Oleh: Gifari Andika Ferisqo
Sebelumnya penulisan yang saya lakukan dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana masyarakat Tionghoa di Indonesia merasa dan memahami identitas mereka, khususnya identitas budaya-agama yang berasal dari leluhurnya. Penulisan ini mengikutsertakan berdasarkan data dan fakta mengenai kondisi sosial dan sejarah yang bercokol pada zaman dan periode sejak Pemerintahan Kolonial Belanda, Orde Lama, Orde Baru hingga masa kini yaitu Era Reformasi.
Tujuan dari penulisan ini bukanlah untuk mendiskusikan mengenai anggapan dan sikap masyarakat non-Tionghoa terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia ataupun sebaliknya, karena sudah banyak penelitian maupun penulisan yang telah dilakukan sebelumnya mengenai hal ini. Salah satu alasan mengapa saya tertarik dengan topik ini karena saya telah mempelajari sejarah dan kehidupan diaspora Tionghoa yang tersebar Asia Tenggara, saya melakukan penyelidikan mengenai komunitas Tionghoa-Amerika dan Tionghoa-Kanada, karena kebetulan teman baik saya saat ini tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat dan mama saya yang saat ini tinggal di Quebec, Kanada, serta seorang Bhikkhu Tionghoa-Kanada yang saya kenal juga saat ini tinggal di Montreal, Kanada. Saya memahami bahwa akan ada perbedaan latar belakang dan sejarah keturunan Tionghoa yang hidup di Indonesia dan di kedua negara tersebut. Namun saya merasa bahwa kami berasal dari nenek moyang yang sama, sehingga menjadi layak untuk diteliti dan dijadikan bahan penulisan.
Masuknya Budaya-Agama Tionghoa di Indonesia
Imigrasi masyarakat Tionghoa besar-besaran tercatat pada saat masa Pemerintahan Kolonial Belanda dimulai abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, sebagian besar berasal dari suku Hokkian. Mereka berasal dari provinsi Fujian (福建) bagian selatan, kebanyakan dari mereka adalah pedagang skala kecil yang kemudian membuka usaha yang lebih besar di wilayah Nederland-Indisch. Imigran Tionghoa lain yang datang adalah suku Hakka (Khek), mereka pada umumnya berprofesi sebagai buruh perkebunaan dan pertambangan milik pengusaha Belanda, mereka didatangkan para pengusaha Belanda karena tidak rewel, tahan banting dan lebih rajin. Suku-suku Hakka berasal dari pedalaman provinsi Kwangtung (关东) yang terdiri dari daerah gunung-gunung kapur yang tandus. Mereka saat itu merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencarian hidup.
Saat Era Orde Baru banyak dari kebijakan dan undang-undang yang mengenai keturunan Tionghoa menyebabkan timbulnya batasan-batasan yang menahan perkembangan identitas kebudayaan Tionghoa seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Tionghoa. Bahkan sebelum Era Pemerintahan Kolonial Belanda, pada masa Kerajaan Majapahit telah ada aturan yang menciptakan tiga kelompok etnis sosial, salah satunya mengenai imigran Tionghoa yang memiliki peraturan-peraturan yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Imigran Tionghoa yang sudah tiba di Nusantara dan memiliki status sosial yang berbeda-beda, masih mencoba mempertahankan identitas etnis aslinya. Beberapa dari keturunan Tionghoa ini memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga dengan warga pribumi. Hal ini disebabkan karena di masa dinasti Ming (明朝) di Tiongkok, orang Tionghoa yang meninggalkan tanah airnya akan dilarang untuk kembali lagi ke daratan Tiongkok.
Orang Tionghoa pada mulanya datang ke Nusantara dengan membawa serta budaya-agama dan nilai-nilai leluhurnya. Budaya-agama yang dibawa antara lain berupa perayaan adat istiadat dan keagamaan, seperti perayaan Tahun Baru Imlek (春节), Cap Go Meh (十五暝), Cheng Beng (清明节), Sembahyang Bakcang (端午节), Perayaan Kue Bulan (中秋节), fang sheng (方声) dan lain-lain. Nilai-nilai yang dibawa oleh orang Tionghoa ke Nusantara dikenal sebagai Chinese Values yang sangat dipengaruhi oleh Konfusianisme (儒家儒儒教), seperti berbakti kepada orang tua, bekerja keras, dan toleransi terhadap sesama.
Budaya Tionghoa merupakan budaya yang paling kompleks dan sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia seiring dengan banyaknya orang Tionghoa yang memilih untuk bermigrasi ke luar negeri. Budaya Tionghoa mencerminkan nilai luhur, kebiasaan dan bakti kepada leluhur. Meskipun budaya Tionghoa adalah salah satu kebudayaan yang paling tua di dunia yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, tapi budaya Tionghoa mampu bertahan hingga saat ini. Orang-orang Tionghoa secara antropologi dapat dipandang sebagai bangsa yang sangat kaya dengan beraneka ragam budaya yang menjadi bagian dari suku bangsa tersebut.
Di Indonesia sejak Era Orde Lama telah direncanakan aturan tentang asimilasi masyarakat Tionghoa di Indonesia yang bertujuan untuk menyatukan negara, namun baru terwujud pada Era Orde Baru. Pemerintah saat itu memutuskan untuk mengeluarkan beberapa undang-undang, salah satunya adalah Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988 yang melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbarui Klenteng Tionghoa, akibatnya banyak Klenteng yang berkamuflase menjadi Vihara. Sejak saat itu juga tradisi budaya Tionghoa juga masuk mempengaruhi ke ajaran-ajaran Buddhis non-Mahayana maupun Tridharma (三教), seperti Theravada yang sebelumnya tidak ada hubungan sama sekali dengan tradisi budaya-agama Tionghoa.
Dimulainya Era Penghinaan Tradisi Budaya-Agama Tionghoa
Perlahan-lahan mulai muncul berbagai pihak “melenceng” (bahkan ada yang berbentuk perkumpulan dan yayasan) yang menaungi dan mengelola Vihara, Klenteng, tempat ibadah, maupun berbentuk Crowdfunding (Pihak penggalangan dana), dan mulai banyak juga yang menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan yang juga mengadopsi tradisi-budaya Tionghoa seperti fang sheng (方声), cheng beng (清明节), Sembahyang Bakcang (端午节), Perayaan Kue Bulan (中秋节), Tahun Baru Imlek (春节) dan lain-lain. Berikut akan diuraikan beberapa tradisi budaya-agama Tionghoa yang sering ditunggangi oleh segelintir pihak ‘melenceng’ untuk kepentingan pribadi yang sering mengatasnamakan ajaran Buddha dan tradisi orang Tionghoa.
- Fang Sheng (方声)
Karena dianggap paling simple dan mudah diikuti bagi yang tidak mengerti tradisi Tionghoa, seperti yang diuraikan di atas, fang sheng (方声) banyak diselenggarakan oleh yayasan/organisasi Buddhis bercorak Theravada yang sebelumnya tidak pernah bersentuhan dengan budaya-agama Tionghoa yang kemudian mengadopsinya. Sebenarnya tidak ada masalah jika mengadopsinya karena sesungguhnya budaya terus berkembang dan bisa saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, namun yang jadi masalah adalah jika suatu tradisi budaya-agama dijadikan tameng untuk mengeruk keuntungan dan menyalahgunakan kewenangan suatu penggalangan dana.
Untuk mengetahui lebih rinci apa itu fang sheng (方声), mari kita kaji lebih jelas sehingga bisa mengurangi penyimpangan dalam penerapan praktik berdana tersebut. Dalam budaya Tionghoa, fang sheng (方声) adalah kegiatan melepas hewan. “Fang (方)” berarti melepas dan “Sheng (声)” berarti makhluk hidup. Tujuan dilakukan kegiatan tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada hewan untuk kembali ke habitatnya masing-masing agar mereka merasakan kembali kehidupan alam yang bebas dan bahagia, hewan yang dilepas antara lain burung, ikan, penyu atau kura-kura, dan lain-lain. Semangat fang sheng (方声) dalam Buddha Dharma adalah ajaran yang sangat menghargai kehidupan yang juga dikenal dengan abhaya dana (अभयदान). Setiap makhluk hidup sekecil apapun adalah sama berharganya dengan diri kita. Buddha Dharma mengajarkan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak mengakhiri kehidupan makhluk lain dengan alasan apapun.
Sebelum hewan-hewan tersebut dilepaskan, hewan-hewan tersebut harus didoakan atau disembahyangkan terlebih dahulu, salah satu doa yang dipanjatkan untuk hewan tersebut adalah agar saat reinkarnasi tidak menjadi hewan lagi, melainkan menjadi manusia atau dewa. Tapi tradisi fang sheng (方声) tidak lepas dari kontroversi, tradisi sangat mulia ini dikotori oleh sebagian orang yang tidak mengerti tradisi budaya-agama Tionghoa dan ingin mendapatkan keuntungan dari umat Buddha Tionghoa dengan meminta dana yang nominalnya telah ditentukan yang tentu tidak lain dari memalak secara halus. Kalaupun memang bertujuan tulus mengajak berbuat kebajikan kenapa tidak dibuat flexible masalah nominal atau berdana hewan yang akan didanakan secara langsung. Kenyataan saat ini, bahwa banyak juga pihak ‘melenceng’ yang mengambil keuntungan berkedok amal dengan cover Buddhis (bahkan ada crowdfunder melenceng yang berbentuk yayasan atau organisasi) memanfaatkan momen tradisi fang sheng (方声) semata-mata hanya demi mengeruk sebanyak mungkin uang donatur. Bukankah dengan begitu tidak hanya menghina tradisi budaya-agama Tionghoa tetapi juga menghina ajaran Buddha yang mana ketika mencari kebahagiaan tetapi membatasi orang lain untuk mengakses kebahagiaan tersebut dengan caranya masing-masing sama saja dengan menyusahkan orang lain (Dhammapada 131).
Fang sheng (方声) bagi umat Buddha Tionghoa, memiliki banyak fungsi dan makna yaitu, berfungsi untuk membayar hutang karma, untuk mengembangkan cinta kasih universal terhadap semua makhluk hidup, untuk berdoa meminta segala kebaikan, untuk lebih belajar menjadi seorang vegetarian, dan untuk menjaga keseimbangan ekosistem kehidupan. Namun. sekarang kita bisa saksikan fang sheng (方声) hanya seperti ritual melepas hewan asal-asalan, dilaksanakan secara online kemudian dilaporankan ke para donatur melalui foto-foto yang dikirim secara pribadi melaui WhatsApp, kemudian di-posting melalui Instagram dan Facebook atau YouTube.
Belum tentu juga hewan-hewan tersebut dilepaskan ke habitat aslinya, tolonglah untuk pihak-pihak ‘melenceng’ yang tidak mengerti tradisi budaya-agama Tionghoa agar tidak memanfaatkan tradisi budaya-agama Tionghoa yang mulia ini hanya untuk kepentingan pribadi, dan lagi pula fang sheng (方声) yang dilakukan belum tentu benar atau bisa merusak habitat hewan lain karena melepas hewan-hewan tersebut secara asal-asalan, yang ada malah merusak ekosistem dan bisa saja bertentangan dengan hukum setempat yang malah menimbulkan masalah baru, dan tentu lagi-lagi orang Tionghoa yang paling dirugikan.
- Cheng Beng (清明节)
Upacara Cheng Beng (清明节) adalah sebuah tradisi Tionghoa yang didasari oleh ajaran Konfusianisme (儒家儒儒教), yaitu bakti dan menghormati orang tua dan leluhur, di acara inilah semua keluarga besar berkumpul dalam ikatan leluhur yang sama, akan pergi ke tempat pemakaman untuk bersembahyang. Pada upacara Cheng Beng (清明节), jumlah dalam satu garis keturunan leluhur, menjadi lebih di dalamnya. Dalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng (清明节), biasanya mempersiapkan barang-barang serta segala keperluan lainnya, seperti memasak makanan untuk dipersembahkan kepada para leluhur sehari sebelum mengunjungi makam. Semua makanan yang dipersembahkan tidak boleh dalam kondisi hangat/panas, harus dalam suhu yang dingin/normal. Peralatan lain, seperti lilin (lak cek), dupa (hio), tempat dupa, kertas lima warna (go sek cua), uang akhirat (Kimcua) dan Gincua, barang-barang untuk dipersembahkan, barang barang yang akan dibakar dan lain-lain. Sesampainya di lokasi, makam leluhur dibersihkan, tujuannya agar leluhur melihat bakti serta penghormatan dari si peziarah, yang merupakan refleksi dari rumah leluhur di akhirat. Mereka lebih mengutamakan generasi mereka (anak-anak) untuk membersihkan kuburan sebagai sebuah pembelajaran dan pewarisan tradisi, agar mereka terbiasa dan dapat mengenang jasa leluhur yang sudah meninggal.
Proses selanjutnya adalah menyusun lilin (lak cek), tempat dupa (hiolo), dupa (hio), makanan dan minuman serta buah-buahan sebagai sesajian persembahan kepada para leluhur. Persembahan ini dahulunya adalah makanan yang sangat disukai oleh leluhur dan ditata sedemikian rupa agar terlihat elok dan senang hati memakannya. Diletakkan di belakang lilin (lak cek) dan disejajarkan berdasarkan jenisnya serta disesuaikan letaknya dengan bentuk makam. Kertas lima warna (go sek cua) ditancapkan di sekeliling makam, yang warna-warna tersebut mempunyai makna. Merah (melambangkan kebahagiaan), kuning/emas (melambangkan keberuntungan/kemakmuran), hijau (melambangkan kesehatan), biru (melambangkan kematian), dan putih/perak (melambangkan kemurnian). Keindahan makam di bumi mencerminkan bentuk rumah leluhur di alam baka, proses menghias makam ini juga memiliki makna sebagai penghormatan kepada leluhur dalam bentuk fisik kuburan. Setelah semua selesai dilakukan maka selanjutnya masuk ke proses berikutnya, yaitu proses untuk melakukan sembahyang.
Setelah selesai menghias, semua anggota keluarga yang datang, berkumpul di depan makam leluhur untuk melakukan sembahyang. Pada tahap ini, masing-masing anggota keluarga memanjatkan doa dengan menyalakan dupa (hio), untuk keselamatan agar arwah leluhur tenang di alam baka. Menghormat sebanyak tiga kali lalu berdoa dan kembali menghormat tiga kali kemudian menancapkan dupa (hio) di tempat dupa (hiolo) di depan makam. Pada prosesi ini dilakukan berdasarkan tingkatan umur dalam keluarga, dimulai dari anggota keluarga yang paling tua kemudian disusul oleh yang lebih muda dan seterusnya. Doa yang dipanjatkan kepada para leluhur agar diberikan kemakmuran, kesejahteraan, umur yang panjang dan para leluhur tetap bersama mereka untuk menjaga dan memberi berkat yang melimpah.
Selanjutnya mempersembahkan barang-barang duplikasi dari kertas seperti baju-baju, sepatu dan barang-barang kebutuhan hidup lainnya seperti uang akhirat yang disebut Kimcua (uang emas) dan Gincua (uang perak) kepada leluhur dengan cara dibakar, agar barang-barang tersebut nantinya akan dipakai dan digunakan oleh para leluhur untuk memenuhi kebutuhannya di akhirat selama setahun, artinya sampai perayaan Cheng Beng (清明节) berikutnya, kemudian ditutup dengan berpamitan karena sudah memenuhi kewajiban bakti anak-cucu kepada leluhur.
Namun, apakah ada yang salah? Tidak! Hanya ada sedikit kejanggalan ketika ada sebagian pihak ‘melenceng’ menyama-nyamakan dengan upacara Pattidana dengan alasan yang diambil adalah kesamaan maknanya, memang tidak salah walaupun kurang tepat. Menariknya sebelum upacara Pattidana tersebut para pengemis dana sudah siap sedia menggarong uang para donatur dengan paket-paket yang sudah disiapkan (terkadang malah hanya diberikan lilin yang harganya terlalu fantastis untuk sebuah lilin, bukan paket altar), dan tentunya paket tersebut berbeda dengan perlengkapan Cheng Beng (清明节) yang kita ketahui. Kalau begitu maknanya jadi berbeda, dong! Tak jarang pula jika donatur bertanya mengapa isi paketannya berbeda dengan perlengkapan Cheng Beng (清明节), pada umumnya mereka menjawab karena cukup dengan perlengkapan lilin (lak cek) dan dupa (hio) sederhana maka leluhur sudah cukup senang dan perlengkapan tersebut dianggap ajaran kuno dan tidak diperlukan lagi saat ini. Tidak lain alasan sesungguhnya adalah dengan modal yang kecil tetapi bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan statement tersebut pernah saya dengar langsung dari kepala koordinatornya.
Kalau dipikir-pikir bukankah itu penghinaan terhadap tradisi budaya-agama Tionghoa tetapi mereka menginginkan uang dari umat Buddha Tionghoa, bukankah itu juga termasuk penistaan? Silakan dipikirkan baik-baik, lagi pula ketika anda sudah sekali masuk mengikuti acara dan berdana ke crowdfunder ‘melenceng’ tersebut, anda akan terus-terusan ditawarkan acara Pattidana setiap bulannya supaya uang anda keluar dengan dalih memberikan donasi terbaik bagi leluhur. Kalau dipikir juga setiap umat Buddha Tionghoa rata-rata memiliki altar leluhur di rumahnya, jadi anda tidak perlu setiap bulannya rutin mengikuti acara Pattidana ‘tipu-tipu’ tersebut karena kita bisa sembahyang atau pelimpahan jasa kepada leluhur kita setiap hari di rumah dan tentu uang anda tidak perlu digarong oleh para pengemis dana karena anda benar-benar tahu yang anda keluarkan memang untuk leluhur anda. Jika anda masih dipaksa secara halus untuk mengikuti Pattidana tersebut anda tidak perlu risau ditakut-takuti tidak berbakti dengan leluhur karena dengan memiliki altar leluhur saja sudah menunjukan bakti terhadap leluhur, lagi pula mereka yang para pengemis dana tersebut yang rajin mengajak untuk ikut Pattidana kemungkinan memang tidak memiliki altar leluhur seperti umat Buddha Tionghoa, jadi bisa dianggap wajar jika mereka memang harus rajin mengikuti Pattidana.
- Imlek (春节)
Tahun Baru Imlek merupakan hari raya yang paling penting bagi masyarakat Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek juga dikenal sebagai (春節) Chūnjié atau Festival Musim Semi/Spring Festival, (農曆新年) Nónglì Xīnni án/Tahun Baru, atau (過年) Guònián atau umumnya dalam Hokkien disebut Sincia.
Masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan untuk merayakan Tahun Baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Gus Dur menindaklanjuti dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi etnis Tionghoa). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimulai tahun 2003.
Tahun Baru Imlek dirayakan oleh semua masyarakat Tionghoa dan disambut suka cita dengan latar belakang kebudayaan Tionghoa yang kuat. Salah satunya bagi umat Buddha Tionghoa maupun Tridharma yaitu sembahyang ke Klenteng untuk terus mengingatkan orang Tionghoa kepada jasa-jasa para leluhur dan agar tidak selalu larut dalam kemeriahan meskipun Tahun Baru Imlek identik dengan kemeriahan.
Menjelang Tahun Baru Imlek dimulai dengan melakukan sembahyang untuk para leluhur, untuk dibersihkan sebagai tanda bakti kepada para leluhur yang sudah mendahului kita. Malam menjelang Imlek/Sa Cap Meh (除夕) adalah saat berkumpul di rumah keluarga yang dihormati atau dituakan seperti rumah orang tua, acara berkumpul tersebut dalam rangka makan bersama dalam menyambut Imlek, makan bersama ini bertujuan untuk selalu senantiasa bersama dengan keluarga menyambung persaudaraan, setelah itu dilanjutkan bersembahyang di rumah atau bersama-sama pergi ke Klenteng untuk menyambut kedatangan dewa-dewi serta membuka pintu rumah selebar-lebarnya agar rejeki yang baik dapat mengalir masuk ke rumah di tahun yang baru.
Tahun belakangan semakin aneh ketika pihak-pihak ‘Crowdfunder melenceng’ mulai ikut-ikutan euforia Imlek untuk mengambil momen yang tepat, tetapi justru malah merusak tradisi tersebut. Malam menjelang Imlek/Sa Cap Meh (除夕) seharusnya diisi dengan kumpul keluarga, sembahyang leluhur dan para dewa-dewi tetapi oleh pihak ‘melenceng’ diganti dengan mengajak kebaktian Imlek di malam Sa Cap Meh (除夕), tentunya dengan menjual paket-paket persembahan juga! Mungkin mereka berpikir sembahyang di Klenteng atau di rumah lebih bagus jika dilaksanakan dengan kebaktian di Vihara atau Cetiya atau mungkin secara online melalui Zoom Meeting, padahal maknanya akan berbeda karena mereka tidak mengetahui sama sekali tujuan dari sembahyang tersebut, dan juga malah mempersempit waktu untuk berkumpul bersama keluarga yang mana makna Imlek sesungguhnya adalah berkumpul bersama keluarga. “Ah, tapi Mahayana juga melaksanakan kebaktian malam Imlek kok!”. Inilah pentingnya memahami literasi dan tidak hanya tahunya uang saja, sehingga kita tidak berani asal-asalan mencomot budaya sana-sini sesuka hati tanpa mengerti maknanya. Kalaupun Mahayana melaksanakan kebaktian Sa Cap Meh (除夕) juga masih berbanding lurus dengan tradisi budaya-agama Tionghoa dan memfasilitasi untuk melaksanakan sembahyang terhadap para leluhur dan dewa-dewi Tionghoa. Sehingga tidak melenceng jauh dari apa yang biasa diajarkan para leluhur terdahulu.
Apalagi semakin dinistanya tradisi budaya-agama Tionghoa dengan penjualan lampion Imlek atas dasar berdana yang tentu juga sudah dipaketkan, dan ini saya saksikan sendiri saat melihat WhatsApp status salah satu pengemis dana tersebut yang mengobral lampion-lampion tersebut sambil berjualan budaya Tionghoa saat malam Sa Cap Meh (除夕), sungguh penistaan tradisi budaya-agama Tionghoa yang luar biasa. Bisa anda bayangkan saat anda sekeluarga sedang bersuka cita merayakan Imlek bersama keluarga namun pada saat itu juga anda dipalak secara halus melalui para pengemis dana yang dikoordinir yayasan/badan/organisasi/perkumpulan pihak Crowdfunding ‘melenceng’ tersebut? Dengan cover agama ataupun sosial, mereka memang tidak meminta angpao anda tetapi mereka meminta yang lebih dari itu dan berharap anda akan menjadi mesin ATM mereka sebisa anda dimanfaatkan!
Kesimpulan
Seperti yang sudah dibahas, berbagai tradisi budaya-agama Tionghoa banyak yang ditunggangi kepentingan yayasan/organisasi/perkumpulan/badan/maupun perorangan yang merupakan Crowdfunder (Pengumpul dana) bercorak keagamaan dan sosial namun ‘melenceng’, contoh di atas hanya sedikit dari budaya-agama Tionghoa yang ‘diperkosa’ oleh sekelompok orang tidak bertanggung jawab yang hanya memikirkan keuntungan pribadi semata. Masih banyak contoh budaya-agama Tionghoa yang ditunggangi tetapi ketiga itulah yang paling sering digunakan untuk kepentingan mereka. Budaya-agama Tionghoa boleh dipraktikan oleh siapapun namun akan menjadi hal yang sangat sensitif jika hal itu disalahgunakan karena bisa saja orang Tionghoa tersinggung yang merasa apa yang telah diwarisi leluhurnya dibuat ‘main-main’ oleh sekelompok orang tidak bertanggung jawab dan bisa dianggap menista ajaran tradisi budaya-agama Tionghoa.
Apakah tulisan artikel ini untuk menyudutkan non-Tionghoa atau crowdfunding ‘melenceng’? Tidak ada maksud sentimen seperti itu, tetapi hanya untuk ‘menampar’ mereka yang mempermainkan budaya-agama Tionghoa untuk kepentingan pribadi. Kita ambil saja contoh, saat tahun 1950-an, saat itu ngkong dan mak saya belum lama pindah ke Jakarta setelah menikah. Tahun itu adalah saat Orde Lama masih berkuasa dan masyarakat Tionghoa masih bebas melaksanakan adat tradisi budaya-agamanya di depan umum, mereka pernah bercerita dahulu saat perayaan Cap Go Meh (十五暝), masyarakat turut membaur merayakan bersama dan juga dimeriahkan oleh Orkes Tanjidor yang dimainkan orang-orang Betawi terkadang juga dilengkapi dengan Gambang Kromong. Semua orang saat itu beramai-ramai pergi ke pusat Pecinan (China Town) seperti Glodok atau Mester untuk berpartisipasi menutup pesta selesainya perayaan tahun baru. Sekarang pertanyaannya adalah apakah permainan Orkes Tanjidor dan Gambang Kromong yang dimainkan orang-orang Betawi itu saat perayaan Cap Go Meh (十五暝) tersebut menista tradisi budaya-agama Tionghoa? Tentu tidak! Karena kolaborasi seperti itu saya yakin tidak ada maksud dan tujuan lain selain turut memeriahkan saat Cap Go Meh (十五暝), meskipun acara budaya-agama Tionghoa yang digabung dengan budaya Betawi tetapi mereka tidak asal sembarangan menyomot atau menabrakan budaya, justru yang mereka lakukan semakin memperindah keragaman budaya, dan tidak ada pemalakan halus yang berkamuflase sebagai berdana atau apapun jenisnya yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Baiklah, kita ambil contoh lain, saya mengenal seorang Bhikkhu Tionghoa-Kanada yang saat ini tinggal di Montreal, Kanada. Ia memiliki nama tahbis Kovida dan saya akrab memanggilnya dengan nama Bhante Kovida, di Viharanya umatnya terdiri dari berbagai macam suku bangsa, ada banyak juga orang Barat yang beragama Buddha belakangan ini. Kebetulan petugas administrasi yang menerima dana adalah orang Barat, kemudian ada umat Asia melaporkan bahwa ia berniat ingin berdana tetapi meminta agar namanya dan leluhurnya diukirkan plakat, kemudian petugas administrasi ini mengatakan, “anda ini ingin berdana atau menyetak plakat keluarga anda di Vihara kami?”, hal tersebut kemudian dilaporkan ke Bhante Kovida lalu Bhante Kovida menceritakannya ke saya dan saya tertawa mendengar hal tersebut. Bhante Kovida juga mengatakan selama masih memiliki kas yang cukup tidak perlu menggalang dana lagi. Hal itu juga menunjukkan sebagai yayasan atau lembaga keagamaan untuk tetap menjaga integritas dan nilai-nilai kejujuran, selain mungkin karena di samping rata-rata orang Barat tidak biasa mencari uang dengan memanfaatkan dari orang yang berdana dan mungkin juga dianggap sama saja dengan mengemis bagi budaya mereka. Cerita lain juga saya pernah dengar dari teman dan mama saya sendiri yang mengatakan kalau berdana di yayasan Amerika Serikat maupun Kanada sama merepotkannya, karena ketika kita berdana maka harus dikonfirmasi ke dinas sosial terkait setempat dan penerima dana juga harus melaporkan apa yang mereka terima. Tujuannya saya pikir itu bagus untuk meminimalisir celah ‘nyatut’ yang sudah menjadi kebiasaan seperti di crowdfunding ‘melenceng’ bercover agama dan sosial yang ada di negara kita.
Daftar Pustaka
- Shiu, dkk. Buddhist Animal Release Practices: Historic, Environmental, Public Health And Economic Concerns. University of Toronto Scarborough. 2008.
- The Costs of Good Karma: The Effects of Fangsheng on the Chinese Environment and Society. University of Maryland. 2016.
- Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2009.
- Kebudayaan Bagi Masyarakat Sebagai Sumber Nilai yang Menjadi Objek Orientasi. 1981.
- Poerwanto, Hari. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2000.
- Saidi, Ridwan. Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta. LSIP. 1994.
- Liu, Hong dan Dongen, Els Van. China’s Diaspora Policies as a New Mode of Transnational Governance. UK. Routledge Taylor and Francis Group. 2016.
- Hendry Ar, Eka. 2013. Integrasi Sosial dalam Masyarakat Multietnik. Walisongo. Vol. 21 No.1. Mei 2013.
- Suryadinata, Leo. “Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China”. Heinemann Educational Books; Kuala Lumpur; Malaysia. 1978.
- Suryadinata, Leo. “Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia”. Pustaka LP3ES; Indonesia. 2002.