Oleh: Jo Priastana
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya
terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang
bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana,
maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan.”
(Tan Malaka, 1897-1949, Bapak Republik Indonesia)
Revolusi adalah perubahan radikal terhadap kekuasaan dan sistem, dimana pihak yang berkuasa jarang menyerahkan kekuasaannya secara damai. Ada tokoh yang menjadi ikon revolusi dunia, tokoh revolusioner yang bergerak menumbangkan rejim atas dasar cinta kasih. Menjadi pertanyaan, revolusi untuk perubahan yang cepat mendadak sering dipandang sebagai sesuatu yang penuh kekerasan dan berdarah, tetapi kenapa dihubungan dengan cinta kasih?
Nyatanya bagi tokoh revolusioner Che Guevara (1928-1967), asal Amerika Latin yang gambarnya kerap menghias kamar-kamar kost mahasiswa, revolusi menurutnya justru harus lahir dari cinta, cinta pada rakyat, cinta pada pembebasan, cinta pada keadilan. Aku katakan, “meski terdengar konyol, seorang revolusioner sejati digerakkan oleh rasa cinta yang besar,” katanya.
Lantang Che, “Seorang revolusioner bertindak berdasarkan cinta dan bukan kebencian. Jika aku bertindak atas nama kebencian maka aku hanya setingkat dengan tentara upahan belaka. Aku bertindak sesuai apa yang kupikirkan dan aku setia dengan pengakuanku. Aku merasa ada penolakan di diriku terhadap uang, uang hanyalah sekadar “a fucking fetish – jimat yang menyebalkan” (Che Guevara, “Che Guevara untuk Pemula,” bukuprogresif.com/FB Balai Buku Progresif).
Revolusi Cinta Kasih Che Guevara
Sebuah paradoks klasik dalam sejarah revolusi. Bagaimana mungkin revolusi, yang sering kali diwarnai kekerasan dan pertumpahan darah bisa disebut “aksi cinta kasih”? Apa maksud Che Guevara yang pernah berkata: “revolusi adalah aksi cinta kasih terbesar bagi sesama manusia.”
Menurut Che Guevara cinta kasih itu bukan sekadar perasaan lembut, tapi tindakan nyata untuk menghapus penindasan, walau harus melawan dan bahkan “menumpahkan darah,” seperti yang banyak terjadi dalam sejarah seperti revolusi Prancis (1789-1799), Revolusi Rusia (1917), Kuba (1953-1959), dan lain-lain. Semua revolusi itu melibatkan konflik bersenjata, pemberontakan massa, penggulingan kekuasaan dengan kekerasan, pengorbanan nyawa.
Paradoks revolusi dalam cinta dan kekerasan. Inilah konflik moral utama. Apakah kekerasan bisa dibenarkan demi cinta kasih dan keadilan? Bagi Che dan banyak revolusioner, “ya”, kalau sistem itu benar-benar menindas dan tak bisa diubah lewat cara damai. Tapi banyak pemikir lainnya yang juga berbeda. Mahatma Gandhi misalnya, menolak cara kekerasan karena percaya kekerasan tidak akan pernah menghasilkan perdamaian sejati.
Che Guevara menyebut revolusi sebagai aksi cinta kasih karena dia melihatnya sebagai tindakan pengorbanan demi keadilan sosial, bukan sekedar pemberontakan. Che Guevara terlibat dalam revolusi berdarah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam Revolusi Kuba (1956-1959), ia adalah salah satu tokoh utamanya bersama Fidel Castro (1926-2016) dan lainnya yang mampu menggulingkan diktator Fulgencio Batista.
Che adalah tokoh gerilyawan yang mengangkat senjata, dan setelah revolusi Kuba, Che mengekspor revolusi ke Kongo (1965), namun gagal. Lalu ke Bolivia (1966-1967), memimpin gerilyawan dengan serangan bersenjata terhadap pasukan Bolivia, namun tertangkap dan dieksekusi oleh militer Bolivia (dengan dukungan CIA).
Che Guevara berlatar belakang seorang dokter, asal Argentina yang menjadi gerilyawan Marxis. Musuh utamanya adalah kapitalisme, imperalisme AS, dan dikatator militer. Metode perjuangannya adalah perang gerilya, kekerasan bersenjata, eksekusi politik. Che memandang kekerasan adalah alat sah dan perlu untuk melawan ketidakadilan. Tujuan utama adalah revolusi sosialisme global, pembebasan kaum tertindas. Ia terinspirasi Karl Marx (1818-1883), Lenin (1870-1924), dan Mao Zedong (1893-1976).
Che mati di eksekusi pada usia 39 tahun dalam revolusi gagal di Bolivia. Ia meninggalkan warisan sebagai ikon perlawanan kiri, tokoh revolusioner yang wajahnya jadi simbol pada baju, poster dimana-mana. Che dipandang sebagai simbol perubahan, simbol revolusi, yang percaya bahwa kekerasan adalah alat sah untuk melawan penindasan. Che Guevara sendiri melihat dirinya sebagai “dokter yang muak melihat ketidakadilan” dan bukan sebagai penjahat.
Revolusi Ahimsa Mahatma Gandhi
Che Guevara sering disandingkan dan dibandingkan dengan ikon dan tokoh revolusioner lainnya Mahatma Gandhi. Kedua tokoh revolusioner ini sangat kontras, pendekatan cinta kasih dalam revolusi mereka berbeda dan bertolak belakang 180 derajat. Dunia tampaknya menerima warisan dari dua tokoh revolusioner yang saling bertolak belakang ini. Revolusi berdarah vs revolusi tanpa kekerasan.
Mahatma Gandhi (1869-1948) sebelumnya adalah pengacara asal India, yang kemudian menjadi pemimpin anti-kolonial, dengan musuh utama yang dihadapi adalah kolonialisme Inggris, ketidakadilan sosial. Gandhi menjadikan metode perjuangannya dengan ajaran cinta kasih, Ahimsa (non-kekerasan), satyagraha (perlawanan moral dan damai). Gandhi memandang kekerasan adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
Tujuan utama Gandhi adalah kemerdekaan India dan masyarakat yang adil tanpa kekerasan. Secara ideologis, Gandhi terinspirasi tokoh pencinta damai seperti Sastrawan Leo Tolstoy (1828-1910), agama Hindu, Jainisme, Buddhisme dan Kristiani. Gandhi memandang revolusi adalah aksi cinta kasih, bahwa cinta kasih adalah inti perlawanan yang tidak melukai, bahkan terhadap lawan. Hasil perjuangan Gandhi adalah tercapainya kemerdekaaan India, dan dia jadi simbol global damai.
Gandhi sendiri mati dibunuh ekstremis Hindu setelah kemerdekaan India di usia 78 tahun. Gandhi meninggalkan warisan bagi dunia tentang perjuangannya yang fenomenal tanpa kekerasan dan memberikan inspirasi bagi gerakan damai, seperti yang kemudian dilakukan oleh Martin Luther King (1929-1968) aktivis pemimpin gerakan sipil, Nelson Mandela (1918-2013), revolusioner anti-apartheid dan politikus Afrika Sekatan, maupun Dalai Lama, pemimpin agama Buddha Tibet.
Tokoh kemanusiaan “Tim Relawan Kemanusiaan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP)” dalam kerusuhan di tahun 1998, Ignatius Sandiyawan Sumardi meyakini terhadap gerakan kemanusiaan aktif tanpa kekerasan. Menurutnya, gerakan kemanusiaan tanpa kekerasan sering kali lebih efektif dalam jangka panjang karena dapat memenangkan simpati pubik dan menggoyahkan legitimasi pihak yang berkuasa (I Sandyawan Sumardi, 29/8/2025/FB).
Dalam pandangan Sandyawan (lahir 1958), aktivis sosial-kemanusiaan yang juga sesama rekan di TRKP-1998, prinsip perjuangan atau perlawanan rakyat aktif tanpa kekerasan sejati senantiasa berdasarkan cinta kasih. Cinta pada sesama manusia tanpa kecuali, cinta pada bangsa dan tanah air. Prinsip aksi cinta tanpa kekerasan ini kiranya sejalan dengan perjuangan Siddharta Muda yang revolusioner dalam mengembangkan misinya mengatasi penderitaan dan ketidakadilan.
Revolusioner Siddharta Muda
Siddharta Muda adalah tokoh spiritual dan revolusioner. Nilai-nilai revolusionernya bisa menjadi sumber dan rujukan gerakan mahasiswa-pemuda dan masyarakat Buddhis modern masa kini. Banyak orang mengira Siddharta Gautama hanya seorang pertapa pasif. Padahal, sebagai anak raja, ia secara sadar menolak sistem sosial dan privilegenya sendiri. Ia memilih jalan hidup yang justru membela yang tertindas.
Dalam dirinya yang humanis, empatis, solidaritas, Siddharta melakukan sikap hidup yang radikal dan revolusioner dengan mempertanyakan kehidupan sosial religius semasanya, yang penuh kontradiktif dan kesenjangan yang berlawanan dengan nilai-nilai cinta kasih dan kesetaraan. Siddharta revolusioner membalikkan cara hidupnya dari pangeran ke pertapa, dan Siddharta menemukan sendiri jalan spiritualnya dan cara mencapai pembebasan total penderitaan.
Siddharta Muda melakukan penolakan kasta. Ia menentang sistem kasta Brahmana yang diskriminatif, dan mengajarkan bahwa semua manusia bisa tercerahkan, bahkan dari kasta rendah atau wanita sekalipun. Ia menolak kekuasaan dan kekayaan dengan meninggalkan istana, menolak takhta demi mencari kebenaran sejati. Siddharta memiliki empati universal, ia mengajarkan karuna (belas kasih) dan metta (cinta kasih universal) terhadap semua makhluk, bukan hanya sesama manusia.
Ia adalah seorang yang humanis dan anti otoritarianisme. Humanisme dan anti-dogmatisme. Ia mendorong manusia untuk berpikir, mengalami, dan menyadari sendiri, bukan hanya menerima ajaran karena otoritas. Ia adalah tokoh emansipasi spirititual yang dimiliki dunia hingga saat ini yang berjuang penuh empati. Solidaritas dan emansipatoris.
Untuk itu, ia bergerak berkelana membebaskan manusia dari penderitaan melalui pemahaman (bukan kekerasan), yang bisa dilihat sebagai bentuk pembebasan diri dan dan perubahan sosial, sebagaimana tercermin dalam buku Karen Armstrong, “Buddha”, New York, Penguin Books, 2004.
Dalam konteks zamannya, ajaran Buddha adalah revolusi diam-diam terhadap norma sosial-politik India kuno. Dengan melihat cara sikap hidup Siddharta muda dan juga ajaran humanis emansipatorisnya untuk mengatasi penderitaan, kiranya ajaran Buddha pun bisa diterapkan untuk mengatasi ketidakadilan sosial-politik masa kini, termasuk untuk kesejahteraan dan kejayaan Indonesia.
Nilai-nilai spiritual Siddhartha muda (Buddha) yang humanis, dan revolusioner, non-kekerasan bisa digunakan untuk mengatasi ketidakadilan sosial dan politik masa kini. Untuk itu, diperlukan pemahaman Buddhadharma kontekstual mendalam yang sungguh relevan dan adaptif, bukan semata literal dogmatik, agar Buddhadharma sungguh berdaya untuk perubahan sosial.
Daya perubahan sosial Buddhadharma yang juga tercermin dalam buku Buddhadasa, “Dharma Untuk Pembaharuan Sosial,” Karaniya, 2025. Begitu pula dalam buku tokoh Sulak Sivaraksa, “Conflict, Culture, Change: Engaged Buddhism in a Globalizing World” (2005), serta buku Thich Nhat Hanh, “Aksi Cinta,” Yayasan Pencerahan Jakarta, 1996. Buku-Buku dari tokoh Engaged Buddhism (Buddhadharma Terlibat Sosial) yang mengandung nilai cinta kasih untuk perubahan sosial.
Buku-buku yang bisa menjadi rujukan dalam membangun gerakan Buddhis modern sebagai aksi cinta kasih yang juga bersumber pada spiritualitas Siddharta Muda yang Revolusioner. Aksi cinta menurut Thich Nhat Hanh adalah tindakan nyata dari pemahaman mendalam dan welas asih, bukan hanya emosi atau keinginan belaka. Tindakan wujud cinta sejati untuk mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, tidak hanya untuk diri sendiri namun juga untuk orang lain, sosial-masyarakat, dunia.
Siddharta muda menunjukkan bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam, tapi bukan berarti abai terhadap struktur sosial. Ia mengubah cara berpikir masyarakat luas lewat pengalaman langsung, bukan paksaan atau menggunakan kekerasan. Nilai-nilai Buddhis yang luhur untuk pembebasan itu bisa jadi tidak efektik jika dipahami sebagai pasifisme total. Harus diketahui bahwa Siddharta bukanlah sosok yang menerima ketidakadilan. Ia justru melampaui sistem itu dengan menciptakan alternatif, kesetaraan termasuk bagi para perempuan menempuh jalan suci menjadi Bhikkhuni.
Gerakan Buddhis Revolusioner
Bercermin pada Siddharta Muda yang revolusioner, adalah menerapkan Buddhadharma dengan keberanian moral dalam konteks sosial-politik. Untuk mengubah sistem, butuh ketegasan, keteguhan nilai, dan kadang menghadapi risiko, meski dilakukan tanpa kekerasan. Ada beberapa tokoh yang sejalan dan menerapkan nilai Siddharta Muda yang Revolusioner dalam ranah politik dan sosial di dunia saat ini.
Thich Nhat Hanh (1926-2022) dalam orang Vietnam, Sulak Sivaraksa (lahir 1933) di Thailand, Dalai Lama (lahir 1935) pemimpin pembebasan Tibet, Aung San Suu Kyi (lahir 1945) Myanmar di awal perjuangannya, Ambedkar (1891-1956), pembaharu sosial India yang memerangi diskriminasi terhadap kaum dalit, dan banyak tokoh Buddhis lainnya.
Tokoh-tokoh yang bisa menjadi cermin untuk gerakan Buddhis revolusioner masa kini. Mahatma Gandhi menerapkan Satyagraha yang merupakan perjuangan dengan kebenaran dan tanpa kekerasan, juga sangat dipengaruhi oleh nilai Buddhis dan Hindu. Dalai Lama menentang penindasan Cina terhadap Tibet dengan welas asih, tanpa membenci. Thich Nhat Hanh adalah aktivisme damai selama perang Vietnam yang menggabungkan meditasi dan perjuangan sosial (engaged Buddhism). Aung San Suu Kyi, menyatukan nilai-nilai Buddhisme dan demokrasi, meski kemudian jalurnya kontroversial.
Nilai-nilai Siddhartha Muda yang revolusioner itu bisa dan mampu menjadi rujukan untuk perjuangan melawan penindasan, ketidakadilan, dan struktur sosial yang tidak adil. Perjuangan yang menyertakan empati, berkesadaran, dan kesetaraan sebagai bahan bakar gerakan. Tidak menjadikan kekerasan sebagai alat perubahan, tapi tetap tegas dan berani melawan ketidakadilan. Menyadari bahwa perubahan sistem dimulai dari kesadaran individu dan kolektif yang revolusioner.
Menjadi pemuda Buddhis sejati yang merujuk pada nilai-nilai Siddharta Muda yang revolusioner dan ajaran Buddha yang humanis, emansipatoris untuk pembebasan penderitaan karena struktur sosial-ekonomi-politik yang tidak adil. Tidak cukup jika hanya mengandalkan kontemplasi tanpa aksi nyata dan keberanian menghadapi struktur opresif.
Secara personal perjuangan yang revolusioner untuk perubahan itu bukan berarti harus merubah cara hidup seperti menjadi bhiksu atau meninggalkan dunia. Cukup konsistensi, keteguhan dan keberanian menjadikan kesadaran, welas asih, dan kesetaraan sebagai dasar perjuangan bersama dengan filosofi Buddhadharma yang terformulasi dalam etika sosial yang berdaya, seperti dalam Socially Engaged Buddhism.
Berdasarkan social engaged Buddhism yang sangat kuat membangun gerakan sosial berbasis etika sosial Buddhis yang mencerminkan anti-kekerasan, adanya kesadaran kolektif, kesetaraan gender dan kelas, serta selalu kritis terhadap kekuasaan tapi tanpa kebencian, dengan fokus pada perubahan dan struktur sosial sekaligus.
Bercermin pada pribadi progresf-radikal-revolusioner Siddharta Muda yang menjadi bekal untuk tumbuhnya keterlibatan dan keberanian sosial-politik pemuda Buddhis, mahasiswa Buddhis sebagai aktivis yang terdidik dan terpelajar yang mampu mengonsolidasikan dirinya bersama-sama dengan perhimpunan pemuda dan umat Buddhis lainnya, bersama membangun kekuatan perubahan.
Bersatu dalam gerakan Buddhis revolusioner dalam rangka mewujudkan cita-cita negara Republik Indonesia yang Makmur dan Adil. Dalam konteks Indonesia saat ini yang memerlukan perubahan besar dan cepat di segala bidang dengan bonus demografis anak-anak mudanya untuk Indonesia Emas 2045! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://factsanddetails.com/world/cat55/sub355/item1337. html