Oleh: Jo Priastana
“Terkadang lebih mudah membuat Perang
daripada menciptakan Perdamaian”
(George Clemenceau, 1841-1929, Negarawan dan PM Prancis)
Sejarah masuknya Agama Buddha ke Thailand dan Kamboja berawal mula dari India yang memang menghasilkan agama Hindu dan Buddha. Agama Buddha dan Hindu datang ke Asia Tenggara dari India sejak abad ke-1 M. Melalui jalur dagang maritim, lewat India Selatan dan Sri Lanka. Keberadaan agama Buddha itu kemudian membentuk kerajaan awal seperti Funan, Chenla, dan kemudian Angkor (Khmer).
Sejarah Kamboja yang bermula dari Hindu kemudian beralih ke Buddha Mahayana dan juga ke Buddha Theravada. Awalnya Kamboja didominasi Hindu dan Buddha Mahayana (abad ke 8-13). Raja Jayavarman VII (abad ke-12) adalah pemeluk Buddha Mahayana yang membangun banyak vihara (termasuk Bayon). Setelah era Angkor runtuh, pada abad ke 14-15, Kamboja beralih ke Theravada dari pengaruh Sri Lanka dan Siam (Thailand).
Begitu pula dengan sejarah agama di Thailand. Bermula dari Hindu, lalu Mahayana, dan ke Theravada yang merupakan mayoritas saat ini. Kerajaan Dvaravati (abad ke 6-11) sudah mengenal Buddha Theravada. Kemudian pengaruh Khmer membawa unsur Hindu dan Mahayana. Abad ke 13, kerajaan Sukhotai menjadikan Theravada sebagai agama negara. Sejak itu Thailand menjadi pusat Buddha Theravada yang konsisten hingga kini.
Sejarah Agama dan Politik Simbol
Apakah konflik itu juga berlatar belakang agama? Bisa dikatakan konflik yang terjadi bukan secara teologis atau menyangkut ajaran. Yang terjadi adalah politik berbungkus agama. Tidak seperti di Eropa atau Timur Tengah, konflik antar sekte-sekte Buddha jarang atau tidak militan. Tapi agama Buddha sering dijadikan alat legitimasi, simbol kekuasaan oleh raja-raja. Misalnya Raja Jayavarman VII memanfaatkan Mahayana untuk membenarkan perang “suci” melawan Champa. Raja Sukhotai di Thailand menggunakan Theravada untuk memisahkan diri dari pengaruh Khmer.
Ketegangan Thailand-Kamboja juga karena Wat Buddha. Meski bukan konflik teologis, namun ada gesekan budaya dan agama. Thailand dianggap mendominasi ajaran Buddha di kawasan dan beberapa wihara Thai dibangun di wilayah sengketa. Ini dianggap provokasi oleh Kamboja. Di masa kolonial dan pasca-kolonial, terjadi standarisasi ajaran Theravada di negara Thailand serta peminggiran aliran lokal atau praktik “folk Buddhism” yang lebih sinkretik.
Candi Preah Vihear dan Prasat Ta Muen Thom adalah Hindu, tapi berdiri di tanah yang kini dikelilingi oleh umat Buddha. Agama Buddha masuk lewat India, dengan pergeseran dari Mahayana ke Theravada. Tidak ada perang agama dalam arti perang saling memusnahkan, tetapi agama tidak dipungkiri juga dipakai untuk legitimasi kekuasaan. Selain itu juga ada gesekan budaya, seperti budaya Buddha nasional di antara Thailand dan Kamboja.
Bagaimana cara menyelesaikan konflk yang berakar pada candi itu? Kalau perbatasan mungkin bisa ditetapkan dengan membagi garis batas, bagaimana dengan situs candi tersebut yang bersifat sakral, apakah bisa terbagi juga? Dalam kajian ilmu politik dan studi politik internasional terkini, muncul ilmuwan politik yang mengemukakan pandangan tentang konflik yang berlatar candi (atau situs suci) atau situs percandian sebagai faktor pemicu konflik.
Diantara cendekiawan ilmuwan politik itu, adalah Ron Hassner dalam bukunya “War on Sacred Grounds” (Cornell, 2009), ia menyatakan bahwa konflik mengenai tempat-tempat suci termasuk candi, kuil, atau lokasi keagamaan lainnya akan sulit diselesaikan karena sifatnya yang tidak dapat dibagi atau dibagi setengah-setengah (“the indivisibility problem”). Situs suci umumnya terkait erat dengan nilai spiritual identitas dan klaim historis mendalam, sehingga kompromi menjadi sangat sulit dilakukan.
Dalam karya lainnya “Religion on the Battlefield” (Cornell University Press, 2016), Ron Hassner, penerima “Penghargaaan Pengajaran Terkemuka” dari Asosiasi Ilmu Politik Sarjana Barkeley, mengkaji dampak gagasan, simbol, dan praktik keagamaan terhadap pengambilan keputusan militer dan perang antar negara abad ke-20. Ron Hassner juga menganalisis penyebab dan karakteristik perselisihan atas tempat-tempat suci di seluruh dunia dan kondisi-kondisi yang memungkinkan konflik-konflik ini dikelola.
Museum Hiri dan Ottappa
Mengikuti pandangan Ron Hassner, maka konflik Kamboja-Thailand yang berakar pada candi atau situs suci akan tetap sulit diredam karena candi sebagai bangunan suci tidak bisa diselesaikan melalui pembagian atau pembagian fungsi yang adil. Candi bukan hanya fisik, ia melambangkan simbol spiritual dan identitas kelompok atau nasionalisme, keterikatan simbolik inilah, rivalitas atas candi sering memicu ketegangan politik dan sosial yang intens (en.wikipedia.org).
Bagaimana meredam kebanggaan nasional atas candi agar konflik itu tidak muncul kembali? Mungkin ada baiknya mengusulkan dengan menjadikan situs percandian yang diperebutkan atau daerah di dekatnya menjadi monumen “Rasa Malu dan Rasa Salah” (Hiri dan Ottappa) sesuai karakteristik moralitas Buddhis dan menjadi landasan hidup mayoritas Buddhis. Museum sebagai penanda pertobatan “rasa malu dan rasa salah” sebagai akibat perbuatan melakukan peperangan di tempat suci yang menelan korban tewas.
Pastinya mayoritas masyarakat yang beragama Buddha di kedua negara itu akan menyetujuinya. Mungkin dengan begitu, candi yang terbuat dari batu material alami itu menjadi terbebas dari sekedar sebagai mainan politik batu atau hegemoni nasionalisme dan seringkali sebagai proyeksi-eksternalisasi pengalihan isu dari permasalahan intern dalam negeri.
Di dunia yang semakin sekuler, keberadaan candi itu bisa saja menjadi daya tarik wisata internasional dalam naungan UNESCO. Sebagai simbol sakral dan kebanggaan nasionalisme, candi itu telah meminta korban dari kedua negara. Adakah lebih baik kedua bangunan suci itu difungsikan bersama saja sebagai simbol untuk mengenang para korban dimana rasa damai itu akan benar-benar terjaga dan terpancar?
Atau justru kedua negara ini juga tetap memperlakukan semboyan, “si vis pacem, para bellum,” yang artinya, “jika mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang”. Sejarah mencatat, untuk memaksa damai dan Jepang menyerah dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat menjatuhkan dua bom atom, satu di Hiroshima dan satu lagi di Nagasaki.
Untuk itu, kita terus pantau saja sampai sejauh mana gencatan senjata Kamboja-Thailand ini bisa bertahan dalam mewujudkan perdamaian, tiada lagi peperangan. Dalam doa, mudah-mudahan damai abadi selalu dan selamanya. Svaha! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: meta AI