Pengemis Dana Profesional; Pembajakan Ajaran Buddha

Home » Artikel » Pengemis Dana Profesional; Pembajakan Ajaran Buddha

Dilihat

Dilihat : 552 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 60
  • 110
  • 58,814
pengemis dana

Penulis:

 

Belakangan ini publik digemparkan dengan adanya isu “Giro” (Bagi Loro, bagi dua) yang dikemukakan oleh Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera pada acara Munas VII Patria pada 25 Maret 2023. YM Bhante mengkritisi adanya sejumlah oknum yayasan yang membuat perjanjian bawah tangan bahwa dari dana yang diterima wihara, 50% nya untuk yayasan penggalang dana dengan dalih operasional. Misalnya kebutuhan dana 500 juta, maka bisa menjadi 1 milyar dengan 500 juta lagi untuk pencari dana.

Hal senada juga dikemukakan YM. Bhikkhu Ashin Kheminda (melalui kanal Youtube Dhammavihari Buddhist Studies) yang mewanti-wanti umat untuk berhati-hati dan kritis terhadap setiap penggalangan dana meskipun mengatas namakan organisasi dan pengembangan Dhamma sekalipun. Ditambah adanya surat edaran dari komunitas Dharmaphala Nusantara (FABB) pada 20 Maret 2023 dengan nomor surat 010/SPem/DPPDN-FABB/III/2023 yang pada intinya juga meminta segenap umat Buddha berhati-hati terhadap setiap pemggalangan dana. Bahkan belakangan ini dilakukan secara masif dan mengganggu lewat Whatsapp, Facebook, dan berbagai media sosial (seperti mengemis).

Fenomena mengemis selalu diidentikkan dengan realitas kemiskinan. Mengemis sering diidentikan dengan masyarakat kelas bawah yang mencari nafkah dengan mengharapkan rasa iba. Pengemis dengan berbagai macam rupa telah menimbulkan pandangan yang kurang menyenangkan, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Munculnya fenomena berdana pada yayasan Buddhis yang menyalurkan dana untuk mengembangkan Dharma diindikasikan karena himpitan ekonomi dan sempitnya sumber daya yang dimiliki umat Buddha di Indonesia.

Namun, prasangka tersebut kiranya mulai tergerus oleh perkembangan zaman. Meskipun selalu ada prasangka bahwa menggalang dana itu karena miskin sumber daya atau kekurangan dana. Namun fakta yang sesungguhnya tidaklah begitu. Sebab, praktik menggalang dana saat ini telah bergeser makna dan orientasinya. Menggalang dana tidak lagi menjadi sebuah keterpaksaan dalam rangka menutupi kekurangan dana, namun merupakan pilihan pekerjaan yang menjanjikan. Sebab, dengan modal yang sedikit, menggalang dana dapat menghasilkan keuntungan yang lumayan cukup memuaskan, hal ini tidak lain dengan mengemis dengan kamuflase.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi praktik menggalang dana ini, di antaranya ada faktor ekonomi, agama, budaya, dan sosial. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dalam membentuk praktik tersebut, di samping juga ada faktor internal individu maupun kelompok yang bersangkutan. 

  • Faktor Agama

Faktor agama merupakan salah satu faktor yang juga memengaruhi perilaku mengemis ini. Secara formal, memang ada beberapa ayat dalam Dhammapada yang menganjurkan untuk berdana.

Misalnya dalam Dhammapada 55 yang dalam arti sebenarnya dalam penggalan Dhammapada tersebut hanya dipertegas dengan kata “kebajikan” yang dipersempit dengan hanya untuk berdana. Sehingga, ini kemudian menjadi pembenaran bahwa perilaku mengemis adalah sesuatu yang sah dan diperbolehkan dalam ajaran Buddha.

Di samping itu, dalam Buddhis dikenal dengan pemahaman “anicca” bahwa segala sesuatunya tidak kekal dan telah ditegaskan dalam Samyutta Nikaya 35.43 yang secara singkat berarti, tidak melekati harta yang kita miliki dan memberikannya sebagian untuk berdana, termasuk kepada yayasan Buddhis, merupakan sesuatu yang dianjurkan. Tetapi, efek sampingnya memunculkan fenomena menggalang dana dan keberadaan peminta-minta atau pengemis profesional ini, dalam kaitannya dengan ajaran agama adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan.

  • Faktor Budaya

Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya. 

Ada beberapa pendapat tentang asal kata pengemis, salah satu pendapat mengatakan bahwa istilah pengemis berasal dari bahasa Jawa, karena kata tersebut ada dalam kamus-kamus bahasa Jawa. Akan tetapi, tampaknya bukan dari Bahasa Jawa kuno, karena kata tersebut tidak terdapat dalam kamus-kamus Jawa kuno, seperti Old Javanese-English Dictionary atau versi terjemahannya dalam bahasa Indonesia (1995). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mengemis punya dua arti, yakni “meminta-minta sedekah” dan “meminta dengan merendah-rendah dan dengan penuh harapan”. Adapun pengemis adalah orang yang meminta-minta. Menurut KBBI, kata dasar mengemis adalah emis dan bukan kemis.

Bila kita kaitkan dengan persoalan mengemis, maka mengemis adalah sebuah profesi yang menjadi penopang hidupnya sehari-hari. Artinya, memang pada dasarnya mental pengemis telah dimiliki oleh orang-orang tersebut, seperti malas bekerja keras, namun berharap mendapatkan penghasilan yang banyak. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka hanya menggantungkan diri dari pekerjaannya sebagai seorang pengemis dan tidak ada pemasukan dari pekerjaan yang lain.

Sebab, memang pada dasarnya pekerjaan ini sangat menggiurkan, terutama pada segi pendapatan yang lumayan besar dengan tenaga yang relatif kecil. Daya tarik itulah yang menjadikan mereka secara terus-menerus tergantung dan menekuni profesi ini. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, pengemis tersebut hanya menggantungkan diri dari pendapatannya mengemis.

Sepanjang sejarahnya, sejak masa kerajaan, masa pemerintahan Kolonial Belanda, hingga masa pemerintahan Indonesia modern kebanyakkan masyarakat etnis Jawa terutama di pedesaan sangat lekat dengan tradisi kebersamaan dan bahu-membahu yang sering kita dengar dengan istilah gotong-royong, dan tidak hanya terbatas pada yang berkaitan sosial saja, tetapi juga dalam urusan mengembangkan keagamaan. Termasuk dalam pembangunan sarana dan prasarana keagamaan bagi umat Buddha di pedesaan seperti vihara maupun cetiya dan lain sebagainya. 

Semula mereka tulus demi untuk berkembangnya Dharma di desa mereka. Namun, lambat laun dari panitia pembangunan mencoba memberikan sedikit hasil dari usaha tersebut untuk sekadar pengganti lelah. Akan tetapi, ini terus berlanjut ke jenjang pendapatan dengan cara mereka cukup menyetorkan sebagian uang dari hasil yang mereka dapat. Kemudian dari hasil pembagian tersebut meningkat menjadi bisnis pendapatan, biasanya ada panitianya yang dikoordinir oleh seorang ketua. Panitia ini bisa disewa oleh desa lain, baik dalam hal pembangunan vihara dan cetiya.

Unsur ketulusan mulai terkikis dengan pendapatan yang menjanjikan. Apalagi didukung pendapatan yang minim dan tidak menentu, menjadikan mereka memutar otak untuk melakukan aktivitas tersebut sampai turun-temurun. Hasil dari penggalangan dana ini digunakan untuk menambal kebutuhan hidup sehari-hari. Modus yang dilakukan menggunakan berbagai cara, yaitu:

  • Renovasi Vihara/Cetiya

Renovasi vihara/cetiya ini merupakan cara lama dalam menggalang dana dan salah satu cara terampuhnya adalah dengan membawa-bawa nama Bhikkhu/Bhante untuk dibuatkan kuti ataupun fasilitas penunjang lainnya. Pada dasarnya orang-orang akan berdana tanpa curiga dan berpikiran bahwa panitia maupun warga sekitar yang membantu tidak mendapatkan imbalan karena semua telah dibayar dengan karma baik.

Namun, dalam perkembangannya, cara menggali sumbangan tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu dengan memanfaatkan kedermawanan masyarakat-umat Buddha khususnya dengan cara pola bagi hasil antara panitia dengan para pelaku tersebut dengan motif ekonomi semata.

  • Mengajukan Proposal

Penggunaan proposal pembangunan digunakan dalam penggalian dana terlebih dahulu adanya perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban antara panitia pembangunan dengan yayasan Buddhis yang menggalang dana. Yayasan Buddhis tersebut memberikan sarana berupa proposal dan bertanggung jawab penuh untuk melakukan advokasi dan mengutus orang yang mencari dana tersebut seandainya mereka sampai dilaporkan sebagai pungutan liar oleh pada pendana atau sampai ditangkap aparat keamanan baik yang berada di tempat basis yayasan tersebut beroperasi atau di tempat wilayah pencari dana melakukan operasi. Proposal yang dibawa adalah asli, berikut alamat dan nomor telepon panitia tersebut. Sebab, tidak jarang masyarakat melakukan crossceck melalui telepon terhadap proposal yang dibawa. 

  • Faktor Ekonomi

Dalam fenomena ini, faktor ekonomi merupakan motif atau dorongan yang menjadikan mereka menjadi pengemis dana profesional. Miskinnya sumber daya manusia pada umat Buddha di pedesaan turut mempengaruhi sehingga meriwayatkan munculnya kegiatan menggalang dana menjadi pilihan yang rasional untuk dilakukan. Penyebabnya semula dikarenakan minimnya dana yang terkumpul untuk pembangunan vihara/cetiya hingga pembangunan menjadi mangkrak. Melihat adanya kejadian ini membuat umat Buddha di pedesaan mulai menggalang dana.

  • Faktor Sosial

Perilaku menggalang dana ini, karena sudah berlangsung lama dan banyak yang melakukannya, akhirnya menjadi sebuah fenomena sosial yang lumrah dan berkembang, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Secara horizontal, artinya akan ada umat Buddha dengan status tingkat ekonomi rendah yang akan mengikuti perilaku ini, mengingat keuntungan dan kemudahan yang ada. Secara vertikal, artinya profesi ini bisa diturunkan dari generasi ke generasi karena kebiasaan.

Kasus Mengemis Secara Profesional 

Kasus ini kiranya tepat untuk menggambarkan fenomena “mengemis” di suatu yayasan Buddhis yang berdomisili di Jakarta, berdasarkan pengalaman penulis menelusuri fenomena ini di salah satu yayasan bercorak Buddhis di Jakarta. Mayoritas karyawannya adalah mahasiswa aktif dan lulusan sebuah lembaga pendidikan di bawah naungan yayasan Buddhis tersebut, yang seharusnya dipersiapkan untuk menjadi tenaga pendidik agama Buddha atau berkarya dalam pengembangan Buddhisme di Indonesia. Mereka sudah terlalu nyaman menyandarkan hidupnya dengan pola pekerjaan meminta-minta seperti ini.

Meskipun tingkat kesadarannya variatif, namun sejak tahun 2019 mayoritas mahasiswa/alumni tersebut pernah menjalani profesi ini. Secara umum, modus operasi yang sering digunakan adalah mengatasnamakan panitia pembangunan vihara, cetiya, fang sheng (放生), penyetakkan buku-buku Dharma, berdana untuk program beasiswa mahasiswa asuh atau produk pengembangan Dharma lainnya untuk menarik sumbangan dana ke daerah lain. Setiap karyawannya dibekali dengan surat-surat resmi berstempel dari yayasan atau panitia yang bersangkutan dan sudah memiliki template untuk WhatsApp blast yang mereka kirim.

Mereka terorganisir secara rapi untuk melakukan praktik mengemis dana ini ke orang-orang melalui WhatsApp blast bahkan sampai ke luar negeri, yang mana penerimanya adalah mamanya teman dekat saya, padahal mamanya teman saya tidak begitu aktif di vihara dan ia juga sempat bingung dari mana nomornya didapatkan.

Bukan hanya itu, kadang yang menerima juga ada dari orang-orang non-Buddhis, mungkin mereka beranggapan yang penting kirim WhatsApp blast ke orang Tionghoa dulu meski non-Buddhis siapa tahu nanti akan disampaikan ke kerabatnya yang Buddhis, dan cara tersebut lumayan berhasil, contoh kasusnya yiyi (tante) saya pernah mendapatkan WhatsApp blast tentang ajakan untuk berdana di sebuah vihara di wilayah Jawa Tengah dan karena yiyi saya seorang Kristen tentu dihiraukan, maka ia langsung melemparkannya ke saya karena ia pikir saya Buddhis dan akan lebih menanggapi WhatsApp blast tersebut.

Tetapi saya pernah berpikir dari mana mereka mendapatkan nomor yiyi (tante) saya atau jangan-jangan mereka punya daftar kontak nomor WhatsApp orang-orang Tionghoa tanpa peduli agamanya yang penting disampaikan kepada orang Tionghoa meski bukan Buddhis nanti akan disampaikan ke kerabatnya yang Buddhis karena orang Tionghoa pasti banyak kerabatnya yang sudah pasti Buddhis, dan mungkin juga mereka berpikir semua orang Tionghoa pasti banyak uang.

Dilihat dari kehidupan sosial ekonomi, para mahasiswa yang menjadi karyawan yayasan Buddhis tersebut tidaklah terlalu miskin. Sebagaimana pada umumnya, tingkat ekonomi para mahasiswa ini sebagaimana standar masyarakat pada umumnya di pedesaan.

Bahkan, ada beberapa yang di atas standar tersebut, orang tua mereka memiliki sebidang tanah, sawah, perkebunan, peternakan atau aset lainnya di kampung halaman mereka. Dari aspek keagamaan, mereka boleh dikatakan memiliki sadha yang cukup, baik secara tampilan maupun perilaku di depan umum. Sebab, secara latar belakang sosial dan geografis, mereka kebanyakan berasal dari provinsi Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemungkinan sudah ditanamkan nilai-nilai budaya dan keagamaan yang kental dan cukup baik dari orang tua mereka.

Kegiatan menggalang dana atau mengemis secara profesional ini bagi mereka disebut dengan “marketing dana”. Istilah ini digunakan untuk menyebut mereka yang bertugas sebagai pengemis dana. Istilah ini mulai familiar sekitar 3 tahun ke belakang atau sekitar tahun 2019, dan tampaknya sudah menjadi tradisi pencarian yang dilakukan dari angkatan ke angkatan. Dengan menggunakan modal proposal baik yang berupa soft copy maupun hard copy dan WhatsApp blast, mereka sudah menganggap “legal” untuk meminta sedekah atas nama berbuat kebajikan dan mengumpulkan parami maupun karma baik.

Jika ditelusuri, ternyata yayasan Buddhis yang dimaksudkan ini memang benar-benar mengadakan penggalangan dana. Inilah mengapa praktik mengemis secara profesional ini disebut sebagai kegiatan yang terorganisir dan sudah menjadi profesi. Para “marketing dana” ini juga diberikan pelatihan setiap seminggu sekali, gathering sebulan sekali di ballroom sebuah hotel maupun restoran, bahkan bagi yang telah mengumpulkan dana terbanyak akan diberikan reward dan diumumkan saat gathering sambil berpesta pora yang mereka sebut sebagai prestasi.

Jualan Beasiswa Mahasiswa Asuh; Jualan Kemiskinan dan Rasa Iba

Bisakah kita menyamakan Program Beasiswa Mahasiswa Asuh dengan menjual kemiskinan? Atau kalau mau lebay sedikit kita samakan dengan human trafficking? Sejatinya program beasiswa mahasiswa asuh bertujuan sangat baik yaitu supaya pemuda Buddhis yang ada di desa setelah lulus SMA ditingkatkan potensi dan kualitas sumber dayanya. Sehingga yang perempuan ketika lulus SMA tidak langsung dikawinkan dan yang laki-laki bisa menggali potensi yang ada di desanya setelah kembali menamatkan pendidikannya di kota, di samping menjalankan misi semula untuk menjadi tenaga pendidik agama Buddha dan mengembangkan Buddhisme di Indonesia. 

Namun yang terjadi adalah sebaliknya, program beasiswa mahasiswa asuh ini menjajakan para mahasiswa dengan proposal yang menjelaskan latar belakang mereka dan tidak jarang dibuat drama kemiskinan para mahasiswa ini untuk dijual kepada para donatur agar merasa iba dan mau mengeluarkan uangnya untuk biaya pendidikan para mahasiswa tersebut.

Kepala yang mengoordinir program beasiswa mahasiswa asuh ini tidaklah sembarangan, mereka yang mengoordinir adalah alumni lembaga pendidikan tersebut yang tentu juga bekerja di yayasan Buddhis tersebut sehingga mereka bisa berbicara kepada donatur mengenai kuliah di lembaga pendidikan, kondisi asrama hingga biaya yang dibutuhkan setiap anak untuk berkuliah di lembaga pendidikan tersebut.

Biaya tersebut sudah dibakukan berdasarkan paket-paket yang sudah dibuat, tak tanggung biaya yang diminta terhitung fantastis untuk sebuah kampus yang tidak terkenal dan kualitasnya kurang bagus yaitu Rp7.000.000,- (tujuh juta rupiah) sampai Rp30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) setiap anak per semester. 

Pengalaman penulis untuk range biaya semester tersebut sama dengan biaya kuliah di kampus swasta mainstream di Jabodetabek seperti Untar, Trisakti, Binus, Gunadarma, Ukrida, UBM, Unika Atma Jaya, Jayabaya, UKI, UBL, Mercu Buana, dan lainnya, itu biasanya untuk jurusan dari fakultas yang terhitung mahal seperti teknik hingga keperawatan/kedokteran (di luar uang gedung).

Penulis adalah lulusan dari salah satu kampus yang disebutkan di atas, dan benar-benar tahu bahwa biaya semester Rp7.000.000,- (tujuh juta rupiah) ke atas adalah angka yang lumrah untuk jurusan tersebut. Lalu dari mana angka Rp7.000.000,- (tujuh juta rupiah) sampai Rp30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) tersebut didapatkan untuk berkuliah di jurusan Pendidikan keagamaan Buddha yang jika di kampus lain angka tersebut bisa dibilang terlalu mahal untuk sebuah jurusan pendidikan.

Apakah karena ini jurusan pendidikan agama Buddha yang mana penganutnya minoritas di Indonesia sehingga harus mengimpor dosen dari luar negeri? Atau apakah karena ada praktik tertentu yang mengajarkan sesuatu yang luar biasa semisal mencari jalan tembus mencapai Nirvarna setelah lulus? Menjadi Bodhisattva di semester 6-7? Atau karena ada tujuan lain di baliknya? Kita tidak pernah tahu sampai mereka sendiri yang jujur terhadap para donatur, kita hanya bisa menduga-duga dan semoga dugaan ini salah.

Kesimpulan

Perilaku mengemis dana yang dilakukan oleh para “marketing dana” secara umum dilatarbelakangi oleh faktor sosial dan budaya dengan membajak ajaran agama atau lebih tepatnya ajaran Buddha yang dibajak demi kepentingan pribadi dan kelompok, meskipun dana yang berasal dari donatur juga disalurkan kepada yang berhak menerima dan minimnya transparansi dalam penggunaan dana serta tidak pernah ada penutupan dalam penggalangan dana yang dikumpulkan menyebabkan donatur tidak pernah tahu apakah dana yang terkumpul sudah cukup atau tidak.

Sebenarnya bukan penulis yang melarang orang untuk berdana namun mengajak para para donatur untuk kritis dan jika perlu berani mengajukan audit atas dasar transparansi dana yang dikumpulkan. Jika memang dana yang terkumpul salah satunya untuk biaya operasional, termasuk gaji karyawan dan akomodasi jika ada perjalanan dinas ke lokasi obyek penggalangan dana.

Selama itu jujur dan bertujuan murni untuk pengembangan Dharma maka sepertinya donaturpun juga tidak akan keberatan jika ada dana yang digunakan untuk operasional selama angkanya masih masuk akal dan wajar. Maka yayasan yang bersangkutanpun harus berani jujur dan tidak keberatan jika ada yang mengaudit dengan penggunaan uang tersebut, sehingga tidak terkesan seperti jualan agama dan pihak yayasan yang mengobral ladang karma baik yang membuat pandangan umat Buddha sempit tentang berbuat kebajikan.

Ini juga menjadi kritik bagi semua baik yayasan Buddhis maupun umat Buddha sebagai donatur, bukankah ini juga yang menjadikan agama Buddha jelek dalam pandangan umat agama lain yang tidak tahu. Bukankah karena masalah berdana ini banyak yang secara halus ‘dipaksa’ untuk berdana secara rutin yang akhirnya membuat beberapa umat gerah terutama di kalangan umat muda yang kebanyakan orang tuanya adalah donatur dan akhirnya tidak sedikit yang menjadikannya faktor untuk pindah agama karena melihat agama Buddha hanya sebatas pada berdana dan tradisi ritual. Sekali lagi tulisan ini bukan untuk melarang orang berdana tetapi menjadi kritik dan bahan renungan bagi kita semua agar tidak merugikan bagi kita semua sebagai umat Buddha.  

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)
  • BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA)

Daftar Pustaka

  • Bellah, Robert N., 2000, Beyond Belief: Esei-esei Tentang Agama di Dunia Modern, Jakarta: Paramadina.
  • Bendix, Reinhard, 1962, Max Weber: an Intellectual Portait, New York: Anchor Books.
  • Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
  • Home, Javanese-English Dictionary, 1974, New Haven: Yale University Press.
  • Purwadi, 2004, Kamus Jawa-Indonesia, Yogyakarta: Media Abadi.
  • Saleh, Khairul, dkk., 2014, Tradisi Mengemis: Pergulatan Antara Ekonomi dan Agama: Studi Perilaku Mengemis Masyarakat di Demak. Kudus: STAIN.
  • https://www.facebook.com/100017478750648/videos/234464062427091/?app=fbl
  • https://www.facebook.com/Attasiri.kd/videos/919547629337388/?app=fbl
error: Content is protected !!
Butuh bantuan?