Oleh: Jo Priastana
“Saya pernah ditanya mengapa saya tidak tidak berpartisipasi dalam demonstrasi anti-perang. Saya bilang saya tidak akan pernah melakukan itu, tapi begitu Anda mengadakan unjuk rasa pro-perdamaian, saya akan hadir”. (Bunda Teresa (1910-1997), Misionaris Cinta Kasih)
Apalah artinya menjadi sarjana tanpa memperjuangkan nilai perdamaian dan protes anti- perang. Gambaran itulah yang kiranya terpancar dari suasana wisuda di salah satu kampus bergengsi Harvard di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, pada Kamis 23/5/24. Suasana wisuda diwarnai oleh gemuruh mahasiswa yang turut bersimpati atas perjuangan rekan-rekannya yang melakukan protes anti-perang dan pro-perdamaian.
Ratusan wisudawan-wisudawati meninggalkan lokasi wisuda sambil membentangkan poster-poster berisi seruan pro-Palestina. Bagi mereka, seremonial wisuda tak ada maknanya dibandingkan nilai yang mereka perjuangkan, pro-perdamaian dan membela rekannya 13 mahasiswa yang tidak diwisuda sebagai hukuman atas aksi mereka berunjuk rasa pro-Palestina. (Kompas, 27 Mei 2024).
Aksi protes di Universitas Harvard itu merupakan bagian dari gelombang unjuk rasa yang melanda kampus-kampus di negara-negara Barat, baik di AS, Kanada, Eropa, maupun Australia. Anak-anak muda di AS secara umum kian kritis terhadap penolakan Israel pada hak-hak asasi dan hak bangsa Palestina menentukan nasib sendiri. Tampaknya tak hanya di akar rumput, gerakan pro-Palestina juga telah merambah pada tingkat negara di Eropa, seperti Spanyol, Noerwegia, dan Irlandia (Kompas, 27/05/2024).
Belajar dari Perang Vitenam 1968
Sudah sejak terjadinya pembantaian di Jalur Gaza oleh Israel, gaung protes anti perang seperti di tahun 1968 (perang Vietnam) kembali berulang. Protes perang itu beresonansi dalam gerakan pro-Palestina oleh kalangan muda di Amerika Serikat. Protes anti perang yang tampaknya juga akan merubah peta politik. Di tahun 1968, gugatan kaum muda agar Washington menghentikan perannya dalam Perang Vietnam mengubah peta politik.
Popularitas Presiden AS waktu itu, Lyndon B Johnson turun drastis. Bahkan gelombang protes 1968 menjadikan Presiden dari Partai Demokrat itu terdesak dan akhirnya mundur dari pencalonan kembali sebagai calon presiden. Ia digeser oleh Richard Nixon dari Partai Republik. Gelombang protes 1968, protes anti perang Vietnam menjadikan seruan pemuda begitu berdaya.
Anak muda yang menggelontorkan seruan, “hei, hei, Lyndon B Johson, berapa banyak anak yang kamu bunuh hari ini?” Yel-yel dengan nada serupa kini diserukan lagi setelah 56 tahun. “Bom Israel, NYU (Netanyahu, PM Israel) yang membayar, berapa banyak anak yang telah kamu bunuh hari ini?” Demikian yel-yel demo mahasiswa yang terdengar di Universitas New York pada akhir April 2024, sebagaimana laporan “The Guardian”. (Kompas, 6/5/24), menyadarkan kita akan betapa berdayanya pemuda dalam mewujudkan perdamaian.
Di tahun 1968, Majalah “Time” melaporkan unjuk rasa anak muda yang protes perang Vietnam. Seruan demo mahasiswa itu menembus pagar-pagar universitas hingga menyeruak masuk ke ruang-ruang di Gedung Putih dimana pemerintah tetap saja bergeming. Lalu pada 4 Mei 1970, sekitar dua tahun sejak gelombang anti Perang Vietnam berkecamuk, tindakan aparat yang menggunakan kekerasan, setidaknya menewaskan empat mahasiswa Kent State University, Ohio dan melukai lainnya. (Kompas, 6/5/24).
Tanggal 4 Mei dimana terjadi peristiwa berdarah itu masih diperingati sampai saat ini, dan tampaknya perang tidak juga hilang dari kehidupan bangsa-bangsa di dunia yang telah memiliki Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejarah demo anti perang di tahun 1968 memprotes perang Vietnam tampaknya berulang kembali seperti tampak pada protes perang di jalur Gaza. Seperti era di masa itu, ketika unjuk rasa mahasiswa ditanggapi dengan kekerasan dan pengelola kampus serta aparat yang juga melakukan tindakan kekerasan.
Pelaku demo 1968 mengingatkan pemerintah AS, sekutu kuat Israel. Dean Kahler di Kent State University, yang merupakan salah satu korban penembakan aparat hingga lumpuh saat unjuk rasa anti-Perang Vietnam, menyatakan, “Saya bertanya-tanya, apakah administrator perguruan tinggi sekarang tidak mengambil pelajaran dari peristiwa di tahun 70-an?”
Meski belum sebesar tahun 1970-an, tanggapan atas gerakan anti perang yang dilakukan oleh anak-anak muda yang demo anti perang Gaza itu nyatanya memperluas demo protes anti perang ke kampus-kampus lain. Presiden AS Joe Biden pun menanggapi demo itu dengan kurang simpatik. Akankah Presiden AS saat ini mengalami hal yang sama dengan Presiden AS 1968, Lyndon B Johnson? Presiden AS itu tumbang karena tidak mengindahkan protes mahasiswa yang prihatin akan pelanggaran hak-hak asasi manusia dan terjadinya pembunuhan.
Anak-anak muda di manapun dan pada masa apapun adalah anak-anak kehidupan yang mencintai perdamaian dan tidak toleran terhadap hadirnya perang yang banyak mengorbankan mereka yang tidak bersalah. Mereka bersuara untuk kemanusiaan dan perdamaian. Mereka melakukan demo dan protes terhadap terjadinya perang semata untuk menjaga kehidupan menghormati kemanusiaan dan memperjuangkan perdamaian. Suara anak muda yang cinta damai sebagaimana para pejuang politik Ahimsa, perjuangan politik tanpa-kekerasan.
Perjuangan Politik Ahimsa
Kaum cinta damai dan pro-kemanusiaan seperti anak-anak muda dan kaum rohaniwan cinta damai dipastikan akan melakukan protes terhadap terjadinya perang yang hanya mendatangkan kesengsaraan dan banyaknya kematian manusia yang tidak bersalah. Protes terhadap perang dilakukan sebagai bentuk perjuangan politik Ahimsa atau perjuangan tanpa kekerasan.
Politik Ahimsa kerap dilakukan oleh tokoh-tokoh pecinta perdamaiaan dan juga berkemungkinan muncul dari kalangan agama yang humanis. Karenanya agamawan memang sepantasnya turut berperan mewujudkan kehidupan yang damai. Para tokoh agama seperti Bhikkhu juga kerap melakukan protes terhadap perang dan demo untuk perdamaian.
Perjuangan politik para bhikkhu itu tetap sebagai perjuangan yang berlandaskan pada ahimsa (tanpa kekerasan), sebagaimana Mahatma Gandhi memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Dalam Buddhis pun kita kenal adanya sosok atau tokoh-tokoh cinta damai yang muncul dari perjuangan seperti itu.
Pada 11 Juni 1963, seorang bhiksu Vietnam Thich Quang Duc membakar diri di tengah persimpangan padat di kota Saigon – sekarang Ho Chin Minh di dekat istana kepresidenan Saigon. Tindakan bhikkhu Thich Quang Duc sebagai bentuk protes dan perlawanan terhadap kebijakan brutal anti-Buddha dari presiden Vietnam Selatan, Ngo Dinh Diem. Ada juga Thich Nhat Hanh (1926-2022) yang menjadi tokoh atau tokoh pejuang damai dalam perang Vietnam.
Sementara itu, Bhikkhu Maha Ghosananda (1913-2007) di Kamboja juga memperjuangkan perdamaian di tengah-tengah negaranya yang sedang dilanda perang. Mereka semuanya adalah para Bodhisattva masa kini. Bodhisattva yang rela mengorbankan dirinya di jalur politik untuk terwujudnya perdamaian. Mereka mengumandangkan dan melakukan keterlibatan aksi nyata dalam mencegah terjadinya pembunuhan.
Baik Bhiksu Thich Quang Duc yang membakar diri, Thich Nhat Hanh, Maha Ghosananda, Mahatma Gandi, dan anak-anak muda yang memprotes terjadinya perang demo untuk perdamaian adalah para pejuang politik Ahimsa. Mereka berada di garis perlawanan terhadap terjadinya perang, karena perang yang sampai bersimbah darah tidak sepatutnya terjadi. Bagi para pejuang kemanusiaan dan perdamaian, perang yang tidak lepas dari penggunaan kekerasan sangat bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab dan tidak sejalan dengan semangat kasih sayang dalam agama.
Dalam perspektif agama, khususnya agama Buddha, ajarannya yang menekankan agar setiap manusia dapat memajukan kualitas kehidupan spiritualnya, juga berlaku dalam tataran kehidupan politik, yakni tingginya kualitas kehidupan antar negara. Kualitas peradaban negara ini adalah tidak terlibat dan tidak memperlakukan kekerasan dalam menyelesaikan segala macam masalah yang berkenan dengan konflik.
Dimensi ketinggian peradaban yang mencerminkan keluhuran spiritual manusia harus menjiwai lapangan politik. Buddha mengingatkan tentang politik yang maju dan beradab. Politik yang maju dan beradab seperti itu adalah politik yang “tanpa membunuh, tanpa melukai, tanpa menjajah, tanpa membuat sedih, dan mengikuti Dhamma atau ajaran kebenaran” (Samyutta Nikaya).
Demo Untuk Perdamaian
Sang Buddha tidak membenarkan terjadinya pemakaian kekerasan atau peperangan. Ketika Vidudhaba, putra Raja Pasenadi dari Kosala menyerbu Kapilavasthu dengan empat divisi prajurit, ia melewati Sang Buddha yang sedang bermeditasi di bawah pohon yang sudah layu. Ketika melihat Sang Buddha, Vidudhaba bertanya kepada Sang Putra Sakya itu, “Mengapa anda duduk di bawah pohon yang sudah layu ini, sedangkan ada banyak pohon yang tumbuh penuh dengan dedaunan dan banyak cabangnya?” Sang Buddha menjawab: “Naungan rasa persaudaraan lebih mulia daripada naungan rasa permusuhan.”
Begitu pula dengan Ajatasattu. Ketika Raja Ajatasattu, putra Bimbisara dari Magadha ini hendak menyerang Vajjis, negara tetangganya, ia meminta saran terlebih dahulu kepada Sang Buddha lewat pendeta Vassakara. Kemudian Sang Buddha mengingatkannya untuk tidak mengobarkan peperangan, tidak mempergunakan kekerasan, melainkan sebaliknya menjalankan politik tanpa kekerasan yakni dengan menekankan untuk bermusyawarah dan mematuhi semua ketentuan perdamaian yang telah diberlakukan (Maha Paninibbana Sutta).
Semaraknya demonstrasi menentang perang merupakan suatu langkah awal yang baik untuk melaksanakan pendidikan perdamaian dan budaya tanpa kekerasan. Tindakan protes anti perang dan demo untuk perdamaian itu memegang peran kunci guna mengembangkan ‘Budaya Perdamaian atau budaya tanpa kekerasan’.
Deklarasi PBB tanggal 13 September 1999, mendefinisikan Budaya Perdamaian sebagai “sejumlah nilai, keyakinan, tradisi, perilaku dan gaya hidup … Anak-anak agar sejak dini dilibatkan dalam kegiatan kependidikan yang mentransfer nilai, keyakinan, perilaku dan gaya hidup yang memberdayakan mereka untuk melerai konflik secara damai berdasarkan spirit toleransi, menghargai harkat manusia dan nondiskriminasi” (Deklarasi PBB 1999).
Budaya damai dan menentang perang inilah yang menjadi semangat dan aspirasi Buddhadharma, sebagaimana tercermin pada tokoh-tokoh Buddhis penentang perang Vietnam, Bhiksu Ghosananda pejuang perdamaian dalam konflik di Kamboja, maupun para mahasiswa Buddhis di manapun berada yang berpartisipasi dalam demontrasi memperjuangkan perdamaian, karena perdamaian sesungguhnya adalah kerinduan hati manusia yang terdalam.
Filsuf perdamaian Erich Weil (1904-1977) menyatakan kerinduan untuk hidup damai dan keprihatinan terhadap berbagai peristiwa kekerasan, konflik dan perang yang mengancam perdamaian bisa menjadi tali pengikat persaudaraan yang mendorong berkembangnya gerakan hidup damai. Kita apresiasi demontrasi protes anti perang dan demo perdamaian agar Budaya Perdamaian yang diserukan PBB terus tumbuh guna mengatasi budaya penggunaan kekerasan! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQhvBbz7ORgSzdjiMr4AW7LdspE7AzJXswbHTC6PT8U-w&s