Psikologi Kekuasaan dan Kerusakan Otak

Home » Artikel » Psikologi Kekuasaan dan Kerusakan Otak

Dilihat

Dilihat : 85 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 88
  • 63
  • 23,129
WhatsApp Image 2023-06-22 at 8.08.24 PM

Oleh: Jo Priastana

 

“Hampir semua orang dapat menanggung kemalangan, tapi

jika anda ingin menguji watak manusia, coba beri dia kekuasaan”

(Abraham Lincoln 1809-1865, Negarawan, Presiden AS ke 16)

 

Jika ingin kekuasaan, ambillah. Jangan malu-malu, jangan terikat prinsip atau moral. Tujuan menghalalkan cara. Dan jika tidak menjaga diri, orang akan mengalahkan kita. Begitulah kekuasaan dalam pandangan Machiavelli yang tidak memiliki moral rasa malu. (Rutger Bregman, 2021: 226-241).

Bagi Machiavellian, kebaikan itu bohong dan tipuan belaka. Machiavelli mengungkapkan tentang hakekat manusia. ‘bisa dikatakan mengenai manusia secara umum bahwa mereka tak tahu terima kasih, picik, tertutup, munafik, pengecut, dan rakus. (Niccolo Machiavelli, “The Prince”, terj. James B. Atkinson, Cambridge, 2008: 271). Jika seseorang berbuat baik kepada Anda, jangan terkecoh; itu tipuan, karena “manusia tak pernah berbuat baik kecuali kalau perlu”. (ibid).

Teori Niccolo Machiavelli begitu populer, sehingga mereka yang terobesi dengan kekuasaan itu dikatakan sebagai seorang Machiavellian. Tetapi bisa dipertanyakan apakah pandangan Machiavelli itu benar, apakah memang orang tanpa malu-malu berbohong dan menipu untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan? Apakah manusia seburuk itu, sedangkan sains terbaru menemukan bahwa manusia pada dasar dan hekekatnya adalah juga baik. Homo puppy, seperti diungkapkan Rutger Bregman.

 

Psikologi Kekuasaan dan Kerusakan Otak

Rutger Bregman, dalam bukunya “Human Kind Sejarah Penuh Harapan,” 2021, Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama mengungkapkan secara panjang lebar tentang Macchiavelli. (Hal 226-241), kebalikan dari pandangannya tentang hakekat manusia. Dinyatakan bahwa keunggulan besar filosofi Niccolo Machiavelli tentang kekuasaan adalah bisa dipraktikkan. Tapi, Rutger Bregnan mempertanyakan, apakah teori Macchiavelli ini benar?

Rutger Bregman (2021: 227) peneliti tentang hakekat kebaikan manusia ini mengemukakan penemuan Profesor Dacher Keltner pada 1990-an yang ingin menguji kebenaran teori Machiavelli. Profesor Dacher Keltner melakukan penelitian terhadap orang-orang yang berada di kamar-kamar asrama perkemahan musim panas. Hasilnya, Profesor Dacher Keltner mendapati bahwa orang yang berperilaku seperti disarankan “Il Principe” akan diusir dari perkemahan. Ini berarti teori Machiavelli tidak berlaku.

Profesor Keltner membandingkan hakekat manusia baik dengan orang zaman prasejarah. Sebagaimana pada zaman prasejarah, masyarakat-masyarakat kecil itu tidak membiarkan saja kesombongan. Orang sombong dianggap brengsek dan dijauhi. Keltner menemukan bahwa orang-orang yang naik ke posisi berkuasa adalah yang paling ramah dan empatik. Yang paling ramah adalah yang paling berhasil. (Dacher Keltner, “The Power Paradox. How We Gain and Lose Influence, New York, 2017: 41-9).  

Terhadap pemuja kekuasaan dan kesombongan itu, Profesor Keltner mendapati tentang adanya gangguan pribadi. Istilah medisnya adalah “Sosiopati dapatan” (acquired sociopathy); suatu gangguan kepribadian antisosial bukan warisan, yang pertama kali didiagnosis para ahli psikologi pada abad ke-19.

Ada gangguan di kepalanya. Sosiopati dapat terjadi sesudah adanya benturan ke kepala yang merusak bagian-bagian tertentu otak dan bisa mengubah orang baik menjadi Machiavellian terburuk. Ternyata orang berkuasa menampilkan kecenderungan yang sama. (Keltner, “The Power Paradox”, hal. 99-136).

Orang dengan kerusakan otak bercirikan: lebih impulsif, egois, sembarangan, arogan, dan kasar dibanding rata-rata, lebih mungkin berselingkuh dari pasangan, kurang memperhatikan orang lain, dan kurang tertarik dengan sudut pandang orang lain. Mereka juga lebih tak tahu malu, sering gagal menunjukkan satu fenomena wajah yang membuat manusia khas di antara primata, wajah mereka tidak memerah.

 

Saling Berhubungan dan Compassion

Selain adanya kerusakan otak yang menimbulkan obsesi terhadap kekuasaan, rasa berkuasa itu juga mengganggu apa yang disebut pencerminan. Pencerminan adalah suatu proses mental yang berperan penting dalam empati. Individu yang berkuasa mengalami lebih sedikit pencerminan. Seolah mereka tak lagi merasa terhubung dengan sesama manusia. (Jeremy Useem, “Power Causes Brain Damage”, The Atlantic, Juli/Agustus 2017).

Dalam perspektif Buddhadharma, manusia dan bahkan segala apa saja di dunia berada dalam saling keterhubungan dan ketergantungan (pratitya samutpada). Karena merasakan bahwa dirinya saling tergantung dengan segala apa yang ada di dunia ini termasuk sesama manusia, maka tumbuhlah rasa peduli, empati, compassion atau karuna. Termasuk di dalamnya hiri dan ottappa yang menjadi pelindung dunia, pelindung dunia kehidupan dimana diantara sesama ada bersama dengan baik.

Seluruh kehidupan ini saling terkait satu sama lain, dan menunjukkan apa yang terkait dengan kita juga akan terkait dengan yang lainnya sebagai kenyataan interkoneksi global. Saling ketergantungan sebagai cerminan Hukum Saling Ketergantungan yang juga dikemukakan oleh Sang Buddha.

Karen Armstrong (lahir 1944) mengatakan, kekerasan yang juga berkaitan dengan kekuasaan akan selalu ada karena naluri primitif dan emosi purba yang terletak di otak reptil “tua” manusia. Namun ada pula bagian otak manusia yang mendorong kepedulian dan berbagai kualitas positif lainnya. Apakah kita ingin tunduk pada otak reptil kita saat melihat apa yang terjadi ketika kebencian, keserakahan, dan keinginan balas dendam membakar manusia? 

Karen Armstrong, penulis buku, dan seorang feminis ini menegaskan, bahwa dalam dunia yang terbelah, belas kasih sangat diperlukan demi keselamatan umat manusia. Untuk itu dituntut upaya keras dari pikiran dan hati. “Kita harus berpikir jernih tentang dampak kekuasaan yang diekspresikan lewat kekerasan dan perang serta kemungkinan penguasasan senjata di tangan yang salah. Kita harus bekerja keras untuk membangun perdamaian,” katanya.

Penggunaan kekuasaan dengan kekerasan harus ditinggalkan dan dikalahkan dengan kasih sayang dan cinta kasih, sebagaimanan yang telah dilakoni Sang Buddha dan ditegaskan dalam Buddhadharma. “Loka Patthambika Metta. Hanya cinta kasihlah yang menyelamatkan dunia.” Cinta kasih yang bersemayam dalam hiri dan ottappa yang dimiliki mereka yang mengabdikan kekuasaannya untuk kebaikan banyak orang. (JP) ***

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Bacaan:

Dharmakosajarn, P. 2008. “Buddhist Morality.” Bangkok: Mahachulalongkornrajavidyalaya University Press.

Jayatileke KN., 1972. “Ethics in Buddhist Perspective.” Dalam “The Wheel, Vol. IX. No. 175/176. Kandy Ceylon: Buddhist Publication Society.

Teja S Rashid. 1997. “Sila dan Vinaya.” Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi.

Jo Priastana. 2018. “Etika Buddha: Moralitas Mandiri dan Keterlibatan Sosial.” Jakarta: Yasodhara Puteri.

 Bhikkhu Nanamoli. 1979. “The Path of Purification Visuddhi Magga.” Kandy Srilanka: Buddhist Publication Society.

Majaputera Karniawan. 2021. “Kumpulan Petikan Dhamma (Dhamma Quote: Seri Cariyapitaka, Buddhavamsa, Milindapanha).” Jakarta: Yayasan Yasodhara Puteri.

Rutger Bregman, 2021. “Human Kind: Sejarah Penuh Harapan,” Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Karen Armstrong. 2013. “Menerobos Kegelapan: Sebuah Autobiografi Spiritual.”  Bandung: Mizan.

sumber: https://herstory.co.id/amp/read33976/sering-disalahartikan-kata-psikolog-ini-bedanya-narsis-dan-narcissistic-personality-disorder

Butuh bantuan?