Oleh: Jo Priastana
“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin,
akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”
(Pramoedya Anantra Toer, Sastrawan)
Bangkitnya Orde Baru setelah peristiwa 1965, disamping memiliki kebijakan terhadap agama-agama yang diakui negara, juga mengaktifkan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Bagaimana situasi agama Buddha dalam konteks masa itu tentu sulit kita dapat membayangkannya di masa kini. Siapa yang akan masuk ke sekolah-sekolah mengajarkan agama Buddha, manakala sekolah pendidikan agama Buddha untuk menghasilkan guru agama Buddha belum ada. Begitu pula dengan perangkat pendidikan agama Buddha lainnya seperti bahan ajar atau literasi.
Berkenaan dengan literasi atau buku pelajaran agama Buddha yang dapat dipergunakan bagi anak didik dan para guru dalam memberi pelajaran agama Buddha di sekolah-sekolah. Tentu saja, dengan segala keterbatasannya, komunitas Buddhis tetap antusias menyambut hal itu. Menyadari bahwa inilah momentum dalam mewujudkan umat Buddha yang tidak hanya tertera secara nominal-statistik namun generasi Buddhis yang terdidik dan mengerti tentang Buddhadharma.
Masyarakat Buddhis memiliki julukan “bambu runcing” dalam menghadapi situasi yang demikian itu. Layaknya para pejuang yang tumbuh dan menggunakan bambu runcing dalam mempertahankan kemerdekaan. Para pecinta agama Buddha menjawab kehadiran kembali agama Buddha secara nasional dengan kemampuan dan perlengkapan seadanya, baik itu berkenaan dengan kemunculan guru agama Buddha di sekolah maupun perlengkapan belajar mengajar lainnya, dan diantara yang menjawab tantangan itu adalah Wirawan Giriputra.
Literasi Mengisi Momentum Kebangkitan
Situasi ini memunculkan sosok Wirawan Giriputra, lulusan STM yang menjawabnya dengan menulis buku pelajaran agama Buddha dan masuk ke ruang-ruang kelas. Antusiasme, gelora, semangat didalam menjawab tantangan dunia pendidikan Buddhis yang banyak bergemuruh di dalam jiwa setiap insan Buddhis kala itu. Inilah tantangan kalangan terpelajar Buddhis didalam menjawab dan mengisi hadirnya momentum kebangkitan kembali agama Buddha setelah era Majapahit atau 500 tahun setelah runtuhnya kerajaan Majapahit.
Kebangkitan kembali agama Buddha sebagaimana keyakinan yang selalu tersimpan dalam bawah sadar umat Buddha sesuai amanat Sabdo Palon Naya Genggong. Kebangkitan yang terjadi dengan apa yang dikenal sebagai “Buddha Jayanti” atau kebangkitan kembali 2500 tahun agama Buddha di tahun 1956. Kebangkitan yang ditandai dengan perayaan Waisak Nasional di Candi Borobudur di tahun 1959. Seterusnya, 20 tahun setelah kumandang “Buddha Jayanti”, agama Buddha masuk ke sekolah-sekolah untuk anak-anak Buddhis. Buddhadharma hadir bagi generasi muda Buddhis yang lahir di era kemerdekaan Indonesia, generasi yang akan mewarnai perjalanan kebangkitan kembali agama Buddha secara nasional dan meneruskan serta mengembangkannya secara terdidik dan terpelajar.
Antusiasme, gelora, semangat mengisi momentum kebangkitan agama Buddha, menjawab tantangan pendidikan agama Buddha di sekolah, dan memajukan agama Buddha itu tumbuh di dalam jiwa dan hati seorang anak muda dari Medan, Sumatera Utara yang bernama Wirawan Giriputra.
Wirawan Giriputra yang lahir di China Kasih, Tebing Tinggi Deli, pada 28 Juli 1948, meski hanya berbekal pendidikan STM Bangunan, anak muda ini maju untuk menjawab tantangan dunia pendidikan Buddhis kala itu. Ia menulis buku pelajaran agama Buddha untuk semua tingkat dan kelas dari SD, SMP dan SMA di tahun 1977. Menulis, menerbitkan dan mendistribusikannya sendiri, walau dengan penampilan sederhana namun sungguh berbobot dan berarti bagi para siswa sekolah yang belajar agama Buddha.
Buku pelajaran agama Buddha untuk tingkat SD dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 diberinya nama “Buddha Wacana”. Sedangkan untuk tingkat SMP dari kelas 1 sampai dengan kelas 3 bernama “Dharma Cakra,” dan tingkat SMA kelas 1 sampai dengan tiga bernama, “Dhamma Vara.” Semua buku-buku itu tampaknya hadir secara sederhana, simpel, mudah dipahami, dan dicetak secara stensilan, bukan dengan mesin fotocopy atau mesin cetak. Entahlah, apakah buku pelajaran agama Buddha yang sederhana namun bersejarah mengisi kebangkitan kembali agama Buddha ini masih ada yang menyimpannya secara lengkap dan utuh?
Penerbitan yang sederhana secara stensilan bagi anak-anak sekarang yang dikenal sebagai anak milenial mungkin tidak ada lagi yang mengenalnya karena tidak lagi mengalaminya. Hanya angkatan Romo Wirawan Giriputra yang lahir tahun di tahun 1940 atau 1950an yang tahu dan mengalaminya. Sebagaimana rekan segenerasinya dan aktivis Buddhis kala itu di tahun 1970-an yang juga dengan antusias meski hanya bermodal stensilan juga membuat semaraknya kemunculan majalah-majalah Buddhis Vihara maupun organisasi. Meski sederhana namun menandai sebuah era yang begitu dinamis dalam penerbitan Buddhis dalam rangka menyambut dan mengisi momentum kebangkitan kembali agama Buddha dalam bidang literasi.
Penerbitan buku Romo Wirawan Giriputra yang tampil begitu sederhana, namun secara isi, mengandung pelajaran agama Buddha yang mumpuni dan representatif untuk semua tingkatnya, SD, SMP, dan SMA. Buku tersebut menyajikan pelajaran agama Buddha secara ringkas namun berisikan segenap aspek ajaran Buddha secara inklusif baik yang berkenaan dengan riwayat hidup Buddha, sejarah, hukum kesunyataan, menyebutkan kitab suci berbahasa Pali, Sansekerta atau yang terdapat dalam bahasa Kawi. Kandungan pelajaran yang disajikan juga menyentuh berbagai aspek dalam pendidikan termasuk pendidikan agama, seperti aspek kognisi, konasi, maupun afeksi, dan disertai evaluasi di setiap akhir babnya.
Ada penyajian pelajaran yang bersifat pengetahuan dan penalaran seperti hukum sebab dan akibat dan ajaran Buddha lainnya yang disertai dengan contoh bergambar. Tak lupa ada sentuhan pedagogik yang berkenaan dengan aspek emosi seperti penyajian petunjuk dalam melakukan kebaktian agama Buddha pada umumnya, menyertasikan paritta-paritta dan berbagai lagu Buddhis, serta aspek konasi mengajak untuk banyak berbuat kebajikan.
Buku pelajaran agama Buddha untuk semua jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA yang berjumlah 12 jilid ini sungguh sangat berarti, bermanfaat dan berjasa. Buku pelajaran agama Buddha yang ditulis Romo Wiarawan Giriputra ini juga memperoleh kata sambutan dari Kepala Kantor Wilayah Pembimas Hindu dan Buddha Provinsi Sumatera Utara, Drs. A.A Gde Oka Netra, Medan, 20 Januari 1977 dan Sangha Agung Indonesia, Maha Nayaka Ashin Jinarakkhita Maha Thera, Pacet, 20 Februari 1978.
Profesi Sejalan Pengabdian
Selain menulis buku pelajaran agama Buddha untuk semua tingkat di sekolah itu, Romo Wirawan Giriputra juga melakoni pengabdiannya di dunia pendidikan Buddhis dengan menjadi guru agama dan dosen agama Buddha, serta berkecimpung di dunia pendidikan Agama Buddha. Romo Wirawan Giriputra pernah menjadi Guru Agama Buddha di SMA Hang Kesturi Medan (1971-1987) dan Dosen Agama Buddha Universitas Darma Agung Medan (1983-1985). Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Pudek & Dosen Institut Ilmu Agama Buddha “Smaratungga” Cabang Medan (1995-1997), serta Ketua Yayasan/Ketua Pembina/Pengawas Sekolah Tinggi Agama Buddha Bodhi Dharma, Medan (2001-2020).
Selain berkecimpung di dunia pendidikan agama Buddha, Tokoh Buddhis di Medan yang menikah pada 14 November 1974 dengan Vitti Sutanto dan memiliki anak bernama Ravi Giriputra ini juga mengabdikan dirinya di dunia pergerakan Buddhis. Tercatat beliau pernah menjabat sebagai dan kemudian Ketua MBI Tk.I Sumut (1977-1988). Pengurus Walubi Sumatera Utara (1981-1997), serta Ketua Magabudhi Propinsi Sumatera Utara (1996-2007), Pengawas MBI Propinsi Sumut (2013-sampai sekarang), Ketua Dewan Kepanditaan Daerah Sumut Magabudhi (2014-sampai sekarang).
Romo Wirawan Giriputra juga berkecimpung di dalam berbagai organisasi dan yayasan Buddhis, seperti: Wakil Ketua Yayasan/Ketua Pembina Yayasan Mettayana Medan (1985-sekarang), Ketua Pembina Yayasan Vihara Mahasampatti(1996-sampai sekarang), Wakil Ketua Yayasan/Ketua Pembina Yayasan Vipassana Graha (1997-sampai sekarang), Komisaris ITC (Indonesia Tipitaka Centre, 2004-2011), Pengawas TAL (Taman Alam Lumbini Brastagi, 2007-2010), Pembina Yayasan Dhammavicayo Indonesia, ITC (2011-sampai sekarang).
Banyak piagam penghargaan yang diperolehnya untuk segenap aktivitas dan pengabdiannya di jalur agama itu. Sejalan dengan tugas dan pengabdian di bidang keagamaan, Romo Wirawan juga melengkapi pengabdiannya untuk masyarakat luas. Beliau mengabdikan kehidupannya dengan juga melakukan tugas Kemasyarakatan Umum. Diantaranya adalah sebagai anggota Pengurus BAKOM PKB Sumut (1985-1989), dan Andurbud, Gerakan Pramuka Kwarda Sumut (1977-1987).
Berbagai aktivitas dan pengabdiannya yang dijalaninya dengan penuh ketulusan dan kerelawanan itu juga dijalaninya bersama dengan profesinya sebagai seorang pekerja dan pengusaha yang ulet dan tekun. Beliau memiliki riwayat pekerjaan yang cukup panjang, dari sebagai Staf PT. PP London Sumatra Tbk, hingga sampai pada jabatan terakhir Managing Director HR & GS (1970-2006). Beliau juga pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT Pinagi Utama Palembang (2008-2009), dan CEO PT First Borneo Plantations (Maret 2010- April2015).
Sebagai seorang pekerja, Romo Wirawan Giriputra menjalani profesinya dengan penuh ketekunan dan ketulusan, layaknya tiada bedanya antara pekerjaan dan pengabdian. Profesi yang dilakoninya sebagai pekerja hingga mencapai puncak tertinggi tampaknya sejalan dengan jiwa pengabdiannya. Karenanya, tokoh Buddhis di Sumatera Utara ini adalah juga seorang pekerja dan pemimpin yang patut dicontoh dan menjadi teladan, aspirasi, rujukan dari segenap anak buah dan koleganya. Hal ini tercermin pada sambutan kenangan dan refleksi tentang pribadinya dari B J Dyer, Director di PT PP London Sumatra Indonesia Tbk.
“Reflections on Bapak Giri, and his career in Losum By BJ Dyer, Director. PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (2004 to date). Hard work, fairness to everyone, and loyalty to one’s employer. It is a story of an individual who overcomes all the obstacles, of which there were many, and who works from the bottom of a company all the way up to the top, to become a respected director of one of Indonesia’s biggest, publicly listed plantation business. Since 1970 as a clerk, to his retirement in 2006. His encyclopedic knowledge, his well-developed sense of humour, his fairness to all, and the dignity he brought to the company.”
Dalam Arus Keabadian Buddhadharma
Saat ini, Romo yang beralamat di Jln. Perniagaan Baru 17 A Medan 20111, atau di Cambridge Condo, Jll. S. Parman No. 217 Medan, dan dengan menyandang tingkat rohani dalam MBI/Sagin sebagai Maha Upasaka Pandita, maupun Magabudhi/STI sebagai Pandita Madya, menikmati masa kehidupan senjanya dengan tenteram dan bahagia, dengan kerap berada di kebunnya yang asri di pinggiran kota Medan. Tak terasa 50 tahun telah berlalu sejak penulis buku pelajaran agama Buddha di tahun 1977 dan pastinya juga telah banyak siswa sekolah yang memetik manfaat pelajaran agama Buddha dari buku-bukunya, dan bahkan melahirkan generasi dan tokoh Buddhis pelanjut dan penerus agama Buddha.
Sungguh sebuah karya pengabdian hidup yang penuh makna, jasa tak ternilai dan menyimpan keabadian bagi siapa saja yang pernah bersentuhan dengan bukunya itu. Dalam mengenang kembali masa-masa di awal penulis buku pelajaran agama Buddha, mungkin tak terbayangkan bagi Romo Wirawan Giriputra yang kini berusia 81 tahun, bahwa setelah 50 tahun penerbitan bukunya itu, ternyata buku-buku tersebut masih berbunyi, masih ada yang mengenang, menengok dan membicarakannya.
Tiada berlebihan bila buku pelajaran agama Buddha yang ditulisnya itu telah memberi manfaat luar biasa, menjadi rujukan serta inspirasi bagi siapa saja yang melakoni pengabdian hidupnya di jalan Dhamma maupun dalam penulisan dan perbitan buku-buku Buddhis. Semangat dalam memajukan literasi Buddhis bisa bersumber dan bercermin dari para sesepuh seperti apa yang telah dilakukan oleh Romo Wirawan Giriputra, sang penulis buku pelajaran agama Buddha SD, SMP, SMA yang mencerminkan keabadian Buddhadharma.
Benar kata Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Romo Wirawan Giriputra telah turut berperan menorehkan tintanya dalam kertas sejarah dinamika literasi agama Buddha dan mengambil bagian dalam arus keabadian Buddhadharma. Untuk itu, untuk jasa pengabdian yang tak terkira, “Terpujilah Namamu, Sang Guru,” dan sehat selalu! (JP).
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).