswa terhadap rencana materi pengetahuan yang tertuang dalam silabus.

Kurikulum Sebagai Produk

Result oriented, mewakili pandangan produktif. Dipergunakan di Indonesia dalam periode dekade 2000an. Dipicu oleh kebutuhan pasar atas kompetensi yang harus dikuasai oleh lulusan (produk) program pendidikan. Berkembang dari Inggris (sejak 1980an). Kebebasan dalam penyampaian pembelajaran, yang penting hasil akhirnya harus sesuai standar, yaitu memiliki kompetensi sebagaimana dirumuskan.

Sangat tergantung pada penilaian terstandar (harus ketat) sejalan dengan konsep produk dimana pengecekan adalah pada hasil akhir yang harus sesuai standar. Diadopsi di Indonesia dalam bentuk KBK dan KTSP, dengan modifikasi bahwa produk akhir diterjemahkan dari materi yang harus dikuasai, sehingga standar lulusan diturunkan dari standar isi.

Kurikulum Sebagai Proses

Action Oriented, mewakili pandangan praktis. Tidak pernah digunakan di Indonesia. Dipicu oleh kebutuhan individual siswa yang tidak dapat diseragamkan. Berkembang dari Finlandia (sejak 1990an). Penekanan pada berpikir kritis yang diwujudkan dalam tindakan nyata dengan membangun kolaborasi antar pelaku pendidikan (guru, siswa, pengelola).

Mengevaluasi proses secara terus menerus melalui pemantauan proses dan capaiannya secara ketat. Penilaian berdasarkan kemajuan siswa dalam pembelajaran (relatif terhadap dirinya pada periode sebelumnya). Hasil akhir dapat berbeda bagi tiap siswa sesuai dengan bakat dan minatnya.

Menurut pandangan Rousseau (1762) … terbanyak masalah pendidikan adalah masalah motivasi, karena para guru mencoba mempercepat berbagai hal. Mereka berbicara tentang geografi sebelum anak tahu jalan di sekitar belakang rumahnya. Mereka mengajar sejarah sebelum anak mengerti sesuatu tentang motivasi orang dewasa …. Akan jauh lebih baik, membiarkan pertanyaan-pertanyaan muncul secara alamiah …. Bila seorang anak telah termotivasi sendiri, guru tidak dapat menahan dia belajar. (Dikutip dari The Rise and Fall of Childhood, oleh C. John Sommerville, 1990). (JP). ***

(Naskah ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Agama Buddha Dhammasekha di STAB Nalanda, Jakarta Sabtu 2 November 2013).

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)
Butuh bantuan?