Oleh: Jo Priastana
“Patriotisme tidak terdiri dari mengibarkan bendera,
tetapi dalam berjuang agar negara kita menjadi benar dan juga kuat”.
(James Bryce, Aktor dan Musisi)
Dari manakah awal terjadi keruntuhan Bangsa? Bila kebaikan umum nyatanya tidak menjelma dalam masyarakat, namun yang terjadi justru adalah kemerosotan moral manusia, seperti egoisme, keserakahan dan berbagai kebusukan lainnya. Disitulah terjadi krisis sosial, kemerosotan masyarakat, distorsi kebaikan umum, dimana kebenaran dan kebaikan menjadi langka yang akhirnya menghantar pada keruntuhan bangsa.
Distorsi kebaikan umum terjadi bila masyarakat terutama pemangku kepentingan publik, hanya menjadikan tindakan-tindakannya sebagai slogan saja dengan mengatasnamakan kebaikan umum. Sedangkan yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan demi kepentingan pribadi yang didasari oleh egoisme yang menghantar pada kemerosotan moral masyarakat sehingga mengancam keruntuhan bangsa.
Bila kebaikan umum telah terdistorsi dan menyebabkan terjadinya krisis sosial, maka disitulah awal kemerosotan masyarakat yang menyebabkan terjadinya keruntuhan bangsa. Bila egoisme dalam keserakahan, kebencian, dan kebodohan menggejala, maka disitulah terjadi kemerosotan masyarakat yang menghantar pada keruntuhan Bangsa.
Kemerosotan Moral dan Keruntuhan Bangsa
Sang Buddha di dalam Digha Nikaya III, bersabda: “… Apabila kekayaan tidak dilimpahkan kepada kaum miskin, maka kemiskinan makin meluas di kalangan manusia; dengan demikian, pencurian pun makin merajalela … penggunaan senjata … pemusnahan kehidupan … penipuan … kebencian … pandangan salah … perzinahan di kalangan keluarga, nafsu birahi yang tak terkendali, nafsu birahi yang salah … merajalela; maka berkuranglah penghormatan kepada orang tua, …kepada para pertapa dan brahmana … kepada kepala keluarga … Di kalangan umat manusia yang demikian kesepuluh jenis perbuatan baik digantikan oleh kesepuluh jenis perbuatan jahat; bahkan istilah baik tidak lagi dikenal, apalagi membawa kebaikan … Mereka yang tidak lagi menghormati para pertapa dan brahmana … dan kepala keluarga … malah dipuji dan dihormati … Umat manusia akan terbenam dalam pergaulan bebas, seperti kambing dan domba, unggas dan babi. Di kalangan umat manusia yang demikian, saling membenci menjadi biasa, kejahatan, permusuhan, dengan membunuh menjadi biasa. Bagaikan pemburu melihat binatang buruannya, demikian pula mereka berpikir: “Di kalangan umat manusia akan muncul zaman senjata … dimana mereka memandang sesamanya bukan sebagai manusia melainkan sebagai binatang buruan” … dan mereka saling membunuh sesamanya … Tetapi bilamana mereka kemudian berpikir: “Karena kita jatuh dalam kejahatan, kita menderita kerugian sanak saudara … marilah kita menghormati orang tua, menghormati para pertapa dan brahmana, menghormati para kepala keluarga … Maka di antara orang-orang demikian hanya akan ada tiga penyakit, yaitu: keinginan, kelaparan, dan usia tua; dan dunia ini akan makmur dan sejahtera kembali …” (Corneles Wowor, dkk, 1990, “Pendidikan Agama Buddha, Universitas Terbuka,”: 221).
Buddha mengingatkan tentang bahaya kemerosotan moral. Dalam Parabhava Sutta disebutkan beragam perilaku kemerosotan moral. Perilaku yang menjadi sebab penderitaan serta kemerosotan masyarakat itu terdiri dari: (1) Orang yang mengingkari Dharma. (2) Mencintai orang jahat, menyenangi kejahatan dan tipu muslihat, dan tidak berbuat sesuatu yang menyenangkan orang baik-baik. (3) Senang tidur, pergaulan yang foya-foya, malas, mudah tersinggung, tidak bersemangat. (4) Kaya, makmur tapi tidak membantu orang tuanya. (5) Pembohong, penipu brahmana atau samana dan orang suci lainnya. (6) Kaya raya namun tidak sosial. (7) Sombong atas keturunan, kekayaan, sukunya bahkan merendahkan sanak keluarganya sendiri. (8) Menyerahkan diri pada wanita-wanita, minuman keras, perjudian, boros. (9) Tidak puas dengan istri sendiri, berhubungan dengan wanita pelacur, terlihat bersama istri orang lain. (10) Telah melewati masa muda namun tetap cemburu pada wanita yang berpayudara seperti buah timbaru dan tidak dapat karenanya. (11) Memuliakan wanita yang serakah, yang boros atau lelaki yang sejenis. (12) Memiliki sedikit kekayaan tapi banyak keinginan, terlahir sebagai kesatria dan mengharapkan kerajaan.
Defisit Moral dan Tragedi Kemanusiaan
Sang Buddha di dalam Digha Nikaya III, dan Parabhava Sutta itu mengungkapkan tentang kemerosotan moral yang berkembang dalam masyarakat. Kemerosotan moral berarti pula tiadanya integrasi moral yang dapat menghantar kepada keruntuhan bangsa.
Maraknya korupsi, hedonisme, hipokrisi, kerakusan, tragedi kemanusiaan, penyalahgunaan wewenang para pejabat cermin dari defisitnya moralitas yang dapat mengancam keruntuhan Bangsa. Kemorosotan moral yang tercermin dalam defisit integritas moral itu jauh dari bayangan para bapak pendiri bangsa yang memiliki komitmen dan cita-cita ketika membangun kebangsaan dan mendirikan negara yang dicita-citakannya.
Dalam defisit moralitas itu, kepentingan bangsa diabaikan demi kesenangan pribadi. Gaya hidup mewah dipamerkan di tengah rakyat miskin yang mendambakan kesejahteraan. Korupsi dilakukan ditengah harapan publik pada penyelenggaraan negara yang bersih dan benar. Hukum digadaikan di tengah kerinduan bersama pada tegaknya keadilan. Bahkan warga sendiripun dibunuh secara biadab dan masal (Sukidi, Kompas, 20/10/22).
Itulah defisit integritas moral, penggerak utama dibalik kejatuhan suatu bangsa. Edward Gibbon, dalam “The History of the Decline and Fall of the Roman Empire (1776 & 1789)” mengingatkan para pemimpin untuk belajar dari sejarah peradaban dunia agar Indonesia tidak terjatuh sebagai bangsa yang mengalami kemerosotan moral dan menjadikannya negara gagal.
Ketika negaranya luluh lantak akibat bom atom AS yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima, keluar kata-kata yang terkenal dari mulut Sang Kaisar, “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Itulah respon pertama Sang Kaisar setelah mendengar luluh lantak negaranya di penghujung Perang Dunia II. Kata-kata Sang Kaisar yang membuktikan optimisme, bahwa selama masih Sang Guru yang memutar roda pendidikan, negara dan bangsa Jepang tidak akan runtuh.
Kaisar Hirohito mengungkapkan bahwa Jepang tidak akan bisa mengejar Amerika jika tidak belajar. Karenanya, ia kemudian menghimbau pada para Jenderalnya untuk mengumpulkan seluruh guru yang tersisa di seluruh pelosok Jepang. Sebab kepada para gurulah seluruh rakyat Jepang kini harus bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan! Itulah alasan Sang Kaisar menyelamatkan para guru, memajukan dunia pendidikan, karena ia tahu Guru adalah penyelamat Bangsa, mendidik generasi berintegritas yang memajukan negara dan Bangsa! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://imageio.forbes.com/specials-images/imageserve/61d5b5f9529aee8feb22c68a/Rear-view-of-schoolgirl-raising-her-arm-to-answer-the-question-in-the-classroom-/960×0.jpg?format=jpg&width=960