Reporter: Majaputera Karniawan (Tjia Wie Kiong 谢偉强)
“… Para bhiksunya berjumlah beberapa ribu orang merupakan sosok-sosok berkemampuan serta memiliki bakat luar biasa, kedendekiawanan mereka sungguh istimewa, ada beberapa ratus orang yang kepandaiannya tersohor hingga luar negeri. … sehari tidaklah cukup guna menanyakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam. Sedari pagi hingga malam mereka terlibat dalam diskusi berbobot. Orang berusia lanjut dan muda saling membantu (dalam diskusi) satu sama lain. … orang orang terpelajar dari kota-kota jauh datang berbondong-bondong kemari guna menyirnakan pertanyaan-pertanyaan mereka dan arus kebijaksanaan tersebar hingga tempat-tempat nan jauh di sana.” (Tipitaka Master Tong Sam Cong 唐三藏 dalam Wriggins, 2015: 177)
Demikianlah yang dialami para pembelajar di universitas Nalanda Mahavihara di Bihar, India sekitar tahun 638 masehi yang tercatat dalam catatan perjalanan Tipitaka Master Tang Xuanzang atau yang lebih dikenal sebagai Bhiksu Tong Sam Cong.
Mengenang masa lalu, Buddhisme pernah menapaki era kejayaan Buddhis melalui pendidikan dan universitas-universitas Buddhis yang sekaligus menjadi Mahavihara. Baik itu Mahavihara Nalanda (yang tertua), Vikramashila, Odantapuri, Jaggadala, dan bahkan komplek pembelajaran di Sriwijaya, Sumatera. Setidaknya era kejayaan tersebut bertahan sampai tahun 1195 masehi karena universitas-universitas mahavihara tersebut diluluh lantahkan pasukan invasi asing pimpinan Bachtiar Khrji.
Melihat kala pengaruh Buddhisme begitu berkibar berkat majunya lembaga pendidikan bercirikan Buddhis, bagaimana keadaan pendidikan Buddhis kala ini di era modern 2022? Wah nampaknya masih ketinggalan jauh loh! Kita masih perlu bergerak jauh agar bisa kembali mengulang sejarah masa lalu bahwa satu-satunya jalan untuk membuat Buddhis bertahan dan berkembang di masa depan adalah lewat pembangunan pendidikan di kalangan Buddhis sendiri.
Kamis, 28 April 2022 Tim Setangkaidupa.com bertemu dan berdiskusi ringan kepada YM Bhiksu Vidyasasana (Shi Xue Zhi 释学知), diskusi ini pun mengarah kepada masalah pendidikan di Dunia Buddhis. Suhu Xue Zhi menceritakan pada kami akan ide beliau yang berencana mendirikan satu yayasan, rencananya akan bergerak dalam bidang membantu perkembangan pendidikan Buddhis di Indonesia.
“Kok gak ada universitas Buddhis negeri? Nggak malu kita? STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha) kita stagnan selama 13 tahun. Dan Cuma ada 2, Sriwijaya (di BSD Serpong, Kab. Tangerang) dan Raden Wijaya (di Bulusari, Kab. Wonogiri)” Ucapnya dengan semangat.
Memang benar adanya, kendala pembiayaan, kekurangan sumber daya manusia, dan SOP lahan minimal untuk membuka lahan universitas Buddhis (atau bahkan sekedar naik tingkat dari STAB ke tingkat Institute saja) menjadi kendala bagi para pejuang pendidikan Buddhis. Maka dalam rangka merealisasi cita-cita universitas Buddhis pertama bagi masyarakat umat Buddha, suhu menyarankan dukungan lebih diprioritaskan pada wilayah Jawa Tengah dan STAB Negeri dahulu.
“Sekarang kita harus berpikir bahwa umat Buddha kita mayoritasnya di Jawa Tengah, seyogianya kita harus berpaling dan berpikir nasib STAB Kita yang di wonogiri, tetapi untuk sampai tingkat institute saja kita butuh 5 Ha untuk menyesuaikan dengan SOP, (maka) Kita harus mengutamakan STAB Negeri dulu daripada swasta … karena itu jelas Negara yang akan biayain. “
Gagasan luar biasa ini muncul setelah meletakan ego besar dan melihat kemungkinan terbaik yang ada pada saat ini. Pada mulanya, suhu ada rencana mau bikin STAB Swasta, tetapi karena melihat kondisi kedepannya lebih bisa hidup institusi pendidikan tinggi negeri karena mendapat dukungan Negara, maka beliau rela meletakan ego dan kepentingan ‘Keswastaannya’ agar SDM Buddha Dhamma dapat berkembang lebih jauh di masa depan. Sehingga beliau mengubah cita-citanya untuk membuat satu yayasan yang bergerak membantu pendanaan untuk pendidikan Buddhis.
“Cita-cita utamanya adalah universitas Buddhis negeri, utamanya di Jawa Tengah,setelah terbangun kita akan upayakan membangun sekolah-sekolah Buddhis di manapun juga, di desa-desa Buddhis yang perlu, apapun mayoritas umatnya, [misal di satu desa] banyak umat Buddhayana,kasih Buddhayana olah, kita jangan pusing. Ada banyak Theravada, kasih Theravada yang olah! Kita monitor saja, cukup”.
Tetapi apakah mungkin rencana mengejar pembangunan Universitas Buddhis ini akan dapat terealisasi? Mampukah umat Buddha bersatu turun tangan, meletakan ego sektarian, dan bergabung bersama menciptakan wahana pendidikan bagi masa depan Buddhisme sendiri? Atau justru menjadi mimpi di siang bolong belaka? Nantikan di artikel part 2!
Daftar Pustaka
Wriggins, Sally Hovey. 2015. Napak Tilas Jalur Sutra Xuanzang Catatan Sejarah Perjalanan Ke Barat. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Ivan Taniputera. Jakarta. Penerbit Karaniya.