Perkembangan Buddhadharma di Cina dan Kemunculan Dharma Hati Chan Buddhisme

Home » Artikel » Perkembangan Buddhadharma di Cina dan Kemunculan Dharma Hati Chan Buddhisme

Dilihat

Dilihat : 99 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 26
  • 35
  • 30,992
chan buddhism

Oleh: Jo Priastana

 

“Kemurnian paling awal dari dasar sepenuhnya

melampaui kata-kata, konsep, dan formulasi”

(Jamgon Kongtrul)

 

Sebelum kedatangan Buddhadharma, di Cina telah terdapat filsafat, ajaran yang telah berkembang sangat kuat, seperti Taoisme dan Konfusianisme dan budaya keagamaannya tersendiri.  Di Cina agama Buddha juga bersentuhan dengan kekayaan ajaran falsafat, keyakinan dan budaya keagamaan setempat.

Buddhisme diperkirakan telah masuk ke Cina pada awal abad I Masehi, yaitu ketika Cina dikuasai oleh Dinasti Han. Karena itu, orang Cina menerima Buddhisme tidak lepas dari kerangka pemikirannya sendiri. Buddha diterima sebagai tokoh yang sejajar dengan Kaisar Kuning atau Lao Zi yang diyakini telah mencapai imortalitas (kekal).

Agama Buddha yang masuk ke Cina ini tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan dan pemikiran  keagamaan Cina. Persentuhan ini memungkinkan terjadinya percampuan, pembauran  serta berkembangnya berbagai aliran dalam agama Buddha. Terdapat penganut Tridharma, sebuah aliran yang juga mengandung ajaran Lao Tse dan Konghucu beserta tradisi dan tata upacaranya yang juga dapat menerima Buddhisme. Begitu pula dengan penganut Maitreya.

 

Perkembangan Buddhadharma di Cina

Di Cina sendiri, kehidupan beragama bisa ditinjau dari dua aspek,  “great tradition dan little tradition” (Joachim, 1986, “Chinese Religion a Cultural Perspective”, Prentice Hall Inc., New Yersey, 5). Great tradition menyangkut ajaran-ajaran besar, sistem ajaran seperti Taosime, Konfusianisme dan Buddhisme, sedangkan little tradition berkenan dengan tradisi keagamaan setempat, kepercayaan rakyat.

“Great  Tradition”, atau tradisi yang terbesar terdiri dari Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme, mengingat ketiga ajaran ini memiliki tokoh pendiri, pemimpin profesional, bentuk kelembagaan, kitab suci, dan tradisi liturgi. “Little tradition” sering disebut juga sebagai “folk religion” sebab secara sederhana menunjuk kepada kepercayaan agama yang tidak tertulis dan dipraktekkan hampir oleh semua orang Cina yang masih bersifat tradisional. Tradisi-tradisi dari budaya Cina dan kepercayaan Cina lainnya juga dapat dimasukkan dalam kelompok ini.

Dua tradisi tersebut tampaknya terdapat dalam penganut Buddha yang bercampur dengan Taoisme dan Konfusianisme. Tradisi besar yang berisikan tiga ajaran juga menyerap unsur-unsur tradisi yang kecil. Karena itu, sebagai suatu pedoman dan cara hidup, keyakinan terhadap tiga ajaran sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu.

Masuknya Buddhisme ke Cina menjadi suatu fenomena tersendiri dalam sejarah filsafat Timur, sebab dengan masuknya Buddhisme ke Cina, Buddhisme mendapatkan wajah dan dandanan baru, menjadi apa yang dikenal sebagai Chinese Buddhism. Buddhisme dalam dandanan Cina ini menjadi pembeda dengan Buddhisme yang tumbuh di Cina namun tidak bersentuhan dengan kebudayaan keagamaan setempat, maupun yang berkembang di negara lainnya.

 Buddhisme diperkirakan telah masuk ke Cina pada awal abad I Masehi, yaitu ketika Cina dikuasai oleh Dinasti Han. Para misionaris Buddhis tanggap dalam memenuhi kebutuhan orang Cina, seperti tentang obat umur panjang dan cara-cara memiliki kemampuan superhuman. Para misionaris mengatakan bahwa apa yang mereka minta atau butuhkan itu terdapat dalam kitab suci Buddhis.

Mulailah usaha menterjemahkan kitab-kitab suci Buddhis ke dalam bahasa Cina, seperti yang terdapat di kota Zhang An, di bawah pimpinan Kumarajiva (344-413). Selanjutnya, Buddhisme diterima dengan penuh semangat oleh kaum intelektual, terutama ajaran metafisika yang ada pada Buddhisme dan tidak diketemukan dalam kitab-kitab klasik Cina. Pembicaraan mereka diwarnai oleh istilah-istilah dari Taoisme.

 Dapat dikatakan bahwa India sebagai asal usul Buddhisme telah terlupakan. Tetapi perkembangan yang sebaliknya terjadi juga. Tidak sedikit rahib, baik di Utara maupun di Selatan, berusaha sungguh-sungguh untuk berpegang pada arti asli dari Buddhisme. Mereka meningkatkan usaha menterjemahkan kitab suci penting agama Buddha ke dalam bahasa Cina. Juga banyak dikirim utusan ke India untuk mempelajari sumber asli agama Buddha di tempat asalnya. Terkenallah musafir-musafir, sepeti Fa Xian (399), Xuan Zang (629-645), Yi Jing (671).

Disamping itu, persentuhan dan akomodatifnya dengan Konfusianisme yang menitikberatkan pada tata-susila, penghormatan kepada orang tua dan pemujaan kepada leluhur, serta adat-istiadat setempat memungkinkan Buddhisme melakukan akulturasi. Buddhisme berkembang pula di kalangan “rakyat”, yang lebih berkecenderungan praktis dan devosional (pemujaan), dimana ajarannya dihayati dalam kehidupan sehari-hari melalui tingkah laku yang baik, upacara keagamaan, doa, perbuatan amal dan sebagainya. Mereka juga mendirikan kuil-kuil dan tempat-tempat penjiarahan di seluruh Cina.

Buddhisme di Cina mencapai puncak perkembangannya pada masa Dinasti Tang (618-907), karena beberapa kaisar dinasti ini menganut agama Buddha. Tidak sedikit rakyat Cina yang menjadi rahib-rahib Buddhis. Menurut sebuah sensus, pada tahun 845 di Cina pada waktu itu terdapat seperempat juta rahib. Hampir di setiap kota besar didirikan kuil-kuil besar dengan arsitektur yang indah dan megah. Tercatat ada 46.000 kuil dan lebih dari 40.000 tempat penjiarahan pada waktu yang sama.

Setelah memasuki masa jayanya selama 1000 tahun, Buddhisme kemudian memasuki masa surutnya. Namun demikian, Buddhisme telah sedemikian merasuki dalam hati dan pikiran rakyat Cina. Bersama-sama dengan Konfusianisme dan Taoisme, Buddhisme kemudian melengkapi apa yang dikenal dengan “Tiga Ajaran” (san jiao, sam kauw).

Diperkirakan melalui kandungan tiga ajaran dalam kebudayaan filsafat dan agama di Cina ini inilah terlahir Zen Buddhism yang disebut juga sebagai tradisi kebijaksanaan, prajnaparamita. Zen Buddhism yang mengandung kearifan Tiongkok, berisikan Dharma Hati, transmisi pengalaman pencerahan melampaui kata-kata ini kerap disebut menjadi inti atau esensi aliran Maitreya di Cina yang memiliki tata cara pemujaan dan tradisi keagamaan setempat.

 

Garis Silsilah Zen dan Bodhidharma

Tradisi kebijaksanaan prajnaparamita berkembang di Cina dalam Chan Buddhism. Secara historis, Buddhadharma masuk ke negeri Cina, dan di negeri Cina yang telah memiliki ajaran Taoisme dan Konfusianisme ini, Buddhaddharma menimbulkan beberapa aliran, diantaranya: Yogacara, Madhyamika, Tantra, Avatamsaka, Sukhavati, Thien Tai, dan Chan Buddhism. Sedangkan Maitreya yang berkembang di Cina yang mengandung dharma hati juga memiliki ritual dan pemujaan kepada manifestasi Maitreya dan bercampur dengan ajaran dan kebijaksaan setempat.

Aliran Zen atau Ch’an yang tumbuh di China dan yang kemudian berkembang di Jepang berawal tidak lepas dari Sang Buddha. Aliran yang menekankan pada transmisi spiritual ini berawal di India ketika Maha Kasyapa menerima transmisi spiritual dari Sang Buddha melalui kisah sekuntum bunga kumbala. Sebuah peristiwa transmisi spiritual Buddha kepada Maha Kasyapa penyampaian Dharma hati, mengatasi kata-kata yang kemudian menjadikan tradisi transmisi spiritual dalam Chan Buddhism yang berlangsung turun-temurun dari guru ke murid.

Dari Buddha kepada Kasyapa, kemudian dari Kasyapa kepada Ananda, dan seterusnya hingga berjumlah 28 orang, yaitu: Sakyamuni Buddha,  Maha Kasyapa,  Ananda, Sanavasa, Upagupta, Dhritaka, Micchaka, Buddhanandi, Buddhamitra, Bhiksu Parsva, Punyayasas, Asvaghosha, Bhikshu Kapimala, Nagarjuna, Kanadeva, Arya Rahula, Sanghanandi, Samghayasas, Kumarata, Jayata, Vasubandhu,  Manura, Hakkenayasas, Bhikkhu Sinha, Vasasita, Punyamitra,  Prajnatara, dan Bodhidharma.

Di China, tokoh utama C’han Buddhisme adalah Bodhidharma, seorang Bhikkhu dari India Utara yang merantau ke Cina (Bodhidharma juga dikenal sebagai perintis perguruan kungfu biara Shaolin). Dapat dikatakan Zen Buddhisme lahir dan tumbuh membesar di bumi Cina (kemudian di Jepang) semenjak kedatangan Bodhidharma (Ta Mo/Daruma/Tat Mo Cou Su) pada tahun 520.

Bodhidharma menurunkan ajaran Dhyana (pengalaman pencerahan meditasi) kepada muridnya, Hu K’o, yang menjadi sesepuh kedua aliran C’han di Cina. Demikian seterusnya, hingga di Cina dikenal enam sesepuh, yakni: Bodhidharma, Hui Khe, Shen Chie,  Tao Sin, Hung Jen, dan  Hui Neng.

Setelah Hui Neng sistim pewarisan sesepuh atau patriarch ditiadakan. Namun demikian, terdapat juga beberapa Zen Master yang cukup terkenal diantaranya: Master Han San, Fa Jung, Upasaka Ph’ang dan Master Ma Tsu serta lain-lainnya.

Dari Cina, ajaran C’han-na menyebar ke Jepang, dan dikenal dengan istilah Zen. Pertumbuhan aliran Maitreya di Cina kerap juga dikaitkan dengan para sesepuh Chan Buddhism seperti para tokohnya yang dianggap juga sebagai manifestasi Maitreya. Pertumbuhan aliran Maitreya ini juga tidak lepas dengan kebudayaan keagamaan Cina yang bersendikan ajaran Taoisme dan Konfusianisme.

 

Chan Buddhisme, Filsafat Konfusianisme dan Taoisme

Aliran C’han Buddhisme tumbuh di Cina, dan diperkembangkan dalam mazhab Mahayana melalui filsafat dan kebudayaan Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, yang akhirnya berkembang di Jepang (Zen Buddhisme) dan terwujud kongkrit dalam beberapa ciri khas kebudayaan Jepang.

Dua aliran filsafat yang mendasari kebudayaan Tionghoa mempengaruhi pertumbuhan C’han Buddhisme. Konfusianisme yang bersifat positif terhadap realitas dunia dan kemanusiaan serta bersifat pragmatisme, dan Taoisme yang bersifat mistik, mengatasi intelek, melampaui kata-kata.

Filsafat Konfusianisme amat dekat kepada masalah-masalah yang kongkret, menghindari pikiran-pikiran spekulatif, dan menekankan segala keberadaan hubungan manusia pada tempatnya saat ini dan waktunya saat ini. Dasar pikiran yang tidak bertentangan dengan ajaran Buddha ini mewarnai pertumbuhan C’han Buddhisme. Pikiran praktis, bertitik tolak pada realitas dan bukan bersifat spekulatif itu terdapat pada ujaran Konfusius yang berbunyi:

“Jalan Kewajiban kita terdapat pada hal-hal yang dekat; padahal banyak orang mencarinya ditempat jauh. Tugas kewajiban adalah mudah; padahal, banyak orang mencarinya dalam hal-hal yang sulit”.

Ujar Konfusius lainnya: “Bila kita tidak dapat mengabdikan diri pada manusia, bagaimana kita dapat mengabdikan diri pada dewa-dewa? Bila kita tidak dapat memahami kehidupan, bagaimana kita akan dapat memahami kematian?”.

Dalam Taoisme, terdapat gagasan terkenal yaitu wu-wei, artinya “tidak bertindak”, dan “membiarkan hal-hal terjadi (menurut hukum-hukumnya sendiri)”; yang jahat, menurut Tao, terjadi bila manusia berusaha untuk memaksakan kehendaknya melawan hukum-hukum tersebut.

Tao sendiri berarti “Jalan”, dan dikatakan “Satu”. Tao dapat dibandingkan dengan “Sunyata”, atau “Kekosongan” dalam aliran Madhyamika.

Lao Tzu tokoh utama dalam Taoisme menyatakan bahwa Tao, Kekosongan itu bukanlah bersifat negatif. Seperti Piala Kosong, karena hakikatnya adalah untuk memuat segala sesuatu yang berharga, sesuatu yang dibutuhkan. Tao tidak dapat dikatakan “ada”, karena apa yang ada sama dengan apa yang dapat dilihat, didengar, dijamah. Di lain pihak, Tao tidak dapat dikatakan “tidak ada”, dalam arti “khayalan belaka”; meskipun Tao tidak ada, namun Tao merupakan sesuatu yang real, yang relevan, yang nyata, yang berharga.

Tao berkesan tidak logis, dan memang Tao melampaui batas-batas logika. Pernyataan-pernyataannya berkesan tidak logis, agar murid yang membacanya kaget, terbangun dari keterikatannya terhadap intelek. Hal ini akan menjelma dalam Koan-Koan atau teka-teki dalam C’han atau Zen Buddhisme.

 

Dharma Hati Chan Buddhisme    

Bila aliran Madhyamika yang dipelopori Nagarjuna terkenal dengan metodenya “Prasannapada”, atau dialektik-kritis untuk memperlihatkan kemustahilan dari intelek atau penipuan-penipuan yang terkandung dalam pikiran-pikiran yang intelektif, maka  Zen sama sekali tidak mengembangkan suatu sistem filosofis yang mengandalkan intelek, melainkan mau terjun langsung ke dalam pengalaman meditasi, pencerahan yang mengatasi pikiran.

Itulah sebabnya C’han berarti meditasi atau Dhyana, dan dalam Buddhsime Zen, meditasi (namanya zazen) pikiran (sewaktu meditasi) itu tidak diusir oleh pikiran, melainkan hanya oleh kesadaran akan adanya (bukan isinya) pikiran, dan kemudian  pikiran akan menghilang dengan sendirinya, dan pencerahan yang bersumber dari hati pun muncul.

Dengan demikian, kaum C’han Buddhisme beranggapan bahwa justru merekalah yang paling “ortodoks”. Zen beranggapan paling sesuai dengan ajaran dan praksis asli dari Sang Buddha, karena mau langsung terjun ke dalam inti ajaran Buddha mengenai pengalaman pencerahan dalam meditasi. Zen-na atau Zen, adalah sebuah kata Jepang untuk kata Cina, C’han-na.

C’han-na sendiri dalam bahasa Sansekerta berarti Dhyana, yang secara umum berarti latihan dan pengalaman meditasi. Zen Buddhisme adalah sebuah aliran dalam agama Buddha yang menekankan pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Dikatakan pula, Zen yang mewakili puncak spiritualitas dalam agama Buddha adalah berintikan tentang transmisi jiwa ajaran Buddha yang bersifat istimewa. 

Transmisi pengalaman pencerahan dari hati ke hati, karena kata-kata, pengetahuan bukanlah pencerahan itu sendiri. Dharma-Hati melampaui kata-kata. Kitab suci berisikan kata-kata yang menunjuk kepada realitas pencerahan dan bukan pencerahan itu sendiri, bagaikan jari menunjuk bulan. Pencerahan bukan kumpulan informasi namun transformasi diri dalam kesadaran baru. Mereka yang melampaui jari yang dapat melihat bulan dan tidak mereka pada yang terpaku dan melekat pada jari.

Kebijaksanaan, pencerahan yang terkandung dalam Dharma hati melampui kata-kata. Karenanya dalam Zen Buddhism, pengalaman pencerahan itu disampaikan di luar kitab suci. Transmisi pencerahan berlangsung dari satu pencerah kepada sosok tercerahkan lainnya dalam sejarah yang turun menurun yang membentuk garis silsilah.

Transmisi istimewa dharma dari hati ke hati, pengalaman pencerahan sebagaimana diawali oleh Buddha kepada Maha Kasyapa dalam peristiwa sekuntum Bunga Kumbala. Sekuntum Bunga Kumbala yang baru saja dipegang oleh Sang Buddha menjadi mediasi transmisi pengalaman pencerahan di luar kata-kata, dari hati ke hati, antara Sang Buddha kepada Maha Kasyapa.

Buddhadharma yang bersumber dari hati dari Zen Buddhism inilah yang juga menjadi jiwa dari Maitreya, yakni cinta kasih sebagai meditasi aktif dan aliran Maitreya yang berlandaskan Dharma Hati sumber dari cinta kasih membara. Cinta kasih yang tidak membedakan dalam menolong mereka yang menderita sebagaimana sabda Buddha: “Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, Semoga Semua Makhluk Bebas Dari Penderitaan”.

***

DAFTAR PUSTAKA:

Budiono Kusumohamidjojo. 2010.“Sejarah Filsafat Tiongkok,” Yogyakarta: Liberty.

Che Kuang, Wang, Y.M. Maha Sesepuh. 2008. Tuntunan Buddha Maitreya, Medan: DPD Mapanbumi Sumut.

Che Kuang, Wang. 2001. Alam Berceramah. Jakarta: DPP Mapanbumi.

Chau Ming.(1985). Mahayana. Jakarta: Akademi Buddhis Nalanda.

Chau Ming, (1985). Buddhisme C’han/Zen. Jakarta: Akademi Buddhis Nalanda.

Cheng Yen, Bhiksuni (1997). Ribuan Bunga Teratai Bermekaran Di Dalam Hati. Jakarta: Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Dutavira, Bhiksu. (1985). Pengantar Agama Buddha Mahayana. Jakarta: Lembaga  Penerbit Pusataka Suci Mahayana.

Dutavira, Bhiksu. Tt. 2000. Tanah Suci Surga Sukhavati. Jakarta: Lembaga Penerbit Pustaka Suci Mahayana Indonesia.

Dutt, Nalinaksha. (1930). Aspects of Mahayana Buddhism and Its Relations to   Hinayana. London: Luzac & Co.

Eliade, Mircea. (1986). The Encyclopedia Religion, Volume 10. USA: MOAD- NUAD.

Esposito. John L. (2015). World Religions Today. Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo.

Fung Yu Lan, “A Short History of Chinese Philosophy,” 1952.

Harvey, Peter. 1990. “An Introduction Buddhism Teachings: History and Practices”, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers.

Humpreys, Christian. (1971). Zen Buddhism. London: Unwin Paperbacks.

Ikeda Daisaku (1988). Buddhisme: Falsafah Hidup. Jakarta: PT Indira.

Joachim, 1986, “Chinese Religion a Cultural Perspective”, Prentice Hall Inc., New Yersey,

Kalupahana, David J.  (Terjemahan Ir. Hudaya Kandahjaya). 1985. Filsafat Buddha: Sebuah Analisis Historis, Jakarta: Erlangga.

Kalupahana, David J. 1995. Ethics in Early Buddhism. Honolulu: University of Hawaii Press. 

Kusumohamidjojo, Budiono. 2010. “Sejarah Filsafat Tiongkok,” Yogyakarta. Liberty.

Mc Govern, William Montgomery. (1968). An Introduction To Mahayana Buddhism. Varanasi: Sahityaratan Malakaryalaya.

Murti, T.R.V. (1980). The Central Philosophy of Buddhism. London: Paperbacks.

Priastana, Dhammasukha Jo. 1994. Pokok-pokok Dasar Mahayana: Jakarta: Yayasan Yasodhara Puteri.

Priastana, Jo. 2005. Be Buddhist Be Happy: Bahagia bersama Tri Ratna, Jakarta: Yasodhara Puteri.

Sing, Jaidev. (1978). An Introduction To Madhyamika Philosophy. Delhi: Motilal  Barnasidas.

Suzuki, Beatrice Lane. (1948). Mahayana Buddhism. London: David Marlowe  Limited.

Thomas, Edward J. (1939). The History of Buddhist Thought. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Sutradharma Tj. Sudarma, MBA., “Tiga Guru-Satu Ajaran: Kehidupan dan Ajaran Kebenaran Siddharta Gautama, Confucius, dan Lau Tzi, Yayasan Dhammadasa, Jakarta, 2000.

“Tri Dharma Seikat Bunga Rampai”, Bakti, Jakarta, 1995.

Ward, C.H.S. (1934). Outline of Buddhism. London: The Epworth Press.

Watts, Alan W. (1957). The Way of Zen. Amerika-New York: The New American  Library.

Yamahoto, Kosho. (1975). Mahayanaism: A Critical exposition of the Mahayana Mahaparinirvana-sutra. Tokyo-Japan: The Karinbunko.

 

 

Butuh bantuan?