Oleh: Jo Priastana
“Those who say that religion has nothing to do with politics do not know what religion means”
(Mahatma Gandhi, 1869-1948 -Pemimimpin Spiritual, Tokoh Kemerdekaan India)
Apakah seorang rohaniwan boleh berpolitik? RD Yudel Neno adalah seorang rohaniwan Iman Katolik, alumnus Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, tahun 2015. Romo Yudel Neno menulis buku berjudul “Imam Berpolitik” (2022). Buku “Imam berpolitik” (2022) ini menjadi buku yang mengundang diskursus banyak orang. Imam yang dimaksud dalam buku itu adalah pemimpin umat katolik.
Bagi Yudel, seorang rohaniwan, imam boleh berpolitik untuk memperjuangkan kepentingan banyak orang serta menegakkan kebenaran dan keadilan. Yang tidak boleh adalah politik untuk kekuasaan (Kompas, 15/10/22). Bercermin pada Romo Yudel yang mengartikan kata “Politik” dalam makna yang sesungguhnya yakni yang berkenaan dengan kepentingan bagi orang banyak dan bukan semata dalam makna sempit perihal kekuasaan, seni memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Makna politik dalam arti luas dan sesungguhnya itulah yang juga memerlukan keterlibatan kaum agama, para rohaniwan, karena bukankah peran dan tugas rohaniwan adalah demi kepentingan orang banyak, demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak terbebas dari penderitaannya. Jalur politik memungkinkan hal itu terwujud, karena politik adalah perihal penyelenggaraan pemerintahan dan negara, pembuatan kebijakan dan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, warga negara.
Manusia Yang Berpolitik
Dalam bahasa Yunani, politika berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara. Politika atau politik adalah proses pembentukan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan. Teori Politik yang telah menjadi klasik sebagaimana dirumuskan Aristoteles (384-322 SM), menyatakan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama mengingat manusia adalah makhluk sosial.
Manusia sebagai individu adalah juga sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk sosial, ia pada dasarnya juga makhluk berpolitik atau zoon-politicon, demikian ujar Aristoteles (384-322 SM). Sebagai makhluk sosial yang berpolitik itu dapat dibenarkan mengingat satu dari dimensi kesosialan manusia adalah menyatakan diri dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan, diantaranya adalah negara. (Magnis Suseno: 1994).
Dengan begitu, justru keterlibatan tindakan-tindakan politis umat beragama akan mencerahkan kembali makna politik itu yang sebenarnya, yakni cita-cita masyarakat itu sendiri. Pencerahan politis bisa diharapkan datang dari kaum beragama yang berpolitik berdasarkan moralitas, atau setidaknya dapat memberikan tuntutan politik yang sarat nilai dan moral kepada para politisi praktis.
Tindakan politik yang etis akan selalu berpatokan kepada cita-cita masyarakat secara menyeluruh, dan bukan kepada perebutan kekuasaan. Tindakan politik yang etis yang mencerminkan cita-cita masyarakat itulah yang juga dikemukakan oleh banyak para filsuf, pemikir yang mencita-citakan kehidupan masyarakat bagaimana seharusnya.
Plato (428-348), seorang filsuf Yunani misalnya, menggagas pola kehidupan kenegaraan yang baik, yang menurutnya hanya akan tercapai apabila masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan. Keadilaan disini bukanlah secara individualistis melainkan keadilan yang dipahami sebagai tatanan seluruh masyarakat yang selaras dan seimbang.
Sedangkan Aristoteles melihat polis (masyarakat yang tertata secara politik) sebagai permasalahan yang juga berkaitan dengan tujuan manusia itu sendiri. Tujuan terakhir manusia adalah kebahahagiaan (eudaimonia), karena hanya kebahagiaan itulah yang diusahakan demi manusia itu sendiri.
Orang yang sudah bahagia tak ada sesuatu lagi yang dirindukannya. Tetapi manusia adalah makhluk sosial (zoon politikon), karenanya untuk dapat mengembangkan potensi-potensinya, manusia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama manusia dalam masyarakat.
Dengan begitu, tujuan negara adalah sama dengan tujuan manusia: agar manusia mencapai kebahagiaan. Maka negara bertugas untuk mengusahakan kebahagiaan warganya. Adalah sungguh mulia peran para pemangku negara atau para politisi didalam mewujudkan kebahagiaan manusia.
Terang Jalan di Jalur Politik
Bahwa manusia tidak bisa lepas dari politik juga dilihat oleh Sang Buddha. Ketimbang politik dijadikan soal seni bagaimana memperoleh kekuasaan semata, lebih baik politik dilihat dan dimasuki dalam makna yang sebenarnya, sebagaimana diketengahkan oleh Romo RD Yudel Neno tersebut.
Dalam berpolitik yang sesungguhnya seperti itu, manusia juga dapat mendarmabaktikan hidupnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak. Peran bagi terang jalan Buddhadharma di jalur politik ini pun tidak disangkal oleh Sang Buddha.
Bahkan Buddha panjang lebar menjelaskan agar terang jalan kebijaksanaan dalam Dharma dapat menyinari langkah-langkah di jalur politik. Buku Thich Nhat Hanh, “Jalur Tua Awan Putih” 2, (Jakarta: Karaniya, 2015) banyak menceritakan tentang arahan dan pernyataan Sang Buddha perihal politik yang menyangkut demi kesejahteraan kepentingan orang banyak ini.
Baiknya, buku tersebut dibaca dan disimak oleh para rohaniwan dan siapa saja umat Buddha terutama guru, para pendidik serta kaum muda Buddhis agar tidak paranoid perihal kehadiran politik di dalam Buddhadharma. Baiknya kita kutipkan saja perihal jalur politik dalam Buddhadharma sebagaimana yang tertera dalam buku Thich Nhat Hanh “Jalur Tua Awan Putih”.
Buku yang mudah dibaca ini banyak melukiskan arahan Buddha kepada berbagai lapisan masyarakat, umat Buddha masa itu di dalam berbagai profesi dan bidang kehidupan, termasuk kepada para raja dan kesatrian yang berada di jalur politik. Buku “Jalur Tua Awan Putih” karya Thich Nhat Hanh yang semasa mudanya sarat dengan perjuangan politik kemanusiaan di negerinya, pejuang perdamaian nominasi Noble Prize.
Dikisahkan, dalam suatu kesempatan, Bhagava menyampaikan cara konkrit untuk menerapkan sang Jalan ke dalam kehidupan politik. Beliau menjelaskan bahwa sang Jalan dapat menerangi bidang politik, membantu mereka yang ikut dalam memerintah kerajaan untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan sosial.
Beliau berkata, “Jika kalian mempraktikkan sang Jalan, kalian akan meningkatkan pegertian dan kasih sayang serta melayani rakyat dengan lebih baik. Kalian akan menemukan cara-cara untuk membawa kedamaian dan kebahagiaan tanpa tergantung sama sekali pada kekerasan. Kalian tak perlu membunuh, menyiksa, atau memenjarakan rakyat, atau menyita harta benda. Ini bukanlah suatu ideal yang mustahil, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan.
“Ketika politisi memiliki cukup pengertian dan cinta kasih, ia akan melihat kebenaran akan kemiskinan, kesengsaraan, dan penindasan. Orang tersebut dapat mencari berbagai cara untuk mereformasi pemerintahan agar dapat mengurangi jurang antara si kaya dan si miskin serta menghentikan penggunaan kekuasaan terhadap pihak-pihak lain.
“Sahabat-sahabatku, pemimpin politik dan penguasa haruslah menjadi panutan baik. Janganlah hidup dalam pangkuan kemewahan karena kekayaan akan menciptakan dinding pemisah yang lebih tebal antara penguasa dan rakyat. Jalanilah kehidupan sederhana yang dipenuhi kebajikan, gunakan waktu untuk melayani rakyat daripada mengejar berbagai kesenangan yang tak bermanfaat. Seorang pemimpin tak akan memperoleh rasa percaya dan rasa hormat dari rakyatnya jika ia sendiri tidak memberikan contoh yang baik. Jika para penguasa mengasihi dan menghormati rakyat, mereka juga akan mencintai dan menghormati sebagai aksi baliknya. Memerintah dengan kebajikan berbeda dengan memerintah dengan hukum dan tata tertib, memerintah dengan kebajikan tidak tergantung pada hukuman, menurut Jalan menuju Kewaspadaaan, kebahagiaan sejati, hanya bisa diperoleh melalui jalan kebajikan.”
Membimbing Umat Secara Politis
Rohaniwan Buddhis adalah pemutar roda-dhamma atau Dharmacakra yang senantiasa mengingatkan para penguasa, pemimpin pemerintahan dalam lapangan politik akan Buddhadharma. Buddha mengajarkan bahwa “roda kebenaran (dhammacakka) harus mengendalikan roda kekuasaan (anacakka), yang berarti bahwa mereka yang kaya dan berkuasa, terutama pemerintah, wajib hanya memiliki satu tujuan, yaitu menjunjung tinggi Dharma.” (Sulak Sivaraksa: 2009: 117).
Di negara Buddhis seperti Sri Lanka yang dihuni oleh banyak bhiksu, peran pembaharuan sebagai aktivitas sosial dan politik juga dilakukan para rohaniwan Buddha itu. Peter Harvey dalam bukunya “An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices,” ketika mengulas “The Modern History of Buddhism in Asia,” 1990:291, mengungkapkan, “Kemerdekaan dan munculnya demokrasi pada tahun 1948 (Sri Lanka) membawa para bhiksu semakin banyak memasuki arena politik. Ide-ide liberal, sosialis dan Marxis mendorong aktivitas politik di antara semua lapisan masyarakat, dan beberapa bhiksu melihatnya sebagai bagian dari tugas mereka untuk membimbing umatnya secara politis.”
Di Thailand, sejak 1960-an, berkenaan dengan banyaknya terjadi perkembangan ekonomi dan sekularisasi yang tidak merata, menyembahkan pemerintah meminta Sangha untuk bekerja sama dan memimpin proyek pengembangan masyarakat di daerah-daerah miskin. Banyak bermunculan aktivis Buddhis termasuk rohaniwan yang turut berperan sebagai inovator, aktivis perubahan sosial-politik seperti Phra Chamroon, Buddhadasa (Peter Harvey, 1990:289-291), termasuk Sulak Sivaraksa! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).