Oleh: Jo Priastana
“Indonesia telah memainkan peran yang sangat penting dalam
mempromosikan pluralisme dan respek pada keberagaman religius”
(Barack Obama, Presiden AS ke 44/2009-2017)
Pada 17 Agustus 2024, Negara Kesatuan Republik Indonesia memasuki usia ke 79 tahun. NKRI yang besar dengan segala kekayaan alam dan keragamannya. Indonesia raya yang begitu luas dalam bentangan Nusantara yang memiliki 5,8 juta km persegi laut mengitari 17.504 pulau dan dijaga 92 pulau terluar. Selain itu keragaman juga menjadi kekayaannya yang dan terdiri dari berbagai keragaman budaya, keunikan daerah, suku, agama, ras, serta berbagai kelompok.
Sebuah karunia tak terhingga, negara yang terdiri dari berbagai keragaman itu nyatanya sampai saat ini tetap eksis sebagai Negara Kesatuan, apalagi bila dibandingkan dengan negara kesatuan lainnya yang telah terpecah belah seperti yang dialami Uni Soviet dan Yugoslavia.
Sejauh ini eksitensi NKRI tetap utuh dan mendapat pujian berbagai ahli seperti Prof. Stephanie Newman dari Columbia University, New York yang merasa heran bagaimana Indonesia yang tersusun dari begitu banyak keragaman bisa tetap berdiri. Namun, keprihatinan dan kekhawatiran akan masa depan keutuhan NKRI tetap saja harus mendapat perhatian bila melihat apa yang tengah terjadi dan berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini.
Persatuan dan Pluralitas
Meski begitu, Negara RI juga masih dihadapkan pada ancaman gerakan separatis maupun adanya kelompok tertentu yang berjuang mengganti dasar Negara kesatuan ideologi Pancasila. Begitu pula dengan berbagai konflik serta permasalahan lainnya seperti pelbagai tantangan tradisional (yang terkait dengan sulitnya bersatu karena amat beragam) dan tantangan modern (yang dipicu oleh globalisasi yang memengaruhi gaya hidup dan pemikiran), masih kuatnya ikatan primordial, serta berbagai konflik yang berkembang di berbagai daerah maupun diseputar SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Persatuan Bangsa merupakan gagasan yang perlu terus dihidupkan dalam menyertai perjalanan bangsa Indonesia melewati usia 79 tahun sekarang ini dan seterusnya sampai waktu yang tak terbatas. Persatuan bangsa merupakan benang merah hasil perjuangan para Bapak Bangsa, seperti tokoh Proklamator Soekarno yang telah membangun rumah bersama Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dan dasar Negara Pancasila.
Persatuan bangsa terbangun dari berbagai elemen-elemen yang beragam, kompleks dan saling bergantung satu sama lain. Dalam kacamata Teori Kompleksitas (Ninok Leksono, 2010) segala sesuatu yang ada di alam raya, termasuk zat dan organ dalam tubuh manusia yang masing-masing unik dan berbeda namun saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain, bisa bekerja sama dengan harmonis, hingga semuanya dapat melangsungkan tujuan hidup, yaitu terus berkembang, berevolusi, dan berproduksi dengan baik.
Keanekaragaman atau pluralitas yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing dalam kesalingtergantungan. Begitu pula dengan kerjasama dan toleransi, adaptasi sebagaimana tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity). Persatuan Bangsa tumbuh dijiwai oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika diusulkan oleh Mohammad Yamin kepada Presiden Soekarno di sela-sela sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian ditetapkan menjadi semboyan negara pada 17 Oktober 1951. Seabad sebelumnya, 1851, semboyan Bhineka Tunggal Ika ini ditulis Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma. Tulisan bahasa Jawa Kuno beraksara Bali itu mengajarkan makna toleransi antarumat beragama yang dianut oleh pemeluk agama Hindu dan Buddha dalam menciptakan kerukunan di antara rakyat Majapahit dalam kehidupan beragama (Kompas, 7/2/22).
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika terikat kuat di kaki burung Garuda yang menjadi simbol Negara Republik Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika berarti “Kesatuan dalam Perbedaan”. Semboyan Negara Indonesia modern yang mencerminkan kesatuan dari segenap unsur-unsur dan entitas yang bernaung dalam Negara Indonesia yang terdiri dari beragam etnis, daerah, sosial, agama ini bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah Nusantara.
Kehidupan masyarakat Nusantara yang mencerminkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah ada sejak dahulu kala, dan dapat ditelusuri jauh sampai ke masa pembangunan Candi Borobudur semasa Dinasti Syailendra berkuasa di Jawa Tengah pada abad 8-9, maupun pada dua ratus tahun kemudian semasa Raja Airlangga di tepi sungai Brantas, Jawa Timur.
Istilah Bhinneka Tunggal Ika tercuat secara tersurat pada abad 15 semasa kerajaan Majapahit. Dalam karya Sutasoma, Mpu Tantular menulis tentang Bhinneka Tunggal Ika semasa pemerintahan Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk). Bhinneka Tunggal Ika yang mengungkapkan sebuah doktrin rekonsiliasi antara agama Hindu dan Buddha.
Semboyan tersebut mencerminkan toleransi agama yang menjadi unsur dasar di dalam pertumbuhan dan kemajuan Kerajaan Majapahit, dan mencapai puncak pengaruhnya dalam semasa Perdana Menteri Gajah Mada yang mencita-citakan mempersatukan Nusantara dengan sumpah Palapa-nya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dari Mpu Tantular tersebut akhirnya menjadi sumber aspirasi bagi para bapak bangsa, pendiri Republik Indonesia dan diabadikan menjadi semboyan negara.
Bersama dengan Pancasila yang juga merupakan isi jiwa bangsa Indonesia, semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi prinsip dasar Negara kesatuan Republik Indonesia yang memilki makna “kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”. Persatuan bangsa Indonesia terletak di dalam pluralitas dan multikultur, begitu pula pluralitas dan multikultur membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila pun telah menjiwai bangsa Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit sampai zaman Mataram, dan setelah Indonesia merdeka. Nilai-nilai luhur yang digali dari kepribadian bangsa itu telah dirumuskan secara tegas sebagai Pancasila sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Nilai-nilai itu perlu mendapat perwujudannya agar persatuan bangsa tetap lestari. Pancasila yang terdiri dari: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, perlu kita jaga kelestariannya dengan memperjuangkan perwujudannya dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Mari kita jaga semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, dengan mewujudkan nilai-nilai Pancasila yang akan menjamin terselenggaranya persatuan bangsa. Kita kembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama yang berbeda-beda, menghindari pertengkaran dengan selalu bermusyawarah sebagaimana yang ditekankan Sang Buddha dalam Maha Vagga II, 114: 5
“Demikianlah yang telah kami dengar, Bhante, bahwa kaum Vajji bermusyawarah dan selalu mencapai mufakat dan mengakhiri permusyawaratan mereka dengan damai dan dalam suasana yang rukun. Selama kaum Vajji mengadakan permusyawaratan yang dihadiri oleh cukup peserta itu, dan mengakhiri permusyawaratan mereka secara damai serta menyelesaikan urusan-urusan mereka dalam suasana kerukunan, Ananda, maka dapatlah diharapkan perkembangan dan persatuan mereka, dan bukan keruntuhannya.” (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://assets-a1.kompasiana.com/items/album/2017/02/12/persatuan-58a06ae4b693739f1d5bbf37.jpg