Praktik Autofagi (Denotatif & Konotatif) Dalam Lingkungan Buddhisme

Home » Artikel » Praktik Autofagi (Denotatif & Konotatif) Dalam Lingkungan Buddhisme

Dilihat

Dilihat : 21 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 29
  • 65
  • 15,394
mei 3

Oleh: Majaputera Karniawan, M.Pd.

 

A. AUTOFAGI DENOTATIF (REAL) DALAM MENJAGA KESEHATAN DIRI

Autofagi adalah salah satu istilah dalam dunia kedokteran yang bermanfaat untuk detoksifikasi tubuh secara mandiri. Bisa dikatakan secara ringkas bahwa Autofagi adalah mekanisme pembersihan diri yang terjadi ketika tubuh dilatih untuk berpuasa selama kurun waktu tertentu, ini terjadi karena sel tubuh harus beradaptasi dalam keadaan minim energi, sehingga mau tidak mau memakan bagian rusak sel-sel sendiri. Mekanisme ini memiliki sejumlah manfaat bagi kesehatan, yang mana tubuh akan memakan sel-sel tubuh atau bagian dari sel yang telah rusak, sehingga memicu regenerasi sel-sel baru yang lebih sehat (Hello Sehat, 2023).

Sel-sel tergantikan inilah yang kemudian akan membuat tubuh menjadi lebih sehat, karena bagian sel yang telah rusak menjadi tergantikan. Proses ini juga terjadi ketika seseorang berpuasa. Bila kita amati, dalam Buddhisme juga mengajarkan laku puasa (yang berakar dari kata Upawasatha [Sansekerta] atau Uposatha [Pali]) guna menekan keberadaan penyakit dan mengupayakan kehidupan yang lebih sehat.

Para bhikkhu, Aku makan sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, Aku terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman. Ayo, para bhikkhu, makanlah sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, kalian akan terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman.’ (MN21 Kakacupama Sutta). 

Ini adalah perkataan Sang Buddha. Beliau sudah memahami bahwa dengan mengurangi asupan makanan akan membuat tubuh lebih optimal dalam menjaga kebugarannya. Adapun Sang Buddha juga memberikan keleluasaan untuk membagi porsi makan dalam jumlah yang sama namun untuk waktu konsumsi yang berbeda (misalnya seporsi makanan untuk pagi dan sore hari) sebagai latihan bagi yang tidak terbiasa makan sehari sekali, dengan demikian mereka masih tetap dapat mempraktikan Autofagi walau dengan proses yang lebih singkat.

Bhaddāli, makanlah pada satu bagian di sana di mana engkau diundang dan bawalah pulang satu bagian untuk dimakan. Dengan memakan demikian, engkau akan memelihara tubuhmu.  (MN65  Bhaddali Sutta).”

 

B. AUTOFAGI DALAM MAKNA KONOTATIF (KIASAN)

Praktik ini sebenarnya juga dilakukan dalam Buddhisme bukan hanya untuk memelihara kesehatan fisik semata, namun juga untuk memelihara kesehatan batin dan kesehatan organisasi/komunitas. Seperti praktik yang dilakukan Sang Buddha terhadap bhikkhu yang pernah menjadi kusirnya, Bhikkhu Channa. Sang Buddha memberikan kepadanya sebuah hukuman yang bernama Brahmadanda (Hukuman Brahma) guna meruntuhkan kesombongannya dalam komunitas para bhikkhu.

Hukuman jenis ini menuntut penerimanya menerima sanksi berupa: Apa pun yang diinginkan atau diucapkan oleh Bhikkhu tersebut, agar jangan dihiraukan, ditegur atau dinasihati oleh para bhikkhu lainnya. (DN16 Mahaparinibbana Sutta). Bisa dikatakan seperti ‘dikacangi’ oleh para bhikkhu yang lain agar bisa mempraktikan diri.

Praktik seperti ini tidak dilakukan untuk setiap kesalahan, hanya untuk orang bermasalah tertentu yang sudah tidak dapat dimediasi dengan baik dan ranahnya belum sampai tindakan kriminal. Dari praktik seperti ini, Sang Buddha bisa secara efektif menjaga dan memelihara organisasi Sangha bebas dari gangguan ketidakpatuhan, yang mana agar pelakunya bisa jera dan kembali kepada jalan yang benar.

 

C. SINGKIRKAN SIKAP BURUKNYA, BUKAN ORANGNYA

Praktik ini Buddha terapkan semata-mata untuk membuat orang-orang yang berperilaku buruk namun belum sampai pada tahapan kriminal agar bisa dikendalikan. Prosesnya yang melibatkan sanksi sosial memunculkan faktor superego (kepekaan moral) kepada penerimanya. Bila masih dalam batas toleransi, Buddha juga memilih merehabilitasi orang tersebut ketimbang mengeluarkannya dari komunitas. Alasannya sederhana, karena beliau memiliki welas  asih kepada setiap orang. Bukan membencinya. 

Jadi bagi Sang Buddha yang terpenting adalah merehabilitasi perilaku salah menjadi perubahan ke arah perilaku yang lebih baik. Bila kita amati bersama, kuncinya ada pada 3 faktor: ‘pengawasan, penindakan, dan pembinaan’. Dari sinilah komunitas Buddhis seharusnya bisa mulai mengawasi perilaku anomali yang mungkin bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan ajaran Buddhisme sendiri di tanah air.

Ambil contoh kasus yang baru-baru ini mencuat soal praktik ‘Giro’ (baGI loRO, bagi dua) yang dikemukakan Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera pada acara closing ceremony Munas PATRIA ke 7 (https://www.youtube.com/watch?v=2Jzb_NOjVdA&t=9928s). Beliau berkata bahwa praktik penggalangan dana dengan tidak transparan dan melibatkan organisasi yayasan crowdfunding tertentu dengan meminta 50% hasil sumbangan terkumpul untuk oknum organisasi tersebut telah terjadi dan kemudian membawa keresahan bagi umat Buddha.

Dari sini kita bisa belajar untuk mempraktikkan ‘Autofagi’ dalam rangka menjadi tombol ‘reset’ bagi para oknum-oknum yang berpandangan salah tersebut. Dengan cara memberhentikan sokongan pada oknum organisasi yayasan crowdfunding tersebut sampai mereka menyelesaikan proses pertanggung-jawaban kepada semua umat Buddha yang dirugikan. Dengan cara inilah kita bisa kembali mempertahankan kelangsungan apa yang sudah berjalan tanpa membuat banyak pihak dirugikan.

Disamping itu, ini juga menjadi pembelajaran bagi semua insan Buddhis untuk lebih memberi atensi pada 3 faktor ‘pengawasan, penindakan, dan pembinaan’. Khususnya fungsi pengawasan agar kita lebih bijak dalam berdana dan bijak dalam mengawasi kinerja organisasi-organisasi/yayasan-yayasan di lingkungan Buddhis maupun agama lain. Pasalnya, aspek legalitas tidak menjadi jaminan akan tidak adanya penyelewengan di dalam internal organisasi tersebut. Dengan mempraktikkan Autofagi dan Bijak Berdana, dapat diharapkan semakin mempersempit ruang gerak para oknum nakal di bidang tersebut. 

 

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)
  • BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA)

 

DAFTAR PUSTAKA

Hello Sehat. 2023. Puasa Memicu Autofagi, Proses Detoks yang Bikin Panjang Umur. https://hellosehat.com/sehat/informasi-kesehatan/autofagi-saat-puasa/. Diakses 4 April 2023. 

https://www.pngwing.com/en/free-png-pcdca. Diakses 4 April 2023.

Video lengkap MUNAS 7 PATRIA: https://www.youtube.com/watch?v=2Jzb_NOjVdA&t=9928s.

Suttacentral (Online Legacy Version). 2015. Digha Nikaya. http://legacy.suttacentral.net/dn. Diakses April 2023.

Suttacentral (Online Legacy Version). 2015. Majjhima Nikaya. http://legacy.suttacentral.net/mn. Diakses April 2023.

Butuh bantuan?