Oleh: Arya Whisnu Karniawan, S.Pd., M.Pd.
anupubbikatha@gmail.com
Di pertengahan Juli kemarin, orang tuaku melanglang-buana ke suatu Vihara di area Serpong. Saat itu memang sedang ada acara Shedjit/ ulang tahun Kong Co/ Dewa yang dipuja di Vihara itu. ‘Pesta gede-gedean, itulah yang pertama kali diucapkan oleh orang tuaku sesampainya di rumah. Mereka melanjutkan ‘Ada Gambang, semua pada ngibing, makanannya juga kagak pelit!’ ‘Atuh wajar aja, kalo di udik mah emang gitu’ seraya aku membalas. Tak terasa berjam-jam telah berlalu. Tibalah waktunya makan malam. Namun orang tuaku tidak kunjung lapar. ‘Heran ya? Kok gue gak lapar ya? Padahal tadi makannya dikit banget.’ Nenekku juga menjelaskan, kalau dia hanya memakan sejumput nasi dan empat potongan kecil daging. Dalam keheranannya saya pun nyeletuk ‘Itumah pasti ada Dukun Pangkeng-nya, makanya tuh perut kenyang aja bawaannya.’ Baru ketika hari itu telah berlalu, perut mereka pun akhirnya keroncongan.
Pernyataan yang berani ini bukannya tanpa alasan, sejak dulu memang budaya Betawi dan Cina Benteng saling berbaur satu sama lain. Saya pun pernah melihat budaya seperti ‘Pasang Ancak’ dan ‘Dukun Pangkeng’ pada suatu rumah kawin Cina Benteng di Sewan, Tangerang. Sejak saat itu, saya menjadi penasaran dan ingin menggali lebih dalam perihal Dukun Pangkeng ini. Pasalnya, Dukun Pangkeng sendiri sudah sangat jarang terdengar, bahkan masyarakat Betawi dan Cina Benteng mulai asing mendengarnya. Rasa penasaran ini membawa saya ke perpustakaan besar di Jakarta, Perpustakaan HB Jassin di Cikini. Di sana, saya menemukan sebuah buku terbitan tahun 1985 dengan judul “UPACARA TRADISIONAL YANG BERKAITAN DENGAN PERISTIWA ALAM DAN KEPERCAYAAN DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA”. Buku ini bagaikan sebotol air pengetahuan yang saya temukan ditengah-tengah gurun pasir ketidak-tahuan. Buku ini benar-benar membahas secara rinci tentang apa itu upacara Mangkeng, apa itu dukun Pangkeng, tujuannya, apa-apa saja yang perlu dipersiapkan, bagaimana tahapannya, dan bahkan sampai mantra/ jampi-jampi yang dipakai.
Saya mungkin hanya akan menjelaskan secara ringkas. Upacara mangkeng sendiri adalah upacara untuk mendukung kelangsungan acara, umumnya hajatan perkawinan ataupun sunatan. Dengan maksud agar acaranya tidak terganggu oleh hujan, gangguan gaib, mengundang tamu, dan menjaga kecukupan makanan. Kata ‘Mangkeng’ sendiri berasal dari kata ‘Pangkeng’, yaitu (kata serapan dari bahasa Hokkien) yang berarti kamar atau ruangan di dalam rumah. Upacara Mangkeng sendiri dilakukan oleh Dukun Pangkeng di ruangan Pangkeng Pendaringan, yaitu kamar menyimpan persediaan makanan.

Gambar 2. Ibu Fatimah yang berprofesi sebagai seorang Dukun Pangkeng
Dalam upacara ini, Dukun Pangkeng meminta Dewi Sri/ Nyai Pohaci, sosok yang tidak asing dalam budaya Sunda Kuno, dan para pengikutnya (Ikan Lele, ikan Gabus, Belut/ Lindung, dan Ayam Jago) untuk hadir dan turut serta mengadakan pesta bagi para makhluk halus. Sehingga dalam prakteknya, terdapat dua pesta sekaligus, yakni pesta yang diadakan manusia, dan pesta makhluk halus yang diadakan oleh Dewi Sri/ Nyai Pohaci. Dewi Sri diyakini akan menyuruh para pengikutnya untuk mengundang ‘Empat Papat Lima Pancer’ dari orang-orang sehingga mereka pun juga tergerak untuk hadir ke pesta yang diadakan tuan rumah. Tidak lupa makhluk halus yang lain diberikan persembahan berupa Ancak yang diletakkan di lima sudut rumah agar memohon izin dan kelancaran acara. Melalui ‘Nyumpel’, Dewi Sri/ Nyai Pohaci berperan untuk menjaga nafsu makan orang-orang yang hadir. Dengan begitu, mereka enggan untuk makan berlebih dan pada akhirnya akan menghemat persediaan makanan yang dimiliki oleh tuan rumah. Makanan pun tercukupi untuk pesta.

Gambar 3. Peralatan untuk ritual ‘Nyumpel’
Sungguh menakjubkan bagi saya pribadi, bagaimana masyarakat kita dengan kearifannya dapat menghemat sumber daya. Teringat jelas di pikiranku, ketika sedang berkunjung ke pesta pernikahan di daerah kota, pengantinnya menyediakan makanan dengan komposisi minim sayuran, penuh karbohidrat, kolesterol, lemak, dan gula. Hal ini membuat orang-orang menjadi enggan makan berlebih. Namun jika kita menerapkan hal yang sama di masyarakat udik, tentu ini tidak akan berlaku. Badan mereka umumnya sehat akibat bertani atau beternak, nafsu makan mereka malah akan semakin tergugah karena mereka juga perlu asupan lemak dan kolesterol. Untuk mengatasi hal ini, perut pun ‘disumpel’ dengan kekuatan gaib. Tentunya hal ini adalah baik dan secara tidak langsung berkontribusi dalam merawat alam, karena semakin banyak makanan yang dibuat dan disajikan, berarti akan menghabiskan banyak sumber daya (kayu bakar, air, bahan pangan, dan sebagainya) dan menghasilkan banyak limbah (asap, sampah, dan sebagainya) yang tidak ramah bagi alam.

Gambar 4. Penggambaran Dewi Sri/ Nyai Pohaci
Masyarakat Betawi Kuno percaya bahwa Dewi Sri/ Nyai Pohaci adalah sosok yang baik, suka menolong, dan memberi sumber kehidupan bagi manusia. Beliau dengan tulus membantu tuan rumah untuk mengadakan pesta dan menjamu para makhluk gaib ‘saudara kembar’ manusia, sehingga para manusia turut hadir ke dalam pesta di dunia nyata. Oleh karena itulah, persembahan-persembahan pokok haruslah selalu tersedia. Diyakini, jika persembahan pokok tidak tersedia, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini bukan berarti Dewi Sri/ Nyai Pohaci marah, tapi semata-mata karena Dewi Sri/ Nyai Pohaci tidak dapat membantu jika persediaan pokok kurang. Bagaimana Sang Dewi akan mengundang ‘saudara kembar’ manusia jika tidak memiliki pengikut? Bagaimana Sang Dewi menyambut tamu di pestanya jika tidak ada jamuan seperti sirih dan lisong, juga bagaimana Sang Dewi menyambut tamu jika tidak berhias diri karena tidak ada alat-alat rias? Bagaimana mengundang makhluk gaib ke pestanya tanpa persembahan yang cukup? Ataupun bagaimana Sang Dewi dapat menahan nafsu makan orang-orang jika peralatan ‘Nyumpel’ tidak tersedia?

Gambar 5. Influencer Muhammad Arief
Jika kita memaknainya secara perspektif modern, saya teringat oleh ucapan seorang influencer Sunda Wiwitan bernama Muhammad Arief. Beliau mengungkapkan bahwa sesajen adalah indikator keseimbangan tanah dan air di sekitar kita. Ketika komponen sajen itu lengkap, artinya keseimbangan lingkungan kita terjaga. Ketika tidak lengkap, artinya ada ketidak-seimbangan di lingkungan kita. Hal ini karena komponen-komponen sesajen sendiri berasal dari ladang dan hutan di sekitar lingkungan kita. Jika kita berkaca pada kondisi tanah Betawi saat ini, tentu saja ada persembahan-persembahan pokok yang sulit untuk diperoleh. Hal ini semata-mata adalah pengingat bagi kita, bahwa alam kita sedang tidak baik-baik saja. Ketika persembahan pokok tidak terpenuhi, masyarakat Betawi Kuno takut akan hal buruk yang akan terjadi. Pada masa sekarang, dapat kita maknai hal-hal buruk tersebut semata-mata karena alam yang tidak seimbang. Tentunya hal ini adalah pengingat bagi manusia untuk merawat alam.
Dari upacara Mangkeng ini sendiri, terdapat pesan-pesan bermakna yang dapat kita ambil:
- Manusia harus bersikap seperti Dewi Sri, yang selalu jujur, bersih (suci), dan suka menolong.
- Manusia harus selalu mawas diri dan tahu balas budi. Laksana Dewi Sri, beliau tidak pernah menuntut balas jasa, tidak pernah menolak permintaan tolong. Nyatanya, berass (perwujudan Dewi Sri) mau dibuat makanan dan masakan apa saja. Dengan kebaikan yang sudah dilakukan Dewi Sri, jangan lupa kita perlu membalas budi baiknya, salah satu caranya adalah dengan merawat alam kita.
- Manusia harus selalu saling menghormati, baik sesama manusia maupun dengan makhluk lain. Karena manusia tidak hidup sendiri dan butuh bantuan orang lain.
- Praktek ‘Nyumpel’ sarat akan nilai penghematan, manusia perlu belajar untuk menggunakan sumber daya secara tepat dan bertanggung-jawab. Manusia tidak boleh semena-mena mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan hingga pada tahap merusak alam. Hal ini semata-mata demi masa depan kita bersama yang lebih baik.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Referensi
Arief, Muhammad. 2025. Sajen adalah cara kita mengetahui kondisi alam sekitar. https://www.instagram.com/reel/DL9BwnpSJF6/?igsh=MXhuYXZ5a2RuM3JvYQ==. Diakses pada 31 Juli 2025 15.21 WIB.
Wanganea, Yopie. Dkk. 1985. UPACARA TRADISIONAL YANG BERKAITAN DENGAN PERISTIWA ALAM DAN KEPERCAYAAN DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA. Jakarta. DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN.