Reporter: Majaputera Karniawan (Tjia Wie Kiong 谢偉强)
‘Ada pendidikan Tidak Ada Perbedaan’ (Konfusius 孔夫子 dalam Lun Gi XV: 39)
Kata-kata Konfusius bukan tanpa dasar, memang kenyataannya pada Era Kolonial tahun 1700an Masehi terjadi disparitas besar-besaran antara bangsawan Belanda dan Eropa, kaum peranakan Tionghoa, dan kaum Bumiputera (penduduk lokal) di pulau Jawa. Akses pendidikan hanya berlaku bagi mereka kaum ‘Cabang atas’ sementara bagi masyarakat kelas bawah tidak ada kesempatan, sehingga seterusnya mereka menjadi berbeda dan terbelakang.
Masih pada suasana yang sama dengan artikel part 2 yakni pada hari Kamis, 28 April 2022 Tim Setangkaidupa.com bertemu dan berdiskusi ringan kepada YM Bhiksu Vidyasasana (Shi Xue Zhi 释学知). Suhu bercerita bahwa Buddhis saat ini masih mengalami ketimpangan dalam hal akses pendidikan dan SDM guru di pelosok. Kota-kota besar masih menjadi sentral peradaban pendidikan sementara di pelosok-pelosok masih banyak umat Buddha yang tertinggal dalam ‘Kesejahteraan Pendidikan’ baik itu lembaganya, sarana-prasarana, bahkan ketersediaan Sumber Daya Manusianya.
Suhu semakin memantapkan tekadnya untuk memulai yayasan yang akan dibangunnya dan berjuang dengan sisa-sisa tenaga terakhir di usia senjanya untuk mengembangkan pemerataan kesejahteraan pendidikan Buddhis. “Sekarang kan pertanyaannya cuma satu, lu mau majukan umat Buddha tuh lewat apa kalau bukan lewat pendidikan? Nahh kita juga harusnya bantu lembaga-lembaga yang berjuang (di bidang pendidikan Buddhis) seperti ini. Sekarang kita pakai gas (tenaga) terakhir buat bantu majukan umat Buddha lewat pendidikan, meskipun tidak jadi tetapi ‘tapak-tapak’ itu sudah kita buat” pungkasnya.
Bagi beliau, kemajuan dan pemerataan kesejahteraan pendidikan Buddhis itu tanggung jawab bersama umat Buddha, baik itu umat awam, akademisi, rohaniawan, pengusaha, pejabat, maupun para profesional Buddhis. Bagi Suhu, sudah waktunya umat dan segenap kekuatan Buddhis bergerak ambil tindakan membangun pemerataan peradaban pendidikan Buddhis agar bisa dinikmati anak cucu kita nanti. “Jangan bhikkhu cuma bicara bangun wihara-kelenteng sama rumah abu terus. Kita sudah harus waktunya (mulai mendukung dan menggerakkan pendidikan Buddhis) atau kita akan ketinggalan jauh, jauh sekali. Kita sudah harus mulai!” Tegasnya dengan semangat.
Semakin berjalannya diskusi, ide-ide cemerlang bermunculan. Beragam saran dan masukan hadir agar kita semua yang peduli pada pendidikan Buddhis dapat memulai langkah membangun peradaban pendidikan Buddhis yang sejahtera dan merata, salah satunya saya sendiri memberanikan memberi ide melakukan dwifungsi sarana (hybrid) tempat ibadah sekaligus tempat pendidikan layaknya universitas Nalanda Mahavihara (ANNO 400an-1195 M). “Suhu, kita kan wihara sudah terlanjur banyak, kalau wihara di dwifungsikan sebagai sarana pendidikan bagaimana?”
“Itu pasti bisa, tapi kembalinya lagi siapa yang mau noel (menjadi pelopor) duluan? Masalahnya sempat dibahas juga, salahnya bhikkhu-bhikkhu sih, nggak bhante gak suhu, ceritanya kalo pahala tertinggi itu bangun wihara, tidak ada yang cerita pahala tertinggi bikin sekolah.” Jawab Suhu. Kemudian Suhu memberikan penjelasan bahwa diantara semua pemberian, pemberian Dharma adalah yang terbaik (Lihat Dharmapada. 354). Dengan membangun pendidikan Buddhis sama saja dengan memberikan Dharma kepada generasi mendatang, bukannya ini Pemberian yang Terbaik?
Suhu sendiri yakin, sebenarnya banyak umat Buddha yang peduli dengan keadaan pendidikan Buddhis, selama kualitas pembelajaran pendidikan itu tidak abal-abal dan biayanya dapat terjangkau semua kalangan (ada subsidi silang bagi kelas menengah ke bawah). Suhu memberikan gagasannya: “Sekarang coba kita pikir, kalau kita punya anak, anak kita pasti maunya di sekolahkan di sekolah yang paling bagus, pasti kan? Dengan segala biaya loh! Artinya apa? Pendidikan nomor 1 kan? Nah udah, kita tidak usah cerita banyak-banyak, apa yang bisa kita buat ya kita buat.”
Salah satu rekan diskusi kami, Hendri menimpali pernyataan suhu dengan pertanyaan. “Masalahnya, dana pendidikan sangat minim sekali suhu? Itu bagaimana?” Suhu menjawab bahwa mau tidak mau kita harus mulai peduli dan bergerak dengan segala kemampuan dan sumber daya yang ada, tetapi konsentrasi pendanaan bisa diakali dengan jalan yang berbeda, bukan hanya mencari donatur saja tetapi dengan menggerakkan umat. “Ya tapi kembalinya lagi, apakah iya umat Buddha akan diam saja, selama ini kita kaya seperti berburu di kandang sendiri, donaturnya itu-itu aja, lama-lama donaturnya takut dong? Kenapa kita tidak mau memperkuat dari umat?” jawabnya secara lugas.
Bagi Suhu, sejauh ini banyak sekali Crowdfunder Buddhis terlalu bergantung pada donatur-donatur besar semata, sehingga lama-kelamaan donatur bisa menjadi jenuh, terlebih dalam keadaan ekonomi tidak stabil dan tidak menentu. Maka Suhu menekankan kalau memang kita mau menyejahterakan pendidikan Buddhis, baik itu membangun SDM-nya ataupun membangun sarana-prasarananya, bisa dilakukan dengan memanggil kepedulian umat, dengan menggaungkan bahwa lewat pembangunan kesejahteraan pendidikan Buddhislah pemberian tertinggi berupa Dharma kepada generasi mendatang dapat tersalurkan. “Kita bisa memberdayakan umat saat ini, power (kekuatan) itu adanya di umat, jangan ke donatur kita cari terus, karena umat kalau sudah terpanggil dan tahu kita bener, satu orang ceban aja (Rp.10.000,-) beuh jadi cepet! … Mari kita berdayakan umat, pakai umat punya kekuatan, jangan pakai donatur terus” jawab Suhu.
Semoga semakin banyak umat Buddha yang peduli dengan perkembangan pendidikan Buddhis. Semoga Hyang Bodhisattva, para Dewata, dan semua kekuatan Buddhis, baik umat awam, rohaniawan, cendekiawan, akademisi, hingga pengusaha dan profesional saling mendukung menuju pemerataan kesejahteraan pendidikan Buddhis. Sadhu!
Daftar Pustaka
Lay. Tanpa Tahun. Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Sakka Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Sakka (Dhammapada 354). https://www.sariputta.com/dhammapada/354/cerita-kisah-pertanyaan-yang-diajukan-sakka#.Ym-ifiW5Wy8.link. Diakses Mei 2022.
Tjhie Tjay Ing. 2010. Su Si (Kitab Yang Empat). Jakarta. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).